Pertemuan Ekumenis Perempuan Asia
KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Saya bersama dua orang rekan pendeta dari GMIT, Pdt. Dr. Lintje Pellu dan Pdt. Astrid Bonik Lusi, M.Si. Teol, mendapatkan kesempatan untuk menghadiri dan berkontribusi dalam sebuah acara penting yang diselenggarakan oleh Konferensi Kristen Asia (CCA). Asian Ecumenical Women’s Assembly (AEWA) 2019 merupakan pertemuan perempuan ekumenis Asia pertama yang diprakarsai dan diorganisir CCA.
Lebih dari 250 peserta yang mewakili denominasi Kristen dari seluruh Asia serta pemimpin dari organisasi ekumenis internasional terlibat dalam pertemuan bersejarah bagi gerakan perempuan gereja di Asia yang diadakan selama seminggu, tanggal 21-27 November di Presbyterian Bible Colle yang berlokasi di kota Hsinchu, Taiwan. Gereja Presbyterian di Taiwan berperan besar menjadi hostatau nyonya rumah yang memandu dan melayani para saudari perempuan mereka dari seluruh Asia.
Tema yang mendasari pertemuan ini yaitu Arise, and be Awake to Reconcile, Renew and Restore the Creation. Dalam sambutan pembukaannya, Sekretaris Jenderal CCA, Dr. Mathews George Chunakara, menyampaikan bahwa gereja-gereja Asia perlu peka untuk mendorong wanita di gereja dan masyarakat untuk menunjukkan komitmen mereka dalam kemitraan dengan pria untuk memulai rekonsiliasi, pembaruan dan pemulihan dalam situasi di semua tingkatan.
Setelah acara pembukaan, rangkaian kegiatan selanjutnya diisi dengan presentasi panel yang berfokus pada topik Merawat dan Mempertahankan Ciptaan, Memupuk Spiritualitas dan Keutuhan Kehidupan, Partisipasi dan Solidaritas dalam Perjuangan untuk Perdamaian dengan Keadilan, Memastikan Kepemimpinan Inklusif di Gereja dan Masyarakat dan Menuju Revitalisasi Gerakan Ekumenis dan Peran Organisasi Perempuan Ekumenis Asia. Selain itu ada juga tema-tema khusus seperti perempuan dalam migrasi pekerja dan perjuangan multi lapis para pekerja rumah tangga migran di Hong Kong. Tema ini menitikberatkan pada peran gereja untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah pekerja migran dan menyebarluaskan informasi risiko perdagangan manusia dalam pelayanan gereja.
Selanjutnya sepanjang satu minggu kami peserta diperkaya lewat lokakarya dan diskusi yang mengangkat isu-isu krusial dalam pelayanan gereja Asia antara lain Eko-Feminisme dan Perubahan Iklim; Perempuan dalam Pelayanan Gereja; Migrasi dan Perdagangan Perempuan di Asia; Perempuan Asia dalam Pernikahan Antar Agama; Perempuan Asia, Kemiskinan, dan Kelaparan; Rekonstruksi Tubuh Wanita di Abad 21; Objektifikasi, Seksualisasi, dan Komodifikasi Perempuan; Menolak Patriarki dan Mengubah Nilai-Nilai Keluarga; Kesehatan dan Keutuhan Kehidupan; serta Pemuda Asia dalam Gerakan Ekumenis.
Nirmala Gurung dari Asosiasi Remaja Putri Dunia (YWCA) menyampaikan presentasi yang menggugah tentang pentingnya perempuan terlibat dalam kepeminpinan. “Kami percaya bahwa ketika perempuan naik ke kepemimpinan, mereka mengubah struktur kekuasaan dan kebijakan seputar hak asasi manusia, kesetaraan gender, perdamaian, dan keadilan. Ketika perempuan memimpin, mereka diberdayakan untuk membahas agenda global pembangunan berkelanjutan”, katanya. Salah satu rekomendasi penting yang disampaikan oleh banyak peserta adalah pentingnya membangun jaringan dan berkolaborasi antar gereja-gereja Asia dalam menghadapi berbagai persoalan dalam pelayanan. Bagi saya, berbagai isu yang dibahas selama sesi lokakarya sangat berkontribusi bagi pengembangan diri dan spiritualitas saya sebagai seorang seorang pendeta sekaligus pemimpin perempuan di tengah jemaat. Pertemuan seperti ini memacu saya untuk berpikir secara global namun tidak lupa untuk selalu mencari cara agar bisa melakukan aksi nyata dalam konteks pelayanan di tingkat lokal.
Di samping lokakarya, Bible Study dalam kelompok merupakan salah satu bagian inti dari pertemuan besar ini. Para peserta dibagikan tugas untuk memimpin pendalaman Alkitab dalam kelompoknya sehingga sesi ini menjadi ruang yang sangat luas bagi kami untuk saling berbagi energi positif demi peningkatan pelayanan di bidang masing-masing.
Sebuah acara malam budaya diadakan sebagai penutupan seluruh rangkaian acara. Semua peserta yang telah berkelompok menurut negara asal mempersembahkan penampilan tarian ataupun nyanyian yang menggambarkan nilai-nilai hidup dan budaya mereka. Selain itu disiapkan pula sebuah keranjang berbagi yang disebut Keranjang Lidya bagi kami untuk menaruh satu benda dan mengambil satu benda lainnya sebagai tanda saling berbagi. Pelajaran penting yang kami ambil dari dari ide ini adalah agar kami tidak menggenggam segala yang kami miliki sebagai sesuatu yang wajib dipertahankan.
Refleksi Pribadi
Saya mengimani bahwa Tuhan melalui CCA-AEWA telah memanggil dan melibatkan saya untuk hadir dan belajar bersama dengan sejumlah perempuan luar biasa dari berbagai negara. Tuhan juga telah mengutus saya melalui Sinode GMIT untuk berani melangkah dan terlibat dalam konferensi besar ini. Keterbatasan saya menerima tugas dari panitia untuk memimpin tiga Bible Study. Meskipun tugas ini terlihat kecil tapi saya telah mengambil bagian dalam memberitakan dan menyerukan suara rekonsiliasi, pembaharuan dan perdamaian untuk diri sendiri, keluarga, gereja dan dunia yang lebih luas. Bible Study lintas budaya ini memampukan saya untuk memahami pemulihan diri dari sosok perempuan Samaria dan kegigihan iman perempuan Kanaan. Saya juga belajar tentang panggilan laki-laki dan perempuan sebagai agen rekonsiliasi dalam dunia yang sedang sakit.
Salah satu hal yang membuat meninggalkan kesan yang kuat bagi saya tentang pertemuan besar ini ialah penerimaan panitia dan seluruh peserta terhadap saya yang hadir dengan keterbatasan pengalaman, pendidikan dan bahasa. Atmosfir kesetaraan sebagai sesama saudara dan saudari yang terbangun sejak awal acara sampai hari penutupan pertemuan ini mengikat kami yang berasal dari latarbelakang hidup dan budaya yang sangat berbeda. Tidak pernah saya menemukan pembedaan pelayanan terhadap peserta, panitia dan undangan. Kami diberi ruang yang bebas untuk duduk semeja dalam hidangan yang sehat sambil berbagi pengalaman hidup dan pelayanan kami. Ketika saya sakit karena kelelahan perjalanan, begitu banyak panitia dan peserta yang mengambil tanggung jawab sebagai saudara yang merawat di rumah sakit dan sebagian lagi membantu memfasilitasi tugas memimpin Bible Study di hari pertama.
Dari semua pengalaman ini saya belajar dan saya merekomendasikan agar kondisi seperti ini mesti menjadi gaya hidup kita dalam keluarga, kelompok, dan gereja supaya semua orang merasa kehadirannya berarti meskipun memiliki keterbatasan. Kedua, saya mendorong supaya setiap perempuan dan laki-laki berani mengambil langkah untuk terlibat dalam konferensi besar sebab di sana ada banyak kesempatan untuk menimba pengetahuan, pengalaman, serta membangun jaringan yang memberi keberanian untuk melakukan sesuatu bagi dunia yang lebih luas. ***