Social Distancing: Renungan Menurut Lukas 23:26-32

Kebaktian online Minggu Sengsara VI di Jemaat Kaisarea BTN-Kolhua, Minggu, 29/3.

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Menyadari bahaya pandemik Covid19, GMIT memutuskan perlunya social distancing (pembatasan sosial). Termasuk dalam kebijakan ini ialah meniadakan untuk sementara waktu seluruh bentuk ibadah komunal. Tiap keluarga diminta beribadah secara mandiri di rumah masing-masing dengan panduan liturgi dan bahan khotbah yang disiapkan gereja.

Reaksi terhadap keputusan ini beragam, bahkan menimbulkan pro dan kontra. Bagaimana seharusnya kita memaknai perbedaan tersebut? Perikop ini menyumbang sejumlah hal yang dapat dijadikan prinsip utk memahami kontroversi seputar social distancing.

Kita belajar dari cerita Simon orang Kirene bahwa ada saat dimana kita tidak dapat memilih apa yang harus kita lakukan. Simon datang jauh-jauh dari Kirene, sebuah daerah di Libia. Ia menempuh perjalanan berjarak 2.500 kilometer ke Yerusalem untuk merayakan Paskah di Bait Allah.

Tetapi sekarang seluruh agendanya berubah. Simon dipaksa tentara Romawi untuk memikul salib Yesus (bnd. Mat. 27:32; Mrk. 25:21). Bagi Simon, memikul salib bukanlah tanda solidaritasnya terhadap penderitaan Yesus. Ia datang ke tempat itu bukan dengan maksud untuk menolong Yesus. Itu dilakukannya karena paksaan tentara Romawi.

Mungkin sebagian orang seperti Simon, yang menjalani social distancing karena dipaksa, atau dengan terpaksa. Mereka melakukannya bukan sebagai wujud kepedulian terhadap penderitaan orang lain. Mereka terpaksa melakukannya karena tidak ingin berurusan dengan pihak berwajib. Situasi memaksa mereka melakukan sesuatu yang bukan rencananya. Bukan tujuannya.

Apakah ini berarti kita setuju dengan etika situasi? Tentu tidak. Kita tidak bergantung pada situasi. Namun situasi menuntut kita untuk melakukan adaptasi eksternal bila kehidupan ingin terus berlangsung. Pilihan kita melakukan social distancing bukanlah sikap pasrah terhadap situasi. Sebaliknya, ini adalah cara untuk mengendalikan situasi. Suatu pilihan etis untuk menyelamatkan kemanusiaan dari kematian yang seharusnya bisa dicegah. Inilah yang kita sebut etika tanggung jawab.

     Sekarang kita beralih ke murid Yesus. Bagaimana sikap mereka saat Yesus menderita? Lukas mencatat bahwa solidaritas mereka sangat rendah. Kala Yesus menjalani via dolorosa, murid2 meninggalkanNya sendirian dlm penderitaan. Saat Yesus begitu lemah memikul salib, justru orang lain yang meringankan bebanNya, yakni Simon dari Kirene. Bukan para muridNya

Para murid ini lebih peduli dengan keselamatan diri sendiri. Mengakui Yesus bisa membahayakan nyawa sendiri. Itu sebabnya Petrus menyangkal. Mendekati Yesus yang sengsara memikul salib dapat dianggap sebagai bagian dari komplotan makar yang dituduhkan pada Yesus. Karena itu mereka memilih posisi aman dengan menyelamatkan diri masing-masing.

Hal yang sama dialami sebagian kalangan sekarang ini. Ancaman Covid19 menyebabkan banyak orang berpikir tentang keselamatan diri sendiri, tanpa peduli dengan nyawa sesama. Kita sepertinya tidak dapat “memberi bahu” untuk menolong orang yg terpapar Covid19 sebab dapat membahayakan nyawa kita sendiri. Namun itu tidak berarti mengisolasi solidaritas kita. Jika para dokter dan perawat menganut prinsip ini, apa yang akan terjadi dengan nasib umat manusia?

Bila demikian, bagaimana seharusnya sikap kita di tengah wabah Covid19 ini? Cara terbaik ialah dengan mematuhi sosial distancing. Ibadah di rumah bukanlah bentuk kelemahan iman kita, seolah Corona bisa mengalahkan Allah. Juga bukan untuk mengisolasi diri dari penderitaan orang lain. Sosial distancing adalah pilihan terbaik guna memutus mata rantai penularan Covid19. Dengan mendisiplinkan diri dalam hal ini, kita menyelamatkan diri sendiri dan orang lain. Juga dengan mematuhinya, kita ikut meringankan tugas tenaga kesehatan untuk menolong korban. Membludaknya jumlah pasien yang tidak sebanding dengan fasilitas dan tenaga kesehatan sebagaimana terjadi di negara lain, kiranya menjadi pelajaran berharga untuk melakukan social distancing. Karena itu marilah kita melakukannya bukan dengan terpaksa atau dipaksa. Bukan juga hanya untuk keselamatan diri sendiri. Tapi dengan disiplin dan rela hati untuk keselamatan bersama.

Namun patut pula disadari bahwa social distancing tentu memiliki sisi lain yang perlu diantisipasi. Bisa saja ada keluarga yg mengabaikan ibadah mandiri karena alasan tertentu. Atau melemahnya keeratan sosial dalam jemaat karena terisolasi satu sama lain. Atau berkurangnya pendapatan. Atau karena bertentangan budaya kita. Dan masih banyak hal-hal lain yg bisa kita tambahkan sendiri sesuai konteks masing-masing.

Tapi kita bisa belajar dari cerita ini. Simon dari Kirene juga mengalami resiko saat menolong Yesus. Memikul salib menyebabkan Simon menjadi najis karena tercemar darah Yesus. Butuh waktu seminggu untuk pentahirannya. Itu berarti tertutup kemungkinan baginya untuk merayakan Paskah. Ziarahnya ke Yerusalem menjadi sia-sia. Ia kehilangan momentum iman untuk merayakan Paskah di Bait Allah, yang mungkin hanya sekali sepanjang hayatnya. Padahal untuk Paskah inilah ia jauh-jauh datang dari Kirene. Bahkan mungkin dengan menghabiskan seluruh tabungannya.

Namun di balik resiko ini ada hikmah yang diperoleh Simon. Ia menikmati hak istimewa yang jauh lebih besar dari yang dapat diberikan Paskah kepadanya. Setelah pemikulan salib itu, Simon bersyukur bahwa pilihan tentara Romawi menjadi anugerah Allah baginya. Ia dipilih untuk membantu meringankan rasa sakit dan penderitaan Yesus dalam via dolorosaNya. Pengalaman ini membawa Simon sekeluarga menjadi pemberita Injil, sebagaimana dikatakan Lukas (Kis. 13:1) dan Paulus (Roma 16:13) tentang mereka.

Semua uraian ini kiranya memberi alternatif pikir terhadap perdebatan di seputar keputusan gereja mengenai social distancing. Memikul beban Yesuslah yang membuat Simon tak bisa beribadah di Bait Allah. Memikul beban dunialah yang membuat gereja perlu mengambil tindakan preventif ini guna mencegah penularan dan kematian yang tak terkendali. Simon meringankan beban Yesus, gereja meringankan beban dunia.

Pada akhirnya, perlu ditegaskan disini bahwa social distancing hanyalah suatu tindakan darurat yang bersifat sementara. Ini bukan kondisi ideal yang kita harapkan. Semua kita merindukan ibadah bersama dalam persekutuan jemaat.

Doa kita semua, biarlah Allah Tritunggal memberi kuasa dan hikmat bagi gerejaNya untuk menolong umat manusia yang terancam Covid19 ini. Allah Tritunggal jugalah yang akan melindungi kita melewati badai ini. *** (Pdt. Jahja A. Millu, S.Th).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *