Apakah Allah Tengah Menghukum Kita (Dengan Covid-19)? – Surat dari Catherine Keller

(Kredit gambar: halaman fb Lucia Coco)

www.sinodegmit.or.id,Yang terkasih semua orang,.. Khususnya, dalam surat ini, orang-orang yang menegaskan beberapa orientasi yang secara serius alkitabiah, atau secara eksplisit teologis. Di tengah pandemi ini, orang-orang yang mungkin bertanya-tanya:

Apakah Allah tengah menghukum kita?

Kita—spesies manusia—tentu layak mendapatkannya; kita telah keluar dari keseimbangan kita di dalam tanggung jawab dasariah kita sebagai ciptaan. Kita keluar dari keseimbangan, menjauh dari keselarasan kita dengan hikmat, dari Sabda, dari ciptaan. Kita telah mengabaikan materialitas kita, di dalam sikap kita yang jelas tak bersyukur. Bukankah pandemi ini, dan mungkin apa yang lebih buruk lagi kelak, memang menimpa kita sesuai dengan apa yang telah kita lakukan?

Apakah Allah tengah menguji kita?

Tentu saja, kita tengah diuji, dicobai, diperhadapkan pada berbagai kerapuhan kita—ditantang pada tubir-tubir kita, baik spiritual maupun fisik. Dan itu semua tidak hanya sebagai individu dan keluarga dan komunitas lokal. Dan apa yang tengah diuji juga terkait dengan sistem kehidupan bersama kita, ekonomi kita dan politik kita. Beberapa orang gagal lebih buruk daripada yang lain. Dan sistem nasional kita yang besar sejauh ini sungguh-sungguh gagal. Namun, apakah kita semua secara bersama-sama diuji? Oleh Allah?

Apakah Allah tengah memberi kita sebuah pelajaran

Jika demikian, sebaiknya kita belajar dengan cepat. Begitu sering, kita membiarkan bagian dari spesies kita yang paling agresif dan rakus mengatur interaksi-interaksi material kita, yaitu ekonomi global kita. Memang mereka tidak meminta izin dari kita. Tetapi kita yang memiliki kekuatan yang lebih sedikit telah menyerahkan sebagian besar dari kehidupan planet ini, lokal dan global, kepada sistem kekuasaan. Kita menyalahkan yang kuat, namun kita tidak merebut kembali kekuasaan itu. Kita harus banyak belajar … terlalu banyak.

Apakah Allah tengah memperbaiki dunia?

Emisi karbon kita tengah mengalami penurunan, dengan jutaan penerbangan terhenti. Jika emisi terus menurun, kita mungkin mencegah kenaikan suhu global 1,5 derajat Celsius. Dan pandemi juga dapat menurunkan tingkat populasi, yang telah meningkat melampaui keberlanjutan. Lagi pula, Alkitab mengajarkan bahwa dibutuhkan Air Bah untuk membawa awal yang baru bagi umat manusia—dan yang lainnya. Nyaris penurunan total populasi manusia dan non-manusia juga. Setelah itu, dibutuhkan sepuluh tulah untuk membuat Firaun “membiarkan umat-Ku pergi.” Kerusakan besar pada orang yang tidak bersalah, seperti anak-anak Mesir dan budak-budak non-Ibrani! Apakah wabah kita saat ini merupakan cara Allah—suka atau tidak— memperbaiki dunia kita?

Bagi banyak orang yang menemukan penghiburan dan tuntunan dari iman alkitabiah mereka, pertanyaan-pertanyaan itu entah bagaimana harus dijawab “ya.” Dan campur tangan ilahi ini dapat membuat mereka melakukan hal-hal yang baik dan bermoral. Mereka dapat menemukan ayat-ayat Alkitab untuk dibaca secara harfiah, untuk keluar dari konteks mereka, untuk mengabaikan ribuan tahun sejarah antara teks kuno dan konteks kita, dan menemukan Allah semacam ini yang secara langsung dan penuh kekerasan menghukum, mengajari, menguji, memperbaiki.

Saya menghormati iman tulus dari siapa pun. Tetapi iman dapat terjebak ke dalam penafsiran yang salah arah. Jadi, demi kebenaran yang tanpanya iman merupakan ilusi—izinkan saya menjawab empat pertanyaan yang saya ajukan tersebut.

Apakah pandemi ini merupakan hukuman Allah?

Virus Corona memiliki efek menghukum, sebagian besar pada mereka yang paling rentan dan paling tidak layak menerimanya. Tetapi “hukuman” seharusnya menandakan keadilan. Namun dalam hal ini dan di sebagian besar wabah di sejarah dunia, orang miskin dan lemah menjadi korban utama. Bukankah ini membuat mereka menjadi objek dari hukuman yang sangat tidak adil? Selain itu, jika Allah adalah agen pengontrol sejarah secara langsung, tentulah efek samping yang tidak adil, yaitu kerusakan tambahan yang ceroboh ini, dapat dihindari! Sungguh, untuk sampai pada titik ini tidak akan pernah diperlukan.

Di dalam Alkitab, Allah menghendaki keadilan. Jadi … tidak. Tuhan tidak sedang mengerahkan virus Corona untuk mencambuk, mengeksekusi, atau menghukum kita. Bahkan tidak untuk mengurung kita ke dalam kamar kita seperti anak-anak nakal. Selain itu—bukankah hukuman ini menjadi sebuah gagasan yang terlalu kejam untuk apa yang kita sebut kehendak Allah?

Baiklah, jika demikian, menguji kita? Bukankah hal itu tidak terlalu menghukum.

Tidak, itu bukan sebagai hukuman. Tetapi apakah yang Anda maksudkan adalah bahwa Allah merancang pandemi untuk mencobai iman kita atau karakter kita, baik individu atau kolektif? Lagi-lagi … tidak. Ya, kemampuan kita diuji sebagai sebuah masyarakat, sebagai komunitas-komunitas, sebagai individu- individu— tetapi bukan karena Allah telah memilih cara ini untuk membuat orang banyak bertumbuh lebih baik atau lebih kuat melalui penderitaan. Seringkali, “ujian” ini akan memiliki efek sebaliknya: kita mungkin menjadi semakin lemah dan mati. Atau kita akan gagal dalam ujian moral itu dan menumpuk bahan makanan untuk bertahan hidup. Atau sistem politik akan mencurahkan sumber daya maksimum untuk menghidupkan kembali sistem ekonomi—alih-alih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang melonjak dari mereka yang tiba-tiba menganggur.

Tapi, kemudian, bukankah Allah mendidik kita sebuah pelajaran? Mendidik kita bahwa kita semua saling bergantung satu sama lain—dengan semua makhluk, bahkan dengan virus-virus? Tidak. Tidak jika yang Anda maksudkan adalah bahwa Allah telah merancang penyakit untuk memberikan sebuah pelajaran. Sudah sedikit terlambat, dalam kaitannya dengan keadilan iklim (climate justice). Dan itu terlalu besar dampaknya, bagi mereka yang lemah. Jadi, seandainya pun, walau tampaknya mustahil, kita secara kolektif, global—bahkan mungkin secara nasional— mempelajari sebuah pelajaran hebat tentang kebersamaan kita sebagai ciptaan, itu tidak akan terjadi karena Allah telah memutuskan untuk mendidik melalui wabah.

Suka atau tidak, Anda mungkin bersikeras: krisis ini mungkin bagaimana Allah yang Mahakuasa tengah campur tangan untuk memperbaiki dunia yang penuh dosa. Apakah Anda tidak percaya bahwa Allah bekerja untuk memperbaiki dunia-Nya—dengan cara apa pun yang diperlukan?

Ah, saya sungguh berpikir Allah selalu bekerja untuk tikkun olam, perbaikan dunia. Tapi tidak! Bukan dengan intervensi-intervensi penuh kekuasaan yang sangat destruktif. Tidak, Allah bukanlah Sang Pemecah Masalah Besar. Kisah banjir dengan sangat kuat bercerita tentang awal baru yang radikal yang dimungkinkan setelah keburukan manusia yang sistemik dan bencana alam yang luar biasa. Dan mari kita mengingatnya sebagai sebuah kisah yang sangat padat, sama seperti kisah Keluaran—bukan sebuah sejarah yang alamiah atau harfiah. Selain itu, perbaikan dunia dalam Alkitab lebih merupakan sebuah pekerjaan perawatan yang mendalam, bukan penghancuran yang semena-mena. Banjir dan wabah-wabah, termasuk COVID-19, tidak merawat.

Allah yang dipersaksikan Yesus, bagaimanapun, peduli tanpa batas. Dan setepatnya untuk alasan itu, Allah tidak dapat, tidak boleh, dipahami lagi sebagai “yang memegang kendali,” seperti Allah yang mahakuasa yang entah sudah selalu menentukan segala sesuatu (dalam hal ini dunia seharusnya tidak perlu diperbaiki sejak awal) atau sebagai Dia yang sesekali masuk ke dalam Saat Penting untuk Memperbaikinya.

Namun ini semua merupakan sebuah perdebatan besar. “Theodicy” menyebutkan argumen teologis usang tentang bagaimana membenarkan Allah—sebagai yang adil—di hadapan penderitaan yang tidak adil. Orang-orang Kristen sering kali hanya mencari jawaban setelah kematian: apa pun yang terjadi di sini, Allah akan menghadiahi milik-Nya di surga. Mengenai dunia ini, dengan COVID-19 dan wabah lainnya—mereka menganggapnya sebagai kehendak Allah bahwa kita menderita (sebagai hukuman, sebagai ujian, sebagai perbaikan) dan, ya, itu semua tidak masalah karena saya dan kaum saya akan ke surga ketika kami mati. Sungguh sebuah sikap mengelak supernaturalis yang besar—terserahlah.

Jadi, tidak, saya tidak berpikir bahwa bahkan “pintu keluar” surgawi berfungsi untuk membebaskan kita dari tanggung jawab kolektif kita sebagai manusia untuk menjadi lebih baik dan membuat dunia ini lebih baik. Sekarang.

Nah, jika demikian, bagaimana cara Allah bekerja? Atau apakah Anda mengatakan bahwa “Allah” hanyalah sebuah khayalan dari angan-angan saya atau tradisi saya yang tidak terpikirkan?

Bukan, bukan itu juga! Justru karena kita mewarisi beberapa khayalan tentang Allah maka saya menawarkan latihan teologis ini. Gagasan-gagasan bahwa Allah adalah kekuatan mahakuasa yang mengatur—selalu atau ketika “Dia” menganggap cocok—dapat benar-benar menghalangi pekerjaan Allah di dunia dan di dalam diri kita masing-masing. Dan mungkin bahwa karya Allah di dunia bergantung pada karya kita—setepatnya karena misteri yang disebut “Allah” bukanlah sebuah pantulan dari dominasi yang berdaulat. Bukan sesuatu, seseorang, yang bekerja dengan kendali dari-atas-ke-bawah. Jika tidak, tidak, tidak, dan tidak—lantas, bagaimana?

Bagaimana dengan kolaborasi kreatif bersama dengan semua ciptaan?

Virus Corona tidak dikirim sebagai hukuman ilahi. Tetapi sesuatu yang tidak terlepas: dalam krisis ini, Allah mungkin memanggil kita semua untuk bertanggung jawab, memintai pertanggungjawaban kita atas kesejahteraan dunia kita. Itu tidak berarti Allah menghendaki krisis ini terjadi—atau kengerian dan bencana sejarah apapun. Itu berarti tidak ada yang terjadi terlepas dari Allah, sebab Allah bukanlah sesuatu yang ada terlepas dari dunia: dunia adalah bagian dari Allah, dan Allah berpartisipasi di setiap bagian dunia. Allah merasakan dan menderita semuanya—bersama kita. Tetapi Allah juga memanggil kita untuk menghadapi makna dari wabah yang menghukum ini, untuk menghadapi saling-ketergantungan kita semua—sebuah kesaling-ketergantungan yang disembunyikan oleh peradaban kita dari kita, yang diungkapkan oleh penyakit menular ini kepada kita.

Allah tidak menciptakan pandemi untuk menguji siapa pun dari kita; Allah tidak menciptakan pandemi! Namun mungkin kita sedang diuji. Bukan oleh siksaan dari seorang Allah yang suka mengganggu, tetapi oleh undangan untuk bangkit di kesempatan ini. Untuk menemukan keberanian dan kepedulian yang akan menopang kita.

Dan sebagai sebuah spesies, bukankah kita sedang diuji—untuk melihat apakah kita bisa menerima hubungan kita sebagai ciptaan dengan setiap anggota dari spesies kita dan dengan semua spesies lain di planet ini? Jika kita gagal dalam ujian, itu bukan karena Allah akan menghukum kita melainkan sebagai konsekuensi atas tindakan kolektif kita. Apa yang akan menjatuhkan kita adalah konsekuensi dari tindakan-tindakan dan sikap diam kita. Jika tidak terhadap virus itu, maka terhadap efek-efek bencana dari pemanasan global. Yang akan datang segera. Tetapi bukankah ujian yang Alkitabiah yang paling utama selalu dan dan hanyalah kasih? Jika kita bangkit di kesempatan ini, itu karena kita bertumbuh di dalam kasih yang berani yang menghilangkan rasa takut.

Allah tidak sedang menyebarkan virus Corona untuk mengajarkan kita sebuah pelajaran. Penyakit ini merupakan efek dari ketidakseimbangan antara budaya dan alam. Dalam hal ini, perlakukan keliru atas hewan liar dan pengabaian sistemik terhadap peraturan-peraturan lingkungan telah memicu wabah ini. Tapi mungkin Allah sedang berusaha untuk mengajarkan sebuah pelajaran di dalam dan melalui pandemi ini. Bukankah Allah berarti—dia yang selalu memanggil dan mengundang kita masing-masing dan semua? Berusaha untuk mengajar, menginspirasi, di tengah-tengah apa pun yang sedang terjadi?

Lalu mengapa suara ilahi itu tidak menerobos masuk untuk menjadikan situasi lebih baik? Begitu banyak orang yang menyatakan diri mereka sebagai juru bicara Allah mengajarkan apa pun kecuali kasih—apa pun kecuali kasih yang alkitabiah kepada mereka yang terkecil, kepada orang asing, kepada sesama. Bagaimana mereka dapat membatasi kasih hanya pada komunitas, ras, agama mereka sendiri? Bagaimana mereka bisa menghilangkan ajaran Allah? Mungkin, karena ajaran itu datang dengan “bunyi angin sepoi-sepoi basa.” Mungkinkah pandemi ini, dengan menuntut kesunyian yang begitu mendadak, memberi kita sebuah kesempatan untuk memasuki keheningan itu?

Tidak, Allah tidak akan memperbaiki dunia melalui bencana ini atau bencana apa pun. Jadi bagaimana kita bisa berharap untuk perbaikan dunia ini? Tentu dengan tidak menunggu Allah melakukannya untuk kita. Tidak dengan mengabaikan roh kebijaksanaan yang berbisik, yang bernafas, senantiasa di dalam diri kita masing-masing. Masing-masing dari kita secara pribadi.

Tapi masing-masing, hanya di dalam kebersamaan kita semua—manusia, hewan, tumbuhan, mineral. Kebersamaan itu memiliki makna-makna yang baru sekarang, pada semua lapisan kesalingketergantungan semesta, entah mematikan atau jinak, menindas atau adil, di rumah atau di ruang publik. Sekarang, ketika kita belajar bahwa jarak sosial (social distance) tidak berarti pemisahan, tepat di tengah-tengah malapetaka, Roh dapat mengubah Anda, mengubah saya, mengubah kita bersama—menjadi katalis-katalis transformasi.

Kita mungkin tidak dapat terlalu banyak memperbaiki apa yang sudah terlalu rusak. Tapi di dalam sebuah harapan baru yang kelam, dapatkah kita menjadi kolaborator yang kreatif? Bahkan dengan Sang Pencipta, yang memicu hal paling sederhana dan pikiran-pikiran paling halus bagi ciptaan baru?

Ini bukanlah sebuah kisah penciptaan dari-atas-ke-bawah. Ciptaan baru ini datang ketika kita bekerja sama satu dengan yang lain dan dengan sumber ilahi dari setiap hal lainnya. Ini adalah kreativitas baru di dalam dan melalui kekacauan apa pun yang menimpa kita. Kekacauan ini mungkin terasa seperti Akhir Zaman. Tetapi ingatlah bahwa apokalypsis, setidaknya dalam Alkitab, tidak berarti Akhir dari Dunia. Itu berarti wahyu: bukan penutupan akhir (a final closing down), tetapi penyingkapan besar (a great dis/closure).

Di dalam kekacauan apa pun yang kita alami, kita mendaur ulang segala sesuatu yang mungkin: secara ekologis dan sosial, secara demokratis dan teologis. Kami tidak menunggu sebuah perbaikan yang diktatorial dari atas. Kita memasuki kolaborasi kreatif di dalam sebuah proses yang tidak dapat kita prediksi atau kontrol. Sebab proses penciptaan baru tetaplah misterius. “Langit yang baru dan bumi yang baru” diterjemahkan bukan lagi sebagai intervensi supernatural atau pelarian setelah-kematian—melainkan sebagai pembaruan radikal dari atmosfer dan bumi.

Saya berharap masing-masing dari empat “tidak” di atas telah berubah menjadi semacam “ya” yang aneh. Menjadi penegasan-penegasan tentang apa yang Anda—Anda yang selalu ingin tahu—sudah Anda rasakan dan pertimbangkan secara mendalam. Dan mulailah untuk melakukannya. ***

Dengan cinta, Catherine, Maret 2020

ckeller@drew.edu catherineekeller.com @Prof_Keller

Diterjemahkan oleh: Joas Adiprasetya 4 April 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *