Bencana Bukan Hukuman Tuhan

www.sinodegmit.or.id,  Merespon bencana dengan tepat memerlukan perspektif teologis yang tepat. Pokok pikiran teologis ini mendasari pelatihan online/webinar “Dukungan Psikososial untuk Pemimpin GMIT” yang diprakarsai oleh Majelis Sinode GMIT bekerja sama dengan World Vision Indonesia (WVI)-NTT dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).

Pelatihan ini bermaksud memperdalam pemahaman para pendeta GMIT tentang teologi bencana sehingga mereka mampu melakukan tugas pastoral secara bertanggungjawab di saat bencana.

Salah satu pertanyaan teologis yang sangat mendasar diajukan oleh Dr. Anil Dawan, salah satu narasumber dalam pelatihan ini: Benarkah bencana adalah hukuman Tuhan?

Mengacu pada sejumlah teks Alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Anil dalam materinya menyimpulkan bahwa bencana bukan hukuman Tuhan melainkan gejala normal dari kehidupan di alam semesta ini. Kesimpulan Anil berangkat dari refleksi atas jawaban Tuhan Yesus dalam cerita orang buta (Yohanes 9). Dalam kisah ini murid-murid bertanya kepada Yesus dosa siapakah yang menyebabkan orang itu buta. Orang tuanya ataukah si buta itu sendiri? Dan Yesus menjawab, bukan keduanya.

Dalam setiap musibah, kata Anil, Perjanjian Baru fokus kepada solusi, bukan pada problem. Mencari salah siapa (dalam konteks bencana, red.) itu bukan pandangan Yesus pada umumnya. Yesus justru melihat bahwa di setiap bencana, tak tepat bertanya atau mencari ini salah siapa/dosa siapa, tapi lebih pada satu tindakan untuk menyatakan kebesaran dan pekerjaan Tuhan dalam keadaan itu.

Oleh sebab itu, lanjut Anil, para pemimpin agama harus memiliki perspektif teologis yang tepat, sebab tanpa hal yang demikian akan menghasilkan tindakan yang disfungsional.

“Beberapa waktu lalu kita melihat di media sosial, sejumlah pendeta saling mengklaim dan saling menyalahkan dan berargumentasi tentang Covid-19. Itu cerminan bahwa ketika ada bencana, dan pemahaman tidak tepat maka fungsi agama juga tidak bisa berperan secara maksimal. Tidak memberikan ketenangan dan kesejukan, tapi malahan memicu pro/kontra di sana sini.”

Lalu bagaimana masyarakat NTT khususnya anggota GMIT memandang bencana?

Majelis Sinode GMIT oleh Badan Perencanaan, Penelitian, Pengembangan Pelayanan Sinode (BP4S) GMIT baru-baru ini mengadakan survei dengan mengajukan pertanyaan yang sama yang diajukan Anil Dawan. Dan, jawaban responden sangat mengejutkan. 70 persen (termasuk para pendeta) menjawab, bencana adalah hukuman Tuhan sekaligus kesalahan manusia.

Mengacu pada hasil survei BP4S GMIT tersebut, Pdt. Lay Abdi Wenyi, M.Si, Ketua majelis Klasis TTU menilai bahwa keyakinan pada pemahaman teologi bahwa bencana adalah hukuman Tuhan pada gilirannya lebih mendorong orang/jemaat untuk mencari solusinya pada jawaban iman semata-mata, yakni; Jangan tutup pintu-pintu gedung gereja. Itu sikap yang menunjukan ketiadaan iman. Biarkan jemaat beribadah di dalam gedung gereja sekalipun dengan risiko tertular. Tokh, itu hukuman Tuhan sehingga hanya Tuhan yang bisa menghalau virus tersebut. Inilah dilema yang dihadapi pemimpin-pemimpin jemaat di GMIT saat ini.

Menghadapi adanya polarisasi pandangan di kalangan warga jemaat maupun para pendeta dengan keputusan lembaga (Majelis Sinode) di pihak yang lain, maka Pdt. Abdi mendorong perlu ada rancang bangun teologi bencana yang lebih holistik dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan modern.

Selanjutnya, pada sesi mengenai prinsip-prinsip panduan pendampingan korban, Rully Hutapea, narasumber dari WVI, mengulas aspek spiritual sebagai salah satu kebutuhan yang tidak boleh diabaikan di masa bencana. Meminjam teori piramida kebutuhan manusia dari Abraham Maslow (Maslow’s hierarchy of needs), ia mengajak peserta untuk memahami fase-fase kebutuhan para korban.

“Menurut teori ini kebutuhan awal saat orang menghadapi bencana adalah rasa aman. Jadi saat bencana maka yang dibutuhkan adalah bantuan makanan atau kebutuhan pangan, pakaian dan tempat tinggal. Dan itu biasanya disediakan. GMIT sudah dan sedang melakukan itu. Namun setelah itu tahapan berikutnya adalah penguatan keluarga dan komunitas.”

Menurut Rully, dalam situasi bencana biasanya pada sekitar hari ke-10 orang mulai mengalami stress karena bermacam sebab. Yang tinggal di rumah/tenda-tenda mulai bosan atau suntuk. Dalam situasi yang demikian mereka butuh teman bicara dan penghiburan. Di tahap inilah kehadiran gereja melalui para pemimpin agama sangat penting.

“Agak repot kalau kita memahami bencana sebagai sebuah hukuman di saat orang mengalami stress. Bisa jadi orang yang stres kita anggap sebagai orang terkutuk. Padahal mereka butuh teman bicara, butuh penghiburan,” jelas Rully.

Terkait urgensi pelatihan psikososial ini, Ketua Majelis Sinode (MS) GMIT, Pdt. Mery Kolimon, dalam suara gembala pembukaan kegiataan ini menegaskan pentingnya peran para pendeta memahami isu kesehatan mental dalam konteks bencana.

Belajar dari pengalaman sejarah GMIT pada peristiwa tragedy 65 misalnya, banyak anggota gereja yang, — kata Pdt. Mery, mengutip pengalaman mantan Ketua MS GMIT, alm. Pdt. Radja Haba dalam buku “Benih Yang Tumbuh 11” — mengaku mendengar suara Tuhan. Hal yang sama terulang lagi saat pandemi virus Corona. Belakangan ini beredar video oknum yang mengaku mendengar suara Tuhan dan mengecam keputusan Majelis Sinode yang mengikuti protokol pemerintah dengan memindahkan kebaktian di gereja ke rumah-rumah tangga.

Menghadapi kondisi yang demikian, lanjut Pdt. Mery, para pendeta selaku pimpinan jemaat, harus siap dengan pendampingan dan keterampilan pastoral yang ditunjang dengan kemampuan analisa yang kuat.

Ketua MS GMIT menyampaikan terima kasih kepada PGI dan WVI atas dukungan yang diberikan termasuk kepada para pemateri yang menyumbang pikiran, pengetahuan dan keterampilan dalam memperlengkapi para peserta.

“Ini kesempatan belajar di lingkup nasional dan sinodal yang sangat berharga,” demikian pengakuan Pdt. Sepri Adonis, salah satu peserta dari klasis Amanuban Tengah Utara.

Pelatihan online ini telah berlangsung pada Selasa-Rabu, (5-6/5-2020), diikuti 177 peserta dari kalangan pendeta jemaat, dosen, dan anggota Tim Tanggap Bencana Covid-19 GMIT.  ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *