Kupang www.sinodegmit.or.id, Memperingati HUT Peruati ke-25, BPD Peruati Timor Kepulauan bekerja sama dengan Unit Pelayanan Kategorial Bidang Perempuan MS GMIT mengadakan webinar bertema “Peran Peruati dalam Pembentukan Kepemimpinan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat Termasuk di Masa Pandemi”.
Kegiatan yang berlangsung pada Senin, (29/6) menghadirkan tiga narasumber antara lain: Pdt. Irene Umbu Lolo, M.Th (Wakil sekretaris BPN Peruati), Pdt. Ivone Peka, S.Si.Teol (Ketua Majelis Klasis Amanatun Utara), dan Pdt. L. Natu Taku Bessi, S.Th (Mantan Ketua Majelis Klasis Sumbawa).
Ketua BPD Peruati Timor Kepulauan, Pdt. Dr. Linda Kisek, dalam pengantar kegiatan ini mengajak peserta dan gereja untuk memberi perhatian pada banyak perempuan yang mengalami tekanan dan beban ganda akibat dampak pandemi Covid-19.
“Di masa pandemi ini sebagian ibu rumah tangga selain memastikan kebutuhan dasar dan mengasuh anak, mereka juga harus membantu anak-nak belajar dari rumah sehingga beban mereka berlipat ganda. Kalau kondisi ini tidak di kelola dengan baik, perempuan akan mengalami tekanan psikis dan juga kekerasan. Karena itu, diharapkan ada pemulihan dan pendampingan bagi para perempuan korban.”
Menyampaikan suara gembala pada kesempatan ini, Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon mengapresiasi kemajuan GMIT dalam hal memberi ruang kesetaraan gender bagi perempuan dan laki-laki dalam memimpin di level jemaat, klasis dan sinode.
“Tujuh tahun pasca GMIT berdiri, tepatnya pada 1954, Pdt. Betty Radja Haba-Nalley ditahbiskan menjadi pendeta perempuan pertama di GMIT, dan sejak itu, makin banyak perempuan menjadi pendeta. Beberapa di antaranya menduduki jabatan struktural di Majelis Sinode mulai tahun 1999 hingga saat ini… Dan, ini sesuatu yang ketika diceritakan kepada banyak gereja di Indonesia bahkan Asia, ini merupakan sesuatu yang mengaggumkan. Tapi pada saat yang sama kita tidak boleh berpuas diri. Kita mesti berefleksi secara kritis plus minus dari capaian tersebut,” kata Pdt. Mery.
Hal lain yang diingatkan Pdt. Mery adalah pengkaderan.
“Salah satu ciri kepemimpinan feminis adalah pengkaderan. Kita perlu menyiapkan dengan sadar estafet kepemimpinan kaum perempuan untuk bersama saudara-saudara pria memimpin di lingkup jemaat, klasis dan sinode. Dengan sebuah tekad bahwa ada perubahan kualitas penataan diri dan misi gereja yang lebih baik, ketika perempuan memimpin dan bukan sekadar memenuhi kuota,” pesan Pdt. Mery.
Sementara itu, Pdt. Irene Umbu Lolo dalam materinya mengatakan bahwa kehadiran perempuan dalam kepimpinan gereja perlu menampilkan warna yang khas, yakni pada nilai-nilai yang ia perjuangkan. Kepemimpinan perempuan harus menginternalisir nilai-nilai feminis seperti kesetaran dan belas kasih sebagai nilai kehidupan yang menjiwai tidak saja gagasan, tetapi juga dalam praktik keseharian.
Karena itu ia mendorong para pemimpin perempuan agar kristis terhadap warisan adat/budaya, teologi bapa-bapa gereja dan teks-teks Alkitab yang terkesan membatasi ruang perempuan untuk tampil di ruang publik.
Narasumber lainnya, Pdt. Ivone Peka, Ketua Majelis Klasis Amanatun Utara, mengungkapkan jika pada umumnya kelemahlembutan dianggap sebagai kelemahan perempuan, justru dalam pengalamannya selaku pimpinan klasis, sifat ini menguntungkan dalam membangun dialog atau negosiasi berhadapan dengan pemimpin laki-laki.
Sedangkan Pdt. Leo Takubessi, selaku narasumber laki-laki pada webinar ini mengisahkan bahwa dalam pengamatannya sebagai mantan Ketua Majelis Klasis Sumbawa, kerap muncul pertanyaan dan kecurigaan ketika perempuan menjadi pemimpin: apakah ia cukup mampu membagi diri dengan tugas di rumah, apakah ia cukup baik membuat keputusan, siapa yang ada di belakangnya? Padahal pertanyaan-pertanyaan yang sama tidak pernah diajukan kepada pemimpin laki-laki. Keraguan-keraguan ini rupanya tidak terbukti sebab dengan adanya perempuan dalam kepemimpinan sinode, klasis, dan jemaat isu-isu sosial justru menjadi agenda bersama dan diperjuangkan dengan serius.
Sebagai wadah yang mewadahi para perempuan berpendidikan teologi di Indonesia, melaui webinar ini Peruati mendorong pentingnya peran keluarga dalam mempersiapkan anak-anak perempuan untuk tumbuh percaya diri dengan membangun ruang yang setara antara anak laki-laki dan perempuan di rumah. Diharapkan ketika anak-anak perempuan masuk dalam ruang pelayanan yang lebih luas, mereka mampu mengambil sikap yang jelas, kritis terhadap praktik-praktik ketidaksetaraan dan berani bersuara melawan ketidakadilan.*** (Lucy Herlina Pulamau)