Khotbah: Beriman vs Berilmu, Benarkah Demikian? 1 Tawarikh 22:2-19

Hanya, Tuhan kiranya memberikan kepadamu akal budi dan pengertian dan membuat engkau menjadi pemegang perintah atas Israel, supaya engkau memelihara taurat Tuhan, Allahmu (ay.12) 1 Tawarikh 22:2-19

Pdt. Gusti Menoh

Wabah corona menjadi tantangan serius bagi iman kepercayaan kepada Allah. Mengapa? Karena dalam iman kita, kita percaya bahwa Allah itu maha kuasa dan maha baik, namun terhadap keganasan covid-19 itu, Allah seakan berdiam diri. Doa-doa dinaikkan, puasa dan ibadah ditekuni, namun virus itu belum juga lenyap. Banyak orang kemudian bertanya, di mana kemahakuasaan Allah? Kalau Allah maha kuasa dan maha baik, mengapa IA tidak mencegah virus tersebut atau menghentikannya? Apakah IA tidak mendengar doa dan tangisan anak-anak manusia? Di sinilah iman mendapat tantangan serius, karena seakan Allah tak mampu melakukan apa pun. Bahkan agama tunduk pada tuntutan ilmu pengetahuan (terutama ilmu kesehatan melalui protokol-protokol yang ditetapkan), di mana umat beragama dipaksa beribadah di rumah, menjaga jarak, mencuci tangan, menggunakan masker, dan lain sebagainya. Iman, atau agama, seolah kehilangan kuasanya di hadapan virus corona. Pada hal berabad-abad lamanya agama mengklaim diri sebagai yang memiliki pengetahuan yang paling sempurna, luhur, suci, karena diturunkan langsung dari Tuhan (melalui wahyu), dan oleh karena itu, agama seringkali menganggap  rendah ilmu pengetahuan sebagai pengetahuan yang rendah, duniawi, kasar, tak lengkap, bahkan berbahaya.

Konflik antara iman dan ilmu bukan hal baru. Sejak lama, kebenaran-kebenaran agama dipersoalkan oleh para ilmuan (ahli ilmu biologi, matematatika, fisika, filsafat, psikologi, sosiologi, antropoligi, dll). Sudah ribuan ilmuan yang menolak iman sebagai kebenaran, misalnya Gallileo Galilei, Charles Darwin, Karl Marx. Dewasa ini, kritik paling keras terhadap iman adalah dari Richard Dawkins, ahli biologi Inggeris abad ini yang menulis buku The God Delusion. Dawkins mengatakan bahwa terlalu banyak hal dalam ajaran-ajaran agama tidak masuk akal. Dawkins menolak percaya padanya Allah, karena menurutnya Tuhan tidak bisa dibuktikan. Bagi Dawkins, apa yang diimani orang percaya, seperti halnya Allah, malaikat, surga, neraka, para nabi, mujizat, adalah sesuatu yang omong-kosong (nonsense). Dawkins menuduh orang-orang beragama sebagai manusia yang mengalami gangguan jiwa, karena mempercayai hal-hal yang naif dan tak masuk akal.

Fakta ini membuktikan bahwa iman dan ilmu (pengetahuan) seringkali bertentangan, berkonflik dan bermusuhan. Sebab masing-masing bersikukuh sebagai pemegang kebenaran tertinggi.  Ilmu (sains) merasa diri sebagai pemegang kebenaran, karena pengetahuan yang dihasilkannya sudah melalui metode-metode yang valid dan kebenarannya terbukti. Sedangkan iman pun tak mau kalah karena meyakini bahwa kebenarannya berasal dari Allah secara langsung, walaupun tidak bisa dibuktikan dengan mata. Pertanyaannya, benarkah iman dan ilmu pengetahuan itu sungguh-sungguh bertolak-belakang (vs)? Tidak adakah titik temu diantara keduanya? Mungkinkah kita beriman sekaligus berilmu?

Sebelum melihat lebih jauh relasi keduanya, kita lihat dulu bacaan hari ini. Di dalam Septuaginta (terjemahan Alkitab dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani), kitab Tawarikh disebut “Paraleipomena”, yang kalau diterjemahkan berarti “yang belum diceritakan”. Nampaknya Septuaginta memandang kitab Tawarikh sebagai lanjutan kitab Raja-Raja. Oleh karena itu, kisah-kisah kerajaan Israel pun masih diceritakan. Dan hal yang paling penting dari Tawarikh adalah bahwa penulis ingin menjelaskan bahwa umat di Yerusalem, sesudah masa pembuangan di Babilon, adalah persekutuan umat Allah, umat yang diperbaharui. Penulis memulai ceritanya dengan pekerjaan Daud, yang menurutnya adalah perintis persekutuan Israel sebagai persekutuan bangsa dan kultus. Oleh karena itu, persekutuan orang-orang kudus ini mesti dijaga dengan baik, dengan mengingat kembali perjuangan Daud dan Salomo yang berjuang membangun bait Allah agar umat setia bersekutu dengan Allah dan juga untuk menyatukan seluruh umat Israel sebagai sesama bangsa pilihan.

Pasal 22 bercerita tentang keinginan Daud untuk membangun bait Allah. Sebagai raja Israel, Daud ingin memusatkan ibadah di Yerusalem. Itulah sebabnya Daud brniat membangun bait suci. Daud ingin agar kerajaan Israel benar-benar teokratis, artinya pemerintahannya mengacu pada Allah dan taurat-Nya, dan karena itu, bait Suci sebagai simbol kehadiran Allah mesti dibangun. Namun tangan Daud sudah kotor karena menumpahkan darah bagi Tuhan sehingga Allah tidak berkenan. Daud menerima keberdosaannya itu di hadapan Tuhan sehingga dengan hikmat dan bijaksana ia menyerahkan pekerjaan pembangunan itu kepada Salomo, anaknya itu.

Dengan hikmat Daud mempersiapkan segala keperluan pembangunan itu, mulai dari para tukang, para pembesar Israel, para panglima, bahan-bahan seperti kayu, batu, besi, tembaga, perak dan emas dalam jumlah yang sangat banyak. Sebagai ayah yang bijaksana, Daud sadar bahwa anaknya Salomo masih terlalu muda untuk memahami seluk-beluk pembangunan dan bagaimana memperoleh seluruh keperluannya. Oleh karena itu, Daud mempersiapkan semuanya. Daud bahkan menggabungkan para pakar dari berbagai ilmu/ketrampilan guna mengerjakan pembangunan Bait Allah. Ada tukang kayu, tukang besi, tembaga, emas, ahli bangunan, mandor, pengawas, pemimpin, pekerja, dan lain sebagainya. Setelah segalanya dipersiapkan, Daud berbicara dengan Salomo untuk mengerjakan pembangunan itu. Daud berdoa memohon kepada Allah untuk mengaruniakan hikmat dan akal budi kepada Salomo agar Salomo dapat memelihara taurat Tuhan. Sebab menurut Daud, selama Salomo setia melakukan hukum-hukum Tuhan maka ia akan berhasil dalam pembangunan dan dalam kerajaan Israel yang dipimpinnya. Apa artinya itu? Artinya Daud percaya bahwa Allah merupakan sumber hikmat dan hukum taurat merupakan sumber pengetahuan dalam menata kehidupan dan pekerjaan, sehingga mesti diacu oleh Salomo.

Doa Daud ini kemudian dijawab oleh Tuhan. Salomo menjadi raja yang paling berhikmat dalam sejarah raja-raja Israel. Hikmat dan kebijaksanaan Salomo itu terbukti dalam kemampuannya memimpin umat Israel selama 40 tahun, memutus perkara-perkara umat, dan bahkan menulis begitu banyak puisi, nyanyian, ajaran-ajaran penuh hikmat dalam kitab-kitab yang tersebar seperti Mazmur, Amsal, Pengkhotbah. Kitab-kitab ini sangat dalam kekayaan hikmat dan kebijaksanaanya. Melalui kitab-kitab ini, kita melihat betapa dalamnya hikmat mereka, baik dalam merefleksikan Allah,  manusia, mau pun segenap alam semesta. Itu terjadi karena baik Daud mau pun Salomo beriman kepada Allah, sekali gus menimba hikmat pada-Nya. Keduanya menjadikan Allah dan hukum taurat sebagai sumber ilmu pengetahuan yang mesti diacu. Dengan demikian, iman dan ilmu tidak dipertentangkan, melainkan dapat dikolaborasikan dalam diri mereka. Mereka beriman kepada Allah, selalu menjadikan Allah sebagai Tuhan dalam hidup dan karya mereka, dan menimba hikmat dan pengetahuan dari taurat Tuhan.

Bacaan ini memberi kita sejumlah pelajaran. Pertama, iman dan ilmu pengetahuan tidak perlu dipertentangkan. Iman mengacu pada wahyu Allah, yaitu firman Tuhan. Firman Tuhan bukan sesuatu yang tidak masuk akal. Firman Tuhan justru berisi kebenaran-kebenaran Allah yang menuntun hidup manusia menjadi baik. Firman Tuhan juga merupakan kebenaran-kebenaran yang membantu manusia memahami Allah pencipta, alam semesta dan seluruh isinya, dan diri sendiri (lihat Mazmur 8, dan 104). Sementara ilmu adalah usaha manusia dengan akal budinya untuk memahami segala sesuatu. Karena manusia itu terbatas, maka ilmu apa pun yang dihasilkannya pasti terbatas pula. Buktinya ilmu terus berkembang, karena selalu dikoreksi dan dibaharui oleh ilmuan belakangan.

Pertentangan antara ilmu dan iman terjadi karena dua sebab utama. Pertama, soal objek kajian (objek material). Secara umum, iman dan ilmu berbicara tentang realitas-realitas yang berbeda. Iman berbicara tentang realitas metafisik, yakni realitas ilahi (Allah, surga, malaikat dll), hal-hal yang melampaui dunia inderawi kita. Kalau pun realitas fisik dunia dan manusia dibicarakan oleh iman, itu dalam kerangka memahami Allah dan kehendak-Nya.  Sementara ilmu mau mengkaji hal-hal fisik: alam semesta, manusia, dan seluruh kenyataan di dunia ini. Para ilmuan dan agamawan seringkali berkonflik karena masing-masing melanggar wilayah kajiannya. Para agamawan memaksa diri untuk menjelaskan fenomena alam dan dunia (misalnya tentang wabah penyakit/bencana alam) dari sudut pandang iman, pada hal alam dan dunia bergerak menurut hukum-hukum fisika. Sebaliknya, para ilmuan juga seringkali bergerak terlampau jauh dengan masuk ke dalam wilayah iman. Mereka mau mengkaji Allah, malaikat, sorga, layaknya alam semesta, pada hal Allah/malaikat/sorga bukan realitas fisik yang dapat diamati dengan pancaindera. Di sini para ilmuan, termasuk Dawkins, sangat keliru karena mencoba menjelaskan Allah secara empiris. Kedua, soal sudut pandang. Iman melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah. Sedangkan ilmu mau memahami segala sesuatu dari akal budi dan metode-metode ilmiah yang terukur. Terhadap virus corona misalnya, agama memang tak bisa melakukan apa pun, karena itu adalah bagian dari fenomena alam. Ilmu kesehatanlah yang berkompeten untuk mendeteksi jenis virusnya, cirinya, dan penularannya. Jadi bukan karena Tuhan tak sanggup mematikan wabah itu, tetapi karena itu adalah kenyataan alamiah yang cukup dikaji oleh ilmu (kesehatan) dan dicarikan solusinya. Bukankah Allah memberi “kebebasan” kepada manusia dan alam semesta sejak permulaan?

Kedua, oleh karena itu, kita dapat beriman sekali gus mengembangkan ilmu pengetahuan. Daniel Philips, penerima nobel fisika tahun 1997, juga adalah orang beragama yang sangat saleh. Dia ahli fisika, yang percaya pada hukum-hukum fisika yang bekerja dalam alam semesta. Namun setiap minggu Philips pergi berdoa di gereja. Dia percaya pada Tuhan. Suatu hari dia ditanya, mengapa dia percaya Tuhan? Bukankah kepercayaan itu tidak ilmiah? (tidak ilmiah artinya tidak memenuhi syarat ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menuntut keruntutan logika dan bukti secara nyata). Dengan santai Philips menjawab, bahwa tidak semua hal yang kita yakini harus ilmiah (masuk akal/logis dan mesti dibuktikan). Bagi Philips, yang tidak ilmiah tidak berarti tidak ada. Menurut Philips, cinta, kebaikan, dan Tuhan tidak ilmiah, namun ada sehingga dapat dipercaya. Ingat lagu Agnes Monika, (cinta) tak ada logika. Philips adalah contoh orang yang berilmu sekali gus beriman. Ahli Fisika bernama Albert Eisntein bilang, “ilmu tanpa iman adalah buta, sebaliknya iman tanpa ilmu itu lumpuh”. Berilmu butuh iman agar diterangi. Beriman pun butuh ilmu agar diperkokoh. Beriman, perlu balajar ilmu pengetahuan agar tidak menjadi naif. Sebaliknya, berilmu/mengembangkan ilmu, perlu dibarengi iman, karena imanlah yang menolong manusia untuk memperhatikan nilai-nilai moral. Ilmu tanpa iman, cenderung merusak. Eksploitasi atas alam, penjajahan negara maju atas negara miskin, bom nuklir, senjata pemusnah massal, pesawat tanpa awak pembunuh manusia, adalah buah dari ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa dibarengi iman dan penguatan nilai-nilai moral.

Ketiga, orang beriman mesti mengembangkan ilmu pengetahuan juga. Tak cukup bagi orang beragama untuk hanya mempelajari imannya (baca Alkitab). Kita mesti mempelajari berbagai disiplin ilmu untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan kita, agar tidak terjebak dalam kesempitan/kepicikan berpikir. Sebab bagaimana pun ilmu pengetahuan dan teknologi menerangi banyak hal dan membawa banyak kemajuan dalam hidup kita. Tanpa ilmu dan teknologi, manusia tetap hidup dalam kegelapan, ketertinggalan, kebodohan, dan kemiskinan, dan cara hidup barbar. Itu berarti kita perlu terbuka pada dunia, pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kita manfaatkan demi kehidupan, kerja, dan pelayanan kita.

Teknologi-teknologi canggih yang kita nikmati saat ini, seperti HP, TV, Pesawat, mobil, motor, komputer, internet, listrik, media-media daring di mana rapat-rapat/belajar online berlangsung, semuanya adalah anak kandung ilmu pengetahuan. Artinya dari ilmu pengetahuanlah, teknologi-teknologi itu dihasilkan. Kesadaran akan kesetaraan gender, nilai-nilai kemanusiaan universal, martabat manusia, hak-hak asasi manusia, juga adalah berkat perkembangan ilmu pengetahuan. Maka kita mesti terus belajar agar menjadi cerdas dan berhikmat. Seringkali orang merasa belajar hanya berlangsung pada saat sekolah/kuliah, dan setelah lulus, ia berhenti belajar. Akibatnya ia menjadi kerdil dan picik hati dan pikirannya. Padahal sekolah/kampus hanya tempat latihan belajar, sehingga mestinya setelah lulus pun manusia terus belajar (belajar sepanjang hidupnya, dari berbagai ilmu pengetahuan yang terus berkembang).

Bulan Juli ini GMIT ada dalam bulan pendidikan. Sebagai gereja, kita terus bergumul dengan sekolah-sekolah GMIT yang masih terkebelakang. Sekolah adalah media pendidikan, ruang persemaian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Maka kalau sekolah-sekolah GMIT mutunya rendah, sudah pasti generasi gereja masa depan akan suram. Sebab sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan merupakan kekuatan transformatif suatu masyarakat/bangsa menuju kemajuan dan perabadan yang lebih baik. Bangsa-bangsa Eropa sudah maju ribuan tahun yang lalu, karena sejak lama mereka mengerjakan pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Itu berarti, kalau gereja mau maju, ia mesti sungguh-sungguh mengerjakan pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hanya dengan mengerjakan sungguh-sungguh pendidikan melalui sekolah-sekolah GMIT dan serius mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, kita boleh yakin bahwa gereja masa depan akan terdiri dari manusia-manusia cerdas, berhikmat, yang menguasai dunia dan bisa menyumbangkan talentanya. Tanpa peduli pada pendidikan, gereja akan terus ada dalam keterbelakangan sehingga tidak mampu memberi dampak positif bagi kehidupan di dunia ini. Bahkan mungkin gereja kehilangan masa depannya karena akan punah sendiri.  Sebab watak dari ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Mereka yang menguasai ilmu pengetahuan, akan mengendalikan masyarakat, bangsa dan dunia. Maka kalau gereja tidak serius mengurus pendidikan, ia akan dikuasai dan tenggelam seiring waktu. Sebab kalau pendidikan tidak dikerjakan, sumber daya manusia GMIT akan rendah kualitasnya sehingga mudah dikuasai dan dikendalikan. Wabah corona tidak boleh melemahkan semangat gereja untuk mengerjakan pendidikan melalui sekolah-sekolah GMIT. Gereja perlu mendukung penuh sekolah-sekolah itu melalui dana, tenaga, moril dan lain-lain.

Sebagai orang tua, sedapat mungkin kita mendukung pendidikan anak-anak kita sampai perguruan tinggi. Tetapi kita juga perlu mendidik mereka dalam iman agar ketika mereka berpendidikan tinggi dan berhasil, mereka tidak lupa Tuhan sebagaimana para ilmuan ateis itu. Sederhananya, kalau seorang bapa rela mengantar anak-anaknya ke sekolah setiap hari, mestinya ia juga mau mengantarkan anak-anaknya ke sekolah minggu/kegiatan gerejawi lainnya agar mereka bertumbuh dalam iman. Kalau setiap hari ibu mendampingi anak-anaknya belajar berbagai pelajaran dari sekolah, mestinya ia juga mau membimbing anak-anaknya untuk mempelajari firman Tuhan setiap hari. Jadi kita mesti memperkuat iman, dan juga mesti terus belajar dari hasil temuan ilmu pengetahuan yang lain, agar kita menjadi orang beriman yang saleh dan berhikmat/cerdas sekali gus. Beriman dan berilmu, mesti sama-sama kita kerjakan. Amin. Tuhan memberkati kita.***

*Renungan Khotbah Minggu, 5 Juli 2020

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *