Mengembangkan Model Pelayanan Menunggu Dan Pergi
Pengantar :
KUPANG – www.sinodegmit.or.id, Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (MS GMIT) melalui Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Teologi menyelenggarakan diskusi online atau diskusi daring (dalam jaringan) bertema “Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Tugas Penguatan Keluarga Sebagai Basis Penataan Diri dan Misi Gereja.” Seminar Daring yang dilaksanakan di akhir bulan Juli ini sebagai salah satu program diskusi dari rangkaian diskusi yang ke depannya bisa dilaksanakan lebih dari sekali dalam sebulan. UPP Teologi menghadirkan tiga narasumber, yakni, Pdt. Selfiana Tahun, Ketua Klasis Amanuban Tengah Utara, Pdt. Emr. Semuel Victor Nitti, MTh, dan Pdt. Dr. Handi Hadiwitanto, staf pengajar Teologi Praktika dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. Bertindak sebagai moderator Pdt. Lusi Bilik dari UPP Teologi Sinode GMIT.
Tulisan pertama Pdt. Selfina Tahun menampilkan materi tentang “Potret kehidupan Kristen di masa pandemi di Kabupaten Timor Tengah Selatan, khususnya dalam wilayah Klasis Amanuban Tengah Utara.” Tulisan kedua kali ini menampilkan materi kedua oleh Pdt. Emr. Semuel Victor Nitti, MTh, yang menyajikan tulisan berjudul “Penguatan Keluarga sebagai Basis Penataan Diri dan Misi Gereja.”
—– Bagian kedua dari tiga tulisan —
Pdt. Emr. Semuel V. Nitti menyampaikan pemetaan kondisi ibadah dan mengusulkan model-model pelayanan untuk Penguatan Keluarga sebagai Basis Penataan Diri dan Misi Gereja. Hal-hal yang dipaparkan sebagai upaya mencari suatu rancang bangun pelayanan Jemaat di era-baru, yaitu, era yang di dalamnya manusia belajar hidup bersama virus corona sambil menjaga diri untuk tidak tertular virus corona.
Sejak gereja berhenti beribadah di gedung gereja untuk mencegah penularan covid 19, gereja telah menyelenggarakan pelayanan di Jemaat dengan cara baru. Caranya amat bervariasi sesuai situasi Jemaat dan ketersebaran warga Jemaat. Juga, sesuai kesiapan para pendeta dan majelis jemaat serta fasilitas yang tersedia dan atau yang bisa diusahakan ada. Pada tahap awal pandemi, seluruh ibadah jemaat yang terpusat di gedung kebaktian ditiadakan dan sebagai gantinya ibadah minggu diselenggarakan di rumah-rumah warga Jemaat, baik secara mandiri pada masing-masing rumah maupun secara bersama melalui ibadah on-line.
Ketika ibadah minggu diadakan lagi di gedung, maka diadakanlah pembatasan-pembatasan. Antara lain, pembatasan jumlah kehadiran pada setiap jam kebaktian. Frekuensi ibadah bersama diperbanyak. Jemaat yang berusia tua, sakit dan anak-anak di bawah usia 15 tahun diharapkan tetap beribadah di rumah.
Terbentuklah dua macam ibadah minggu. Ibadah minggu bersama di gedung kebaktian dan ibadah minggu di rumah-rumah tangga. Dengan demikian ada dua bentuk jemaat yang beribadah, yaitu, Jemaat Teritorial yang beribadah bersama di gedung gereja dan Jemaat Kategorial yang bisa disebut juga Jemaat Rumah. Bila anak-anak dan remaja beribadah tersendiri maka ada juga Jemaat Kategorial sekaligus Jemaat Rumah khusus untuk anak-anak dan remaja.
Model pelayan ibadah minggu di rumah juga, kata Pdt. Nitti, berlangsung dalam dua bentuk. Pertama, keluarga di rumah mengikuti ibadah minggu dari gedung gereja melalui sarana telekomunikasi. Kedua, kebaktian mandiri sepenuhnya oleh setiap keluarga di rumah. Jadi dalam praktek ada tiga macam ibadah minggu di setiap Jemaat. Pertama, ibadah bersama di gedung kebaktian; kedua, ibadah kategorial lansia dan mereka yang sakit; serta ketiga, ibadah anak-anak dan remaja.
Pdt. Nitti menguraikan ibadah mandiri yang diadakan di rumah bisa disebut sebagai Jemaat Rumah. Mereka yang tinggal di rumah dan mengikuti ibadah minggu dari gereja tidak dapat dianggap sebagai Jemaat Rumah. Model Jemaat Kategorial sekaligus Jemaat Rumah berakar dalam praktek beribadah jemaat mula-mula, seperti yang tertulis dalam kitab Kisah Rasul dan surat-surat Perjanjian Baru (PB).
Perbedaan dengan Jemaat Rumah masa PB dalam dua hal. Pertama, Jemaat Rumah dalam PB diselenggarakan tanpa ada ibadah minggu bersama sebagai Jemaat Teritorial. Kedua, ibadahnya diikuti oleh seluruh anggota keluarga dan termasuk mereka yang memiliki keterikatan hidup dan kerja dengan kepala rumah tangga yaitu seluruh anggota keluarga inti, para budak, para pekerja dan para pendatang yang tinggal sementara.
Sementara Jemaat Rumah versi GMIT saat ini lebih bersifat Jemaat Kategorial, walaupun berlangsung di rumah tangga tertentu. Sebab yang beribadah di rumah adalah warga jemaat kategori tertentu, yaitu, warga lanjut usia, warga yang sakit atau mengidap penyakit jangka panjang dan rentan terhadap kemungkinan tertular virus corona dan warga di bawah usia 15 tahun.
Pelaksanaan ibadah Jemaat Rumah, ungkap Pdt. Nitti, mempunyai dua soal. Soal pertama, model pelayanan ibadah minggu secara kategorial di rumah menjadi masalah karena secara liturgis dan pemberitaan disamakan saja dengan ibadah minggu di gedung gereja. Kedua, ada keterpisahan yang bisa berkembang menjadi masalah keterasingan.
Pendeta Nitti menemukan ada tiga macam keterpisahan. Pertama, keterpisahan dari gedung gereja. Psiko-religius yang kuat dalam diri (=hati) warga gereja, terutama yang setia beribadah minggu. Kelompok ini memaknai gedung gereja adalah rumah Tuhan sehingga tidak dapat hadir dan beribadah di rumah Tuhan adalah suatu peristiwa yang menyakitkan atau minimal menyedihkan karena merasa “jauh dari Tuhan.”
Kedua, sejajar dengan itu adalah keterpisahan dengan mayoritas warga jemaat, yang bisa mengesankan seakan-akan mereka yang terpisah ini “tidak layak” untuk masuk dalam persekutuan yang beribadah bersama warga jemaat lainnya di gedung gereja. Bersamaan dengan itu terjadi juga keperisahan dengan sesama warga usia lanjut, karena masing-masing beribadah di rumahnya.
Ketiga,keterpisahan dengan para pendeta dan para presbiter. Beribadah tanpa sesama warga yang saling kenal dan berteman baik, dan tanpa pendeta dan presbiter.
Masalah lainnya adalah soal liturgi, pembacaan Alkitab dan khotbah. Liturgi, pembacaan Alkitab dan khotbah sama persis dengan kebaktian bersama di gedung gereja. Padahal mereka yang terpisah ini, dipisahkan karena hal-hal khusus yang berarti mereka mempunyai masalah, tantangan dan kebutuhan khusus.
Atas masalah di atas, Pdt. Nitti menawarkan alternatif, bisa bersifat tentatif dan sementara. Pertama tawaran teknis, antara lain, membentuk tim khusus mengatur ibadah minggu di rumah. Membutuhkan pendeta dan presbiter khusus untuk melayani dalam ibadah minggu di rumah, dengan liturgi dan pembacaan serta khotbah yang khusus. Membutuhkan ruang dan kesempatan agar yang dipisahkan bisa beribadah bersama, paling tidak di lingkup rayon. Tujuannya, mengatasi kesendirian, kesempatan berbagi cerita demi saling menolong, saling menggembirakan, saling menguatkan dan bisa juga saling mendoakan.
Sementara pertimbangan Teologis – Eklesiologis, menurut Pdt. Nitti, pertama adanya ibadah minggu di gedung gereja dan ibadah minggu mandiri di rumah haruslah dipandang sama nilainya secara teologis eklesiologis. Kesamaan status ini, katanya, mendorong perlunya suatu model beribadah minggu bersifat “dua wajah”, yaitu, para pelayan (pendeta dan presbiter) menanti di gedung gereja dan para pelayan yang pergi. Pelayan yang menunggu warga berkumpul di gedung gereja, perlu menata diri menjadi pelayan yang pergi, mencari, menjumpai dan beribadah bersama dengan mereka yang beribadah di rumah.
“Secara lebih mendalam perlu ada pembahasan mengenai struktur pelayanan gereja yang menekankan struktur yang menunggu/Come Structure dan struktur yang menggerakkan/GoStructure). GMIT perlu mendalami kembali dua contoh model dalam Perjanjian Baru,” ungkap Pdt. Nitti.
Pertama, Model pelayanan Yesus yang selalu bergerak, berkeliling ke desa-desa dan kota-kota untuk mengajar dan menolong berdasarkan semangat belarasa. Model kedua, pelayanan rasul Paulus yang menggabungkan semangat pekabaran Injil dan semangat memelihara Jemaat. Gabungan pelayanan ini mendorong Paulus untuk berjalan keliling, membangun relasi kesahabatan untuk pelayanan dengan banyak orang, memelihara relasi dinamis dengan warga yang memungkinkannya memperoleh informasi yang akurat mengenai jemaat, menulis surat, dll, berdasarkan semangat untuk membawa masuk banyak orang dalam keselamatan kekal yang Yesus kerjakan dan hadiahkan kepada semua manusia.
GMIT juga disarankan melakukan Pengembangan Jabatan Pengajar untuk pendidikan katekesasi di rumah-rumah. Dikatakan, awal GMIT menambahkan jabatan Pengajar, ke jabatan pelayanan pendeta, penatua dan diaken untuk menghidupkan dan atau meningkatkan mutu pengajaran iman di sekolah minggu, katekesasi sidi, dan partisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan agama Kristen di sekolah-sekolah, khusus dalam rangka menyusun bahan ajar yang sesuai dengan iman Kristen. Pengajar direkrut mestinya adalah para lulusan Fakultas Ilmu Pendidikan Theologi dan bekerja penuh waktu di samping para Pendeta.
“Dalam praktek yang sekarang masih patut dipertanyakan apakah kehadiran para pengajar di jemaat-jemaat telah berhasil meningkatkan mutu pengajaran iman warga atau belum,” pintanya.
Pdt. Nitti juga menyampaikan banyak saran lainnya. Misalnya, studi dan perencanaan pelayanan Ibadah Kategorial di Rumah, studi untuk mengembangkan model ibadah minggu kategorial dalam rumah menjadi ibadah minggu kategorial yang berkelompok. Ibadah minggu berkelompok kecil adalah model ibadah partisipatif, karena semua yang hadir bisa berpartisipasi. Juga model ibadah yang bersifat pemberdayaan (mereka saling melayani dengan kemampuan yang berbeda dan saling belajar demi lancarnya ibadah mereka). Dan model ibadah bersifat pastoral melalui kesempatan berbagi cerita demi saling menguatkan.
Pdt. Nitti banyak memberi catatan agar gereja lebih memberi perhatian pada kelompok lansia. Yang harus dilakukan adalah sebuah bentuk ibadah, pelayanan pastoral dan bagaimana mewujudkan pelayanan gereja bagi lansia dan bagi dunia.
“Mari kita cari bersama, usaha bersama dan pendeta menjadi sponsor untuk pencarian ini,” jelas Pdt. Nitti saat menjawab pertanyaan daring perihal model pelayanan yang sesuai dengan situasi khusus, seperti masa pandemi. (paaul bolla/bersambung)