Perjuangan Untuk Menjadi Doktor Teologi (8-habis) – Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

www.sinodegmit.or.id, Sebelum naskah dibawa ke Percetakan masih ada lagi satu hal yang dilakukan yaitu merumuskan dalil-dalil (stellingen). Kebiasaan di Belanda, selain disertasi juga dalil-dalil yang nantinya dipertahankan dalam upacara promosi. Saya merumuskan 18 dalil. Sebagian berasal dari disertasi, sebagian lainnya dari luar bidang studi seperti biblika, sejarah gereja, dll., bahkan dari bidang non-teologi.

Jadi dalam dalil-dalil saya itu ada yang mengenai nama Allah, kecerdikan seperti ular, azan di Nederland, musik gereja dan penerimaan Pancasila di Tata Gereja. Dalam dalil ke-17 saya mendalilkan tentang kemandirian finansial Gereja Kristen Sumba. Bunyinya sbb.: “Het financieele zelfstandigheid van de Christelijke Kerk op Sumba hangt niet alleen af van het besef van haar leden, dat zij de taak hebben met hun geven het kerkelijk leven te onderhouden maar ook van de economische situatie van de sumbanese bevolking in het algemeen.” (Kemandirian finansial dari Gereja Kristen Sumba tidak hanya tergantung pada kesadaran anggota-anggotanya bahwa mereka mempunyai kewajiban memberikan persembahan untuk menghidupi kehidupan gerejawi tetapi juga pada situasi ekonomi rakyat Sumba pada umumnya).

Pada waktu saya sedang mempersiapkan disertasi ini dan menjelang beberapa bulan sebelum promosi bapak saya, Pdt. S.M.Yewangoe wafat di Sumba. Tentu kami sangat sedih. Beberapa bulan sebelumnya ia mengirim surat kepada kami menyatakan kerinduan untuk bertemu. Namun tidak mudah juga melakukan hal itu. Beliau sendiri mengatakan bahwa kalau memang tidak mungkin bertemu semuanya akan diserahkan kepada Tuhan. Ketika mendengar kabar itu para promotor saya mengunjungi kami menyampaikan belasungkawa. Juga membaca Alkitab dan berdoa bersama. Hal yang sama juga dilakukan oleh Sekretaris Sectie Oostelijk Indonesie Zending v.d. Gereformeerde Kerken in Nederland.

Saya merenungkan bahwa bapak saya sebagai pendeta sederhana di pedesaan Sumba telah ikut memikul salib itu dengan passie dan caranya sendiri. Karena itu sangat layak, menurut keyakinan saya karya disertasi ini saya persembahkan kepada almarhum bapak saya.

Akhirnya tanggal 21 September 1987 tiba. Tanggal ketika saya mempertahankan disertasi saya di hadapan Senat Guru Besar dan kalau lulus akan dipromosikan sebagai Doktor. Sebelumnya saya harus menyewa pakaian di Amsterdam untuk kesempatan itu. Rupanya VU sudah merupakan langganan tetap dari Penyewa tersebut. Pakaian itu berwarna hitam, atasannya berupa jas panjang mirip yang dipakai dirigent musik. Saya lupa namanya. Sebenarnya kalau saya bawa kain Sumba waktu itu bisa juga dipakai, tetapi tidak membawa. Jadi pakailah pakaian konvensional Eropa.

Selain itu saya juga harus menentukan Paranimf yaitu yang mendampingi selama kita mempertahankan disertasi dan ketika dipromosikan. Biasanya paranimf itu dua orang. Mereka juga berpakaian sama dengan kita. Mereka tidak sekadar mendampingi tetapi juga menolong membuka halaman buku supaya cepat apabila diperlukan. Paranimf saya adalah Dr. Hommo Reenders dan Drs. A.Th. Kramer, keduanya mantan rekan dulu di ATh Kupang. Reenders berlatar belakang Gereja Gereformeerd, sedangkan Kramer dari Nederlands Hervormde Kerk. Waktu itu kedua gereja ini belum bersatu. Masih dalam proses yang disebut “Samen op Weg Kerk”. Sekarang kedua gereja itu bersama-sama dengan Gereja Lutheran sudah bersatu menjadi Protestansche Kerk in Nederland. Kramer menolong saya ketika saya lupa bahasa Belandanya “ragu” dalam respons saya kepada seorang oponen. Ia membisikkan “twijfel”. Dengan demikian diskusi bisa berjalan terus.

Sejam sebelum acara dimulai, saya ditelpon oleh Promotor saya, Prof. Wessels bahwa oponen saya yang pertama nanti adalah Prof. S.J. Samartha. Dia adalah teolog India namun sudah malang-melintang di gerakan oikoumene sedunia. Makanya ia sering di Markas WCC di Jenewa. Kebetulan saya membahas dia dalam disertasi saya itu. Tokh saya sedikit gugup juga. Mental saya sudah dipersiapkan untuk berbahasa Belanda nanti. Samartha tidak tahu Bahasa Belanda. Berarti berbahasa Inggris. Mampukah saya nanti memakai kedua bahasa itu? Saya juga siap mental jangan-jangan dia bertanya tentang pendapat saya mengenai dia.

Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Para Guru Besar sudah siap dengaen toga hitam mereka. Tetapi saya melihat ada 4 orang yang nanti tampil sebagai oponen saya. Prof. Samartha, Prof. Jongeneel, Prof. Mulder, dan seorang profesor dari Amerika bidang PB yang waktu itu sedang menjadi dosen tamu di VU. Maaf saya lupa namanya.

Aula memang tidak penuh tetapi kalau terisi ¾-nya itu sudah luar biasa. Yang diramalkan Prof. Wessels bahwa nanti banyak orang Indonesia hadir dari Belanda dan Belgia kendati tidak diundang resmi benar. Apalagi saya juga membantu di PERKI. Sehari sebelumnya surat kabar sudah memuat bahwa nanti ada orang Indonesia berpromosi di VU.

Duta Besar RI Sutopo Yuwono juga menyempatkan diri hadir. Adnan Buyung Nasution yang kala itu sedang menulis disertasi di Utrecht juga hadir. Kawan-kawan dari Indonesia yang kebetulan berkunjung ke Belanda: Eka Darmaputera, Chris Hartono, dll., juga hadir. Saya gembira tetapi juga cemas. Bagaimanaa kalau macet nanti dalam menjelaskan? Apalagi ini bahasa asing. Tentu malu saya di hadapan begitu banyak teman sebangsa.

Namun tidak berlama-lama dengan kecemasan itu. Prosesi Guru Besar yang didahului Pedel memasuki ruangan. Saya didampingi paranimfen menyusul dari belakang. Semua hadirin diminta berdiri. Guru Besar duduk di tempat mereka masing-masing. Disertasi di depan mereka masing-masing.

Saya berdiri di mimbar didampingi paranimfen. Rektor mengucapkan Votum: Pertemuan kita jadi dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Saya dipersilahkan mengucapkan formula yang sudah tetap: “Op gezag van de Rector Magnificus, met machtiging van het College van Decanen, volgens besluit van de Promotie Commissie van de Faculteit der Godgeleerdheid, sta ik hier gered mijn proefschrift dat tot titel heeft Theologia Crucis in Asia met de daarbij toegevoegde stellingen te verdedigen ten einde van de graad van Doctor te verwerven” (Atas wibawa Rektor Magnificus, dan dengan kuasa Dewan Dekan, dan seturut keputusan Panitia Promosi Fakultas Teologi, sekarang saya siap di sini untuk mempertahankan disertasi saya berjudul, Theologia Crucis in Asia berikut dalil-dalilnya untuk pada akhirnya memperoleh gelar Doktor).

Sesudah itu saya diberi waktu 10-15 menit untuk menjelaskan isi disertasi saya. Saya melakukannya dalam bahasa Belanda. Berikut dipersilahkan oponen pertama, Prof. Samartha. Dia berbicara dalam bahasa Inggris. Ternyata dia tidak menyinggung sama sekali tulisannya sendiri. Dia menghargai disertasi saya karena “timely” ketika dunia kita dirundung oleh penderitaan di mana-mana. Dia akhirnya meminta pendapat saya tentang kemiskinan struktural yang disebabkan juga oleh kebijakan negara yang keliru. Saya meresponsnya dalam bahasa Inggris.

Oponen kedua Prof. Jongeneel. Dia Guru Besar di Utrecht. Dulu dosen di Makassar dan Tomohon. Dia bicara dalam bahasa Belanda. Dia bertanya mengapa saya tidak menyinggung sama sekali penderitaan para martir yang cukup banyak di Asia. Saya merespons dalam bahasa Belanda barangkali itu membutuhkan disertasi yang lain.

Selanjutnya oponen ke-3 Prof. Mulder. Ia berbicara bahasa Belanda. Ia menghargai usaha saya karena menulis dalam bahasa Inggris dan mempertahankan disertasi dalam bahasa Belanda. Kedua-duanya adalah bahasa asing bagi saudara, katanya. Karena itu untuk menghargai saudara dan bangsa saudara saya akan mengajukan pertanyaan dalam bahasa Indonesia. Beliau lalu berbicara tentang keadilan, “adalat” (jamak dari adil dalam bahasa Arab). Ia bertanya apakah saya sudah membaca keputusan pertemuan gereja-gereja di Indonesia dan Belanda di Bali yang baru tiba beberapa hari ini. Selanjutnya ia menghargai pandangan saya tentang kurban yang menurut dia adalah “temuan” saya. Semua ini lalu diikhtisarkannya dalam bahasa Belanda. Sebelum saya meresponsnya saya bertanya kepada Rektor bolehkah saya berbahasa Indonesia? Ini perlu ditanyakan karena bahasa Indonesia bukan bahasa resmi Universitas. Rektor mengizinkan tetapi lalu meminta untuk segera diterjemahkan ke bahasa Belanda atau Inggris. Saya lakukan itu.

Oponen keempat Prof. Tamu dari Amerika. Ia berbicara dalam bahasa Inggris. Ia berbicara tentang satu dalil saya, “cerdik seperti ular, tulus seperti merpati”. Saya heran katanya, mengapa anda berminat sekali terhadap ular. Apakah anda mau menjadi ahli ular? Lalu dia terus bercanda. Saya meresponsnya dalam bahasa Belanda. Saya bilang, saya juga heran mengapa anda bicara bahasa Inggris padahal menguasai bahasa Belanda. O ya, tentang ular itu, saya sudah lihat ternyata ular-ular di Indonesia lebih pintar dari ular-ular di Belanda. Para hadirin tertawa terbahak-bahak.

Saya melirik Pedel. Dia sudah mengelus-elus tongkatnya. Akhirnya ia berdiri dan berseru: “HORA EST”. Waktu sudah habis. Diskusi selesai. Saya mengucapkan formula penutup. Maaf saya lupa bahasa Belandanya. Tetapi isinya, sekarang waktu untuk mempertahankan disertasi saya sudah selesai. Saya menantikan dengan berdebar-debar apa yang diputuskan Dewan Guru Besar kepada saya. Lalu prosesi keluar. Kali ini saya dan paranimfen di depan. Guru Besar menyusul dari belakang.

Guru-guru Besar memasuki ruang rapat mereka. Kami menunggu di luar. Mereka akan memutuskan saya lulus atau tidak. Kira-kira 10 menit kemudian kami dipanggil masuk. Saya dinyatakan lulus. Lalu kepada saya disodorkan sebuah buku tebal yang sudah kumal. Ternyata buku itu berisi tanda tangan dari semua yang mendapat doktor di situ sejak dulu. Saya juga diminta menandatangani buku itu. Tandatangan saja. Tdk ada apa-apa berupa komentar misalnya.

Selanjutnya kembali prosesi masuk aula. Kali ini untuk promosi. Saya dipromosikan menjadi Doktor dengan segala hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Bul/ ijazah diserahkan oleh Prof. Veenhof, promotor saya. Ijazahnya ditulis dalam bahasa Latin. Selama promosi itu semua Guru Besar berdiri sebagai penghormatan terhadap doktor baru. Berikut Prof. Wessels, promotor yang lain mengucapkan Laudate, yaitu semacam uraian singkat terhadap isi disertasi saya dan sekaligus menyampaikan penghargaan. Setelah semua ini kembali prosesi keluar. Memasuki resepsi, wine, keju, kue dll. Lalu malamnya resepsi yang lebih khusus lagi dgn PERKI dan semua sahabat, para promotor, para guru besar. Tentu saja makanan Indonesia.

Demikianlah perjuangan saya untuk memperoleh gelar Doktor. Kami kembali ke Indonesia dengan riang dan lega. Plong! Sayang sekali, baru dua hari kami di Kupang kami mendengar kabar bahwa mama kami wafat. Kami sekeluarga bergegas ke Sumba. Kami sedih. Kami mendengar bahwa mama masih sempat mendengar saya berhasil. Dia senang sekali. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Kami pasrah. Kami tidak akan pernah melupakan kedua orang tua kami yang dalam cara sederhana ikut memikul salib Kristus. Demikianlah kawan-kawan. Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati! ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *