Menunggu Respon Sola Gratia – Paul Bolla

KUPAG, www.sinodegmit.or.id, Tanggal 31 Oktober adalah hari penting dalam sejarah gereja. Tanggal tersebut Marthen Luther menyampaikan 95 dalil sebagai bentuk koreksi atas praktek bergereja di kota kecil Wittenberg, Jerman. Marthen Luther mengoreksi praktek pelayanan gereja yang dinilai telah menyimpang dari Alkitab.

Peristiwa itu semula bersifat teologis, justru menjadi momentum yang mendorong gereja melakukan perubahan dan diperingati menjadi Hari Reformasi. Aksi Marthen Luther bagai bola salju melahirkan gerakan reformasi protestan pada gereja-gereja di Eropa, karena diikuti, antara lain, oleh Yohanes Calvin dan Ulrich Zwingly.

Di Indonesia, Hari Reformasi banyak dipilih menjadi hari lahir gereja-gereja dan lembaga pendidikan. Pilihan pada hari reformasi mungkin berkaitan dengan komitmen dan semangat reformasi. Di antaranya, hari berdirinya Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) dan hari berdirinya Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, dan banyak lagi.

Sinode GMIT rutin memperingati Hari Reformasi, sekaligus Hari Ulang Tahun GMIT. GMIT juga menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Keluarga. Untuk tahun 2020 ini, dalam rangkaian pelayanan Bulan Keluarga, bacaan Alkitab untuk tanggal 31 Oktober dipilih Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus, Pasal 1:3-14.

Untuk memahami perikop ini, terlebih dahulu harus kita pahami latar belakang Paulus menulis surat. Ada apa dengan Jemaat di Efesus. Ada sesuatu yang mendesak, sehingga meski sedang berada dalam penjara di Roma, Paulus menulis surat ini karena iman dan ketaatannya dalam melayani Allah. Maksud surat ini adalah untuk menguatkan iman Jemaat agar tidak terpengaruh dengan berbagai praktik penyembahan kepada Dewa Yunani, yaitu dewi Artemis. Sebab bagi masyarakat Efesus dewi Artemis dipahami sebagai Dewa kesuburan. Juga ada praktik penyembahan kepada Kaisar, yang memang lazim dilakukan oleh masyarakat di Efesus.

Tema kuat yang dimunculkan dalam kitab Efesus adalah tentang ”Kekayaan orang Kristen di dalam Kristus.” Allah Bapa telah membuat kita kaya di dalam Yesus Kristus! Di dalam-Nya kita telah menerima segala berkat rohani. Ada dua poin utama dari total enam pasal. Pertama, kekayaan kita di dalam Kristus, telah membawa kita untuk memiliki harta rohani dan kedudukan rohani. Kedua, tanggung jawab kita di dalam Kristus, memampukan kita hidup dalam kesatuan, kesucian, keharmonisan dan hidup penuh kemenangan melawan kuasa si jahat. Kitab Efesus menunjukkan keseimbangan antara doktrin yang benar (pasal 1-3) dan penerapan praktisnya (pasal 4-6), dalam kehidupan Kristiani.

Menurut Paulus, kita mendapat kekayaan itu semata hanya karena iman dan menginvestasikan kekayaan itu dengan bekerja. Paulus menghendaki adanya keseimbangan. Kekayaan rohani kita harus terlihat dalam cara bekerja. Paulus membuat penekanan antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Bukan karena ketaatan sehingga Allah memberi anugerah. Anugerah bukan upah dari ketaatan. Ketaatan kita merupakan suatu respon atas anugerah yang telah Allah berikan.

Pikiran Paulus itu dibutuhkan Jemaat Efesus. Sebab Efesus, sebuah kota pelabuhan penting di Laut Aegea. Kotanya indah dengan kuli Artemisnya yang megah, di sana terdapat sebuah batu meteor terkenal yang konon dikirim oleh sang dewi (Kis.19:35). Ratusan pelacur melayani di kuil ini, dan para pedagang setempat menjual berbagai lukisan, patung dan perhiasan dewi Artemis (Kis. 19:23-41). Kota Efesus juga memiliki teater-teater yang besar, dan sebuah stadion tempat pertarungan para gladiator, dan perpustakaan-perpustakaan. Kehidupan di Efesus digambarkan telah jatuh begitu dalam oleh kehidupan metropolis.

Itulah konteks Surat Efesus. Paulus mau Jemaat di Efesus hidup dengan iman yang kokoh bertolak dari pemahaman yang kuat tentang Allah yang dipercayanya. Jemaat Efesus harus menyadari bahwa mereka semua sudah dipersatukan di dalam Tuhan, dan tidak ada tembok pemisah sehingga perlu membangun hubungan yang baik satu sama lain. Itulah pesan kuncinya.

Bagaimana perikop Efesus 1:3-14 menyoroti konteks kita saat ini. Dalam perikop ini Paulus memberi informasi penting yang sedang dicari warga GMIT dan umat Kristen pada umumnya. (1) Orang Kristen dipilih atas kehendak bebas Allah, bukan hasil usaha manusia, untuk menerima segala berkat rohani surga. (2) Orang Kristen dipilih menjadi anak yang Tuhan kasihi. (3) Sebagai orang berdosa, orang Kristen sudah ditebus dan memperoleh pengampunan dosa. (4) Roh kudus menjadi meterai yang menjamin, bahwa orang Kristen sudah memperoleh penebusan dosa, sehingga menjadi milik Allah, untuk memuliakan Allah.

Sedikitnya empat poin di atas dapat disimpulkan dalam satu kata: kenyamanan. Paulus mengingatkan Jemaat Efesus, bahwa mereka sudah memiliki jaminan kenyamanan hidup di dunia dan di surga, sejak mereka percaya dan beriman kepada Yesus. Sehingga mereka tidak perlu lagi menyembah patung dan dewa, atau mendapatkan kepuasaan seks dalam bisnis pelacuran di kuil, atau mencari kepuasan batin dari pertarungan gladiator dan karya seni sebuah kota metropolis.

Kenyamanan. Itulah kunci kritik kepada umat Kristen, dan gereja pada umumnya, termasuk GMIT. Orang Kristen membanting tulang untuk menafkahi hidupnya. Uang adalah kunci membeli segalanya dan untuk mendapatkan kenyamanan. Manusia menyingkirkan Allah dan menggantikan posisi-Nya dengan Uang sebagai ilah modern. Dan dunia sudah memberi banyak bukti, bahwa uang ternyata bukan alat mendapatkan kenyamanan. Cinta uang adalah akar segala kejahatan. Uang justru menghilangkan damai sejahtera (kenyamanan).

Ini pun kritik untuk lembaga gereja-gereja saat ini. Gereja membangun sebuah lembaga dengan manajemen (organisasi) modern, megah dan mapan, untuk memastikan hadirnya kenyamanan. Kuncinya ada pada uang dan jaringan (networking). Tak ada uang, tak ada jaringan — termasuk akses kepada kekuasaan, tidak ada modal, tidak akan ada program pelayanan. Orientasi pelayanan gereja, bukan lagi sebagai suatu tindakan syukur atas anugerah atas hak-hak istimewa yang diberikan Allah. Eksistensi gereja telah menukarkan anugerah Allah dengan mengandalkan padat modal, manajemen organisasi modern, ketrampilan manajerial, dan perluasan jaringan/networking. Gereja-gereja telah mengandalkan diri sendiri. Gereja telah berubah menjadi ilah bagi dirinya dan pengikutnya.

Gereja dengan kekuatan sistemnya dipercaya telah menjadi jaminan/alat untuk menghadirkan kenyamanan hidup. Siapa yang tidak sejalan akan disingkirkan karena dianggap ibarat virus yang bisa menghalangi kenyamanan dan menghilangkan damai sejahtera. Gereja bisa menipu dengan tetap menggunakan idiom-idiom teologis. Tetapi isinya hanyalah ucapan-ucapan kosong yang tidak terbukti dalam prakteknya. Kritik menjadi sebuah ancaman kemapanan dan kenyamanan.

Hari ini GMIT telah menghadirkan krisis bagi dirinya, lewat bias aneka sikap person atau produk lembaga. Saya percaya Tuhan mengijinkan itu terjadi sebagai bagian dari cara Tuhan mengasihi dan nerestorasi gereja, untuk membawa kembali gereja ke jalur seharusnya. Gereja harus sungguh-sungguh berefleksi melihat “positioning”-nya dalam relasi ketaatannya kepada Allah, yang dibuktikan dalam karya pekabaran Injil dan pelayanan menghadirkan syalom (damai sejahtera) Allah. Kritik atas “positioning” gereja haruslah bertujuan untuk perbaikan dengan rujukan Alkitab. Bukan untuk tujuan perpecahan. Jika motifnya bersifat person, maka pengeritik berpotensi akan jatuh sama dengan yang dikoreksi. Orang Sabu bilang “hela’u”.

Kita semua bertanggung jawab mengingatkan gereja, vahwa Allah telah memberi hak-hak istimewa yang telah dimeteraikan dengan Roh Kudus, kepada gereja, sebagai persekutuan orang percaya dan sebagai wadah persekutuan. Pemberian itu secara cuma-cuma, atau Sola Gratia (hanya karena anugerah). Sekarang, Allah menunggu bagaimana cara gereja memberi responnya.

Inilah momennya. Tanggal 31 Oktober, kita menunggu langkah “ecclesia semper reformanda” (gereja harus selalu tereformasi) dari gereja-gereja, termasuk GMIT, sebagai buah dari gerakan reformasi Protestan yang telah dimulai dari Wittenberg, Jerman, meluas ke Eropa hingga ke segenap medan layan GMIT. Reformasi jangan sekedar atas penilaian-penilaian sendiri, dalam masalah-masalah iman dan moral yang berhubungan dengan ajaran Kristen. Dalam mereformasi diri, gereja harus merujuk pada keutamaan “sola scriptura verbum dei” (hanya Alkitab adalah Firman Allah, sebagai satu sumber keyakinan yang benar).

Dirgahayu Reformasi Protestan

Dirgahayu GMIT

Dirgahayu GPIB

Dirgahayu UKDW Yogyakarta

Selamat Penutupan Pelayanan Bulan Keluarga GMIT tahun 2020.

Fatululi, 31 Oktober 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *