KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Ketaatan kepada Tuhan bisa melalui cintai lingkungan hidup yang diwujudkan dengan cara merawat dan membudidayakan tanaman mangrove atau bakau. Itulah ungkapan Bastian Ello, yang sehari-hari bergelut dengan lumpur dan tanaman bakau.
Pria kelahiran Nusak Dengka, persisnya di Desa Oeina, Kecamatan Rote Barat Laut, Kabupaten Rote Ndao ini, tinggal menghitung hari akan segera pensiun dari Dinas Kelautan dan Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Timur. Lahir pada 5 November 1962, maka awal Desember 2020 akan mengakhiri masa baktinya saat genap berumur 58 tahun.
Lazimnya orang yang akan pensiun, masa persiapan pensiun dijalani lebih santai dan mulai mengurangi rutinitas aktivitas di tempat kerja. Beda dengan Bapak Bastian, begitu sapaan akrabnya.
Menurut Bastian, salah satu cara pensiun, namun tidak meninggalkan kecintaannya pada tanaman mangrove, adalah berada di tengah-tengah petani nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hutan mangrove.
Suami dari Hendarince Hello (55 tahun) ini, kemudian menambah kesibukan dengan membentuk satu kelompok tani di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Ia menjadi ketua pembina. Organisasinya dikukuhkan oleh Kepala Desa Oebelo.
Kelompok Tani Karya Mandiri namanya. Berdiri sejak 1 September 2020, dengan jumlah awal anggota sebanyak 15 orang. Kelompok tani ini mengkhususkan untuk belajar membudidayakan dan merawat tanaman mangrove, terutama yang berlokasi di sepanjang pesisir Pantai Oebelo, pantai utara Pulau Timor.
Tanaman mangrove sepanjang pesisir pantai Desa Oebelo, adalah lokasi anggota kelompok tani menggantungkan mata pencahariannya. Mereka mencari ikan, kepiting dan udang, serta kerang seputar lokasi mangrove. Menu andalan kerang dan kepiting di resto dan warung makan di Kota Kupang, banyak dipasok dari Oebelo.
Bastian adalah salah satu aset sumber daya manusia (SDM) dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Bapedas) Departemen Kehutanan. Itulah instansi awal dia mengabdi saat diterima sebagai pegawai negeri sipil pada tahun 1980. Mengabdi di Kupang hingga tahun 2007.
Terhitung sejak tahun 2008 pindah tugas ke Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Bastian berkarya hingga Provinsi Sumsel memekarkan diri melahirkan Provinsi Bangka Belitung. Dia kemudian fokus mengurus tanam mangrove dan hutan rakyat di Kabupaten Bangka Tengah sebagai pengawas teknik membantu kelompok tani. Aktivitas pengawasan dan pembinaan di Bangka Tengah berakhir tahun 2018. Setelah 10 tahun Bastian dimutasi kembali ke Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup NTT.
Setelah bertugas di Kupang, Bastian sudah membudidayakan anakan mangrove sekitar 50 ribu pohon sejak September 2019. Anakan ini untuk ditanam di lokasi baru atau lokasi terbuka, dan lokasi eksisting atau lokasi tertutup menggantikan mangrove yang mati.
Menurut Bastian, untuk lokasi tertutup, lahan satu hektar membutuhkan sedikitnya 1000 anakan. Sedangkan untuk lokasi terbuka sedikitnya membutuhkan 3300 anakan dalam satu hektar lahan. Untuk NTT, saat ini Pemerintah rencanakan penanaman mangrove seluas 3000 hektar, yang tersebar di 22 kabupaten/kota.
Mengisahkan latar belakang cinta pada dunia mangrove, ayah dari lima anak semuanya perempuan ini, berprinsip daripada pesisir pantai beratapkan langit, lebih baik menjadi kawasan pepohonan mangrove yang bernilai ekonomi. Hutan mangrove menjadi rumah bagi aneka biota laut yang akan mengundang ikan, kepiting, udang dan kerang, mencari makan dan berumah di hutan mangrove. Petani nelayan pun mendapat keuntungan mudah mencari hasil laut, antara lain, ikan, udang, kepiting dan kerang.
“Bahkan hutan mangrove bisa disulap menjadi lokasi wisata alternatif, nenjadi nilai tambah ekonomi. Juga dapat menjadi lokasi laboratorium bagi pecinta mangrove melakukan studi dan penelitian,” ungkap Bastian.
Bastian mengakui budidaya mangrove susah-susah gampang. Pembiakannya membutuhkan perlakuan spesifik yang diperoleh dari pengalaman sampai memiliki ketrampilan, ketelitian, dan kesabaran.
Ada banyak spesies mangrove, kata Bastian. Di Kupang, sedikitnya ada dua jenis mangrove, yakni, jenis Rhizophora Mangium dan Avicennia. Tiap jenis butuh kecocokan dengan jenis lahannya. Jenis rhisophora mangium relatif mudah dibiakkan. Paling cepat tiga bulan sudah bertunas. Sedangkan jenis Avicennia lebih lambat tumbuh. Butuh waktu adaptasi lebih dari tiga hingga enam bulan baru anakannya tumbuh. Kelebihan mangrove jenis avicennia, kayunya keras.
“Membiakan mangrove ada suka dukanya. Salah perlakuan, bibit akan mati. Karena itu perlu perlakuan khusus mulai pengambilan bibit, adaptasi air asin dan tawar, dan kecocokan lahan lumpur,” ungkap Bastian.
Bastian bangga GMIT memiliki pelayanan yang menetapkan Bulan November sebagai Bulan Lingkungan Hidup. Ini, katanya, baik untuk mengingatkan jemaat selalu cinta lingkungan hidup, termasuk mencintai pesisir pantai tempat tumbuh mangrove.
Bastian bersedia menjadi instruktur pengembangan mangrove, jika gereja memiliki program budidaya mangrove untuk pelatihan bagi jemaat-jemaat yang tinggal di kawasan pesisir pantai yang berpotensi ditanami mangrove.
Menurut Bastian, gereja bisa berperan menjaga kelestarian hutan mangrove. Selain nilai ekonomi, biota laut jadikan rumah, hutan mangrove juga berfungsi menahan abrasi, erosi, dan menjadi sumber ikan, udang, dan kepiting.
Gereja, katanya, dapat berperan mengedukasi jemaat atau masyarakat. Karena masih banyak yang belum paham. Mereka menebang mangrove, mengambil kayunya untuk aneka kebutuhan, hingga hutan mangrove gundul. Kondisi ini menyulitkan nelayan itu sendiri mencari hasil laut.
“Mari menjaga kelestarian lingkungan hidup, dengan cara menanam mangrove, sebagai wujud cinta Tuhan,” pungkas Bastian di kediamannya di Kelurahan Fatululi. (paul bolla)