Pengantar
Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam kalender pelayanan GMIT, bulan Lingkungan Hidup dimulai setelah Perayaan Hari Reformasi Gereja. Dapat dikatakan bahwa bagi GMIT, Reformasi Gereja dimulai dari lingkungan hidup. Apa yang kira-kira dapat menjadi refleksi dari kesinambungan kedua perayaan gerejawi ini?
Supaya lebih spesifik, pertanyaan yang bisa diajukan adalah bagaimana Reformasi Gereja itu menjiwai perspektif dan sikap warga GMIT terhadap lingkungan hidup? Tentu saja banyak jawaban yang juga dihasilkan dari beragam upaya berteologi dalam konteks reformasi bisa diberikan. Dalam tulisan ini, saya akan mengaitkan prinsip sola scriptura dengan krisis ekologi dalam karya Roh Kudus. Sola scriptura menjadi kompas yang memandu warga GMIT untuk hidup sebagai orang percaya di lingkungan hidup yang kritis. Itu, seperti yang akan ditunjukkan esai ini, dapat terjadi melalui sikap saling mendengarkan pemaknaan Firman Allah di antara sesama pembaca Alkitab dalam konteks krisis ekologis. Roh Kuduslah yang membentuk sikap itu dan menuntun prosesnya.
Sola Scripturadan Karya Roh Kudus
Bagi gereja-gereja reformasi, Alkitab adalah fondasi berteologi dan bergereja. Tidak boleh ada satu pun pemikiran teologis yang tidak bersumber dari Alkitab. Praktik bergereja yang tidak bersauh pada kesaksian Alkitab tidak dapat diterima. Demikian otoritas kitab suci yang diakui – sola scriptura. Ia menjadi kompas bagi orang-orang percaya untuk berlayar dalam kehidupan dalam relasi mereka dengan Allah Trinitas dan sesama ciptaan lainnya. Darinya gereja berpandangan dan bersikap. Inilah otoritas kitab suci, yang bukan sekadar perkara doktrinal, melainkan persoalan praktikal yaitu tentang bagaimana kitab suci dengan segala pesannya berfungsi dalam kehidupan bergereja.[1]
Namun, perlu diperhatikan bahwa otoritas Alkitab tidak serta merta berarti sebuah teks/perikop akan memiliki makna yang sama atau tunggal kepada semua pembaca/penafsir. Alkitab bukanlah buku instruksi atau video tutorial untuk membuat lubang tanam air, misalnya, yang tinggal diikuti begitu saja. Makna/pesan yang ditarik keluar dari teks-teks Alkitab untuk dilakukan itulah yang diyakini berotoritas. Biasanya, pengkhotbah mengatakan, “ini Firman Tuhan yang suruh, jadi kita harus taat.” Tapi, Firman Tuhan di situ sebenarnya merujuk kepada makna teks/perikop yang dipahami sang pengkhotbah dalam tuntunan Roh Kudus. Itulah yang berotoritas dan kepadanya orang Kristen harus menundukkan diri.
Di sini, peran pembaca yang adalah penafsir Alkitab sangat penting. Dua orang pembaca Alkitab bisa menemukan makna yang sama pada sebuah perikop sehingga teologi yang mereka hasilkan sama. Tetapi mereka juga bisa menemukan makna yang berbeda ketika membaca sebuah perikop yang lain. Makna yang berbeda ini bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Perbedaan ini sangat mungkin terjadi dan bukanlah sebuah persoalan, karena latar belakang pengetahuan dan pengalaman serta metode dan keterampilan hermeneutik yang berbeda di antara para pembaca Alkitab.[2]
Para tokoh reformasi sudah menunjukkan ini. Martin Luther dan John Calvin memiliki pemikiran yang berbeda tentang Perjamuan Kudus, misalnya.[3] Yang setuju dengan Luther akhirnya mengikutinya dan menjadi gereja Lutheran, sedang pengikut Calvin menjadi gereja-gereja reformed atau Calvinis seperti GMIT. Tetapi, dalam pengajaran yang lain, kedua kubu saling setuju dan karena itu saling mengutip pemikiran teologi mereka. Sebagai contoh, para teolog/pengkhotbah Calvinis biasanya mengutip pemikiran teolog Lutheran, seperti Dietrich Bonhoeffer, ketika berbicara tentang murid atau pemuridan.
Maka, sikap yang tepat sebagai pembaca Alkitab adalah keyakinan terhadap makna sebuah teks yang diperolehnya, tetapi juga kesediaan untuk mendengar makna teks itu dari orang percaya yang lain. Seseorang harus yakin jika ia telah meminta Roh Kudus untuk menuntunnya dalam memahami Firman Tuhan. Tetapi ia juga harus terbuka karena Roh Kudus juga menuntun orang lain dalam membaca perikop yang sama itu. Bahkan, ia perlu bersikap kritis atau curiga terhadap apa yang sudah dipahaminya.[4] Sehingga, saling mendengar di antara para pembaca Alkitab untuk memahami makna sebuah perikop adalah keharusan. Tentu dengan kesadaran bahwa setiap orang memiliki keterbatasan dan bahwa setiap orang berupaya untuk menemukan makna yang sesungguhnya demi melakukan kehendak Allah. John Calvin sendiri dalam Institutes Book IV Ch. IX. 13 menekankan keharusan diskusi atau dialog di antara para pejabat gereja dalam sinode terhadap perbedaan-perbedaan makna dan teologi.[5]
Di sini, otoritas Firman Allah tak terpisahkan dari karya Roh Kudus. Sebagaimana dikatakan Yohanes 14:26, “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dia-lah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.” Roh Kudus adalah Hikmat (Yesaya 11:2; Efesus 1:17; dan Yohanes 16:13) yang berkarya untuk membuat setiap pribadi memahami Firman Allah dan menyepakati serta melakukannya sebagai satu tubuh Kristus.[6] Saling berbagi dan mendengar makna Firman Tuhan adalah pengakuan terhadap karya Roh Kudus itu. Sola scriptura dalam karya Roh Kudus! Ini menggema dalam semboyan gereja-gereja reformasi, ecclesia reformata semper reformanda secundum verbum Dei. Bersauh pada semangat ini, GMIT dalam Pokok-Pokok Eklesiologinya menegaskan bahwa “ajaran GMIT dirumuskan melalui kesepakatan orang-orang percaya (consensus fidelium) sambil menghargai kebebasan suara hati masing-masing anggota GMIT.”[7]
Lalu, bagaimana perspektif ini bermanfaat bagi warga GMIT dalam meresponi krisis ekologis?
Alkitab dan Krisis Ekologi dalam Karya Roh Kudus
Salah satu faktor utama yang membuat isu lingkungan hidup mendapat perhatian serius dalam kekristenan adalah pemaknaan teks Alkitab. Pada tahun 1967, Lynn White Jr. menerbitkan sebuah artikel yang menunjukkan bagaimana teks Kejadian 1:26, 28 menjadikan Kekristenan sebagai yang paling bertanggung terhadap krisis ekologi. White mengatakan bahwa perintah untuk berkuasa atas bumi dan menaklukannya dalam Kejadian 1 itu telah menempatkan manusia sebagai yang superior terhadap alam dan berhak untuk mengeksploitasinya untuk kepentingan mereka.[8] Penafsiran itu menghasilkan teologi penciptaan yang hirarkis di mana Allah berada di tempat tertinggi, lalu manusia, dan alam di bawah manusia. Status manusia sebagai imago deitelah menjadi pembenaran Alkitabiah terhadap hirarki itu serta tindakan eksploitatif manusia untuk terhadap alam. Karena itu, White menuduh kekristenan sebagai agama yang paling antroposentrik dan destruktif terhadap lingkungan hidup.[9]
Para teolog Kristen mengakui pengaruh besar kekristenan terhadap krisis ekologis yang dingkapkan White, tetapi menolak tuduhan White tentang kekristenan sebagai agama yang paling antroposentrik. Bagi mereka, antroposentrisme itu berasal dari salah satu saja, bukan satu-satunya pemaknaan terhadap Kejadian 1.[10] Makna yang lain bisa diperoleh dengan pembacaan ulang terhadap teks itu. Kata “berkuasa” dan perintah “taklukkanlah” kemudian dimaknai secara baru, berbeda dari sebelumnya. Hari ini, kita cukup familiar dengan kata stewardshipatau penatalayan. Inilah makna lain yang dihasilkan oleh penafsiran ulang itu. Manusia diberikan tanggung jawab untuk mengelola dan merawat ciptaan Allah, bukan untuk merusaknya. Itulah juga yang menjadi makna imago dei. Hari ini, makna lain inilah yang diterima secara umum dalam kekristenan khususnya ketika berbicara mengenai relasi manusia dengan makhluk ciptaan lainnya.
Terlihat jelas dalam perjalanan hermeneutis ini implikasi dari prinsip sola scriptura bagi gereja-gereja reformasi sebagaimana dibahas di atas. Kitab suci tetap menjadi sumber berteologi. Tetapi, ia tidak terperangkap di dalam satu makna yang kemudian menjadi ideologi destruktif.
Fakta bahwa aplikasi dari sebuah makna teks merusak atau bertentangan dengan karya Allah bagi dunia ini, sebagaimana disampaikan teks yang lain dari Alkitab (bnd. Mazmur 104:30b), menuntut pembacaan ulang terhadap teks tersebut. Makna sebelumnya bisa saja tepat pada konteks tertentu. Misalnya, kata “taklukkanlah” dalam Kejadian 1:28 sangat penting untuk mendorong manusia supaya bekerja keras dan menghasilkan makanan untuk kehidupan mereka dengan segala daya yang Tuhan berikan. Kesulitan-kesulitan memproduksi makanan di daerah gurun harus bisa ditaklukkan untuk keberlanjutan hidup. Tetapi, pada konteks di mana makna itu sudah menghasilkan tindakan yang merusak kehidupan bersama semua ciptaan dan itu berlawanan dengan karya pembaruan Roh Kudus bagi ciptaan, pemahaman ulang terhadap kata itu diperlukan.
Pembaruan penting lain yang dikaryakan Roh Kudus adalah membarui pemaknaan Alkitab yang menyingkirkan ciptaan lain dari karya keselamatan Allah. Bahwa karya Allah itu tidak hanya ditujukan kepada manusia saja, melainkan kepada segenap ciptaan (bnd. Roma 8:22; Mazmur 104:30b). Pokok-Pokok Eklesiologi GMIT menegaskan bahwa “keselamatan manusia memiliki hubungan dengan pemulihan alam.”[11] Memang manusia yang berdosa (moralitas), tetapi dosa itu telah membawa penderitaan juga kepada ciptaan lainnya. Sehingga, mereka membutuhkan pembebasan. Mereka juga merupakan bagian dari pembaruan itu. Pulihnya relasi antara manusia dan ciptaan lain adalah tanda pembaruan yang dikerjakan Roh Kudus. Sebagaimana catatan Injil Markus 1:13 yang menggaungkan Yesaya 11 tentang pendamaian mesianis, Roh Kudus memimpin Yesus ke padang gurun dan berada dalam relasi damai dengan binatang-binatang liar di awal karya pelayanan-Nya.[12]
Kedua contoh itu menunjukkan karya Roh Kudus melalui para pembaca Alkitab untuk secara kritis-teologis memaknai ulang kata atau teks di atas supaya sejalan dengan karya-Nya yang dikatakan teks-teks lain Alkitab. Roh Kudus mendorong terjadinya perubahan persepsi dan relasi orang-orang percaya terhadap alam melalui pemaknaan yang baru – lebih luas, lebih utuh atau lebih dalam[13] – bahkan yang lain sama sekali terhadap teks Alkitab. Dalam proses ini, Yolanda Dreyer dkk. dengan indah mengatakan bahwa Roh Kudus membuat teks Alkitab itu hidup dan berarti, serta memfasilitasi teks kuno itu untuk menjadi Firman Allah di sini dan sekarang.[14]
Para cendekia Kristen kemudian meresponi karya Roh Kudus itu dengan cara men-sistematik-annya sebagai sebuah metode berteologi yang disebut ekoteologi. Ekoteologi memikirkan kembali status manusia dan alam, serta relasi mereka.[15] Salah satu agenda utamanya adalah menanggapi krisis lingkungan hidup.[16] Studi ini memberikan refleksi-refleksi teologis terhadap isu-isu seputar kerusakan ekologis dan bagaimana itu dipulihkan. Teks-teks Alkitab dan teologi-teologi yang berkaitan dengan relasi manusia dengan ciptaan lainnya ditelisik. Terdapat upaya-upaya dekonstrukif dan rekonstruktif tetapi juga konstruktif dalam proses itu. Tentu saja, Roh Kudus lah yang menuntun karena, seperti disebutkan di atas, proses ber-ekoteologi ini adalah karya Roh Kudus untuk membarui ciptaan. Seperti ditegaskan Ernst Conradie (2016:1), ekoteologi mewujudkan perhatian kekristenan terhadap lingkungan hidup dan sekaligus menawarkan pembaruan dan reformasi kepada kekristenan.[17]
Dalam kerangka itu, penafsiran terhadap teks dan pemikiran teologis yang dihasilkannya terus dibarui/direformasi di mana itu diperlukan. Konsep atau paradigma stewardshippun, misalnya, belakangan dianggap tidak memadai untuk menghadapi krisis ekologis. Elizabeth A. Johnson mengatakan bahwa paradigma itu membuka ruang terhadap perspektif yang, secara ontologis, menempatkan manusia sebagai pusat ciptaan dan superior terhadap ciptaan lain, seolah-olah ciptaan lain diciptakan untuk diatur oleh manusia dan untuk tujuan manusia.[18]
Bahkan menurut Richard Bauckham, stewardshippun telah dijadikan pembenaran ideologis terhadap eksploitasi alam oleh manusia.[19] Berdasarkan Mazmur 104; 148; Matius 6:25-33; dan Ayub 38-41, Johnson[20] dan Bauckham[21] kemudian mengusulkan sebuah paradigma yaitu komunitas ciptaan (the community of creation) sebagai paradigma yang lebih tepat untuk menjadi kerangka berpikir dan bersikap kekristenan dalam menghadapi isu-isu ekologis. (Saya akan membahas paradigma ini dalam tulisan lain di bulan ini). Karena itu, pembaruan atau reformasi dalam memaknai dan merefleksikan teks-teks Alkitab atau pemikiran-pemikiran teologis yang sudah ada, dan mungkin mapan, mengenai relasi manusia dengan alam adalah keniscayaan.
Secara spesifik dalam konteks GMIT, mendialogkan makna teks Alkitab dengan budaya atau kearifan lokal secara kreatif untuk menghasilkan refleksi ekoteologis yang kontekstual adalah upaya yang juga seharusnya terjadi. Dalam tesis doktoralnya, Junus E. E. Inabuy memaparkan fakta bahwa kerusakan hutan Prof. W. Z. Yohanes di Amarasi itu tidak terlepas dari pengaruh kekristenan. Hutan yang sebelumnya merupakan tempat yang sakral karena ada “tuannya”, berubah menjadi profan karena para pemberita Injil menganggap “tuan” atas hutan adalah setan/berhala yang harus ditinggalkan. Dalam pembahasannya, Ia menunjukkan bahwa pandangan itu adalah kesimpulan terlalu cepat diambil. Inabuy menegaskan bahwa jika kesakralan hutan itu ditelusuri lebih jauh, ia akan mengantar kita kepada Tuhan Allah, sang Pencipta serta Pemilik hutan, semua yang mendiaminya dan manusia yang berelasi dengannya.[22] Terdapat “sidik jari Allah”, meminjam istilah Eben Nuban Timo,[23] di dalam sistem kepercayaan orang Amarasi. Bahwa Allah telah berkarya di dalam kebudayaan dan kepercayaan lokal sebelum Injil tiba, tegas Nuban Timo.[24] Tidak ada kehidupan tanpa kehadiran Roh Kudus, sang Pemberi hidup (Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel). Sehingga, keterbukaan untuk melihat sidik jari Allah dalam budaya lalu mendialogkannya dengan Firman Allah adalah keharusan.[25]
Dengan kesediaan untuk mendengar ekoteologi Amarasi dan mendialogkannya dengan ekoteologi Alkitab, Inabuy kemudian menawarkan kepada gereja untuk melakukan resakralisasi hutan dengan memahami hutan sebagai rumah kita, rumah yang sakral.[26] Ini adalah sebuah konsep yang jika ditindak-lanjuti dalam pelayanan GMIT, akan mereformasi persepsi dan perilaku warga jemaat di Amarasi terhadap hutan itu.
Penutup: Saling Mendengarkan Firman Allah untuk Ber-lingkungan Hidup
Karya pembaruan Roh Kudus bagi lingkungan hidup yang sedang berada dalam krisis harus diresponi oleh GMIT. Ini dimulai dari pembaruan pemaknaan terhadap teks-teks Alkitab tentang ekologi di mana itu diperlukan. Proses ini bersauh pada kesadaran akan keterbatasan manusia dalam memahami Firman Allah dan kesediaan untuk mendengar pemaknaan lain dari para pembaca Alkitab.
Prinsip sola scriptura memungkinkannya, dan semboyan ecclesia reformata semper reformanda secundum verbum Deimengharuskannya. Dengan keyakinan bahwa Roh Kudus berkarya dan mengendalikan proses ini, GMIT tidak perlu alergi terhadap pemaknaan lain dari sebuah teks dan refleksi lain yang dihasilkannya. Tidak perlu juga GMIT ragu untuk secara kreatif mendialogkan Firman Allah dengan budaya-budaya lokal karena sang Firman juga telah ada dan berkarya di dalam budaya (Yohanes 1:10).[27]
Saling mendengarkan dalam semangat untuk bersama-sama memahami dan melakukan kehendak Allah berdasarkan Alkitab, hari ini dan di sini,oleh tuntunan Roh Kudus adalah cara yang saya tawarkan bagi GMIT untuk ber-lingkungan hidup dengan bersauh pada prinsip sola scriptura. Meminjam konsep “postur tubuh” dari Ira D. Mangililo berdasarkan Mazmur 104, ‘saling mendengarkan’ ini dapat dimaknai sebagai postur yang, dengan berjangkar pada kebaikan dan keramahtamahan, “membuka tangan dan menjangkau pihak lain karena hanya dengan demikian maka roh yang keluar dari tubuh kita akan berupa roh yang membangun dan memperbaharui.”[28] Saling mendengarkan makna Firman Allah adalah postur yang menunjukkan partisipasi GMIT dalam karya pembaruan Roh Kudus atas muka bumi. ***
*Elia Maggang adalah anggota GMIT, Mahasiswa PhD di Lincoln Theological Institute, University of Manchester, UK.
[1] Yolanda Dreyer et al., “Sola Scriptura: Hindrance or Catalyst for Church Unity?,” Hervormde Teologiese Studies 69, no. 1 (2013), 1, 3; Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding, 3rd ed. (Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 2015), 57.
[2] Dreyer et al., “Sola Scriptura,” 2, 3.
[3] Hendrik van den Belt, “Sola Scriptura: An Inadequate Slogan for the Authority of Scripture,” Calvin Theological Journal 51 (2016), 214.
[4] Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, (New Haven, CT: Yale University Press, 1970), 27.
[5] John T. McNeill, ed., Calvin: Institutes of the Christian Religion (Louisville: Westminster Jphn Knox Press, 2006), 1176.
[6] “Together towards Life: Mission and Evangelism in Changing Landscapes A New WCC Affirmation on Mission and Evangelism,” International Review of Mission 101, no. 2 (2012), 257.
[7] “Pokok-Pokok Eklesiologi Gereja Masehi Injili Di Timor (GMIT)” (Kupang: GMIT, 2015), 10.
[8] Lynn White, “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967), 1205.
[9] White.
[10] Respon yang memadai dari kekristenan bisa dilihat di Robert P. Borrong, “Kronik Ekoteologi: Berteologi Dalam Konteks Krisis Lingkungan,” Stulos 17, no. 2 (2019): 185–212.
[11] “Pokok-Pokok Eklesiologi Gereja Masehi Injili Di Timor (GMIT),” 47.
[12] Richard Bauckham, Living with Other Creatures: Green Exegesis and Theology (Waco, Texas: Baylor University Press, 2011), 111-32.
[13] van den Belt, “Sola Scriptura,” 213.
[14] Dreyer et al., “Sola Scriptura,” 3.
[15] Elia Maggang, “Menampakkan Corak Biru Kekristenan Indonesia,” Indonesian Journal of Theology 7, no. 2 (2020), 167.
[16] Bnd. Borrong, “Kronik Ekoteologi,” 185-6.
[17] Ernst M. Conradie, An Ecological Christian Anthropology (London: Routledge, 2016), 1.
[18] Elizabeth A. Johnson, Ask the Beasts: Darwin and the God of Love (London: Bloomsbury, 2014), 266.
[19] Richard Bauckham, Bible and Ecology: Rediscovering the Community of Creation (London: Darton, Longman and Todd, 2010), 37.
[20] Johnson, Ask the Beasts, 267-73.
[21] Bauckham, Bible and Ecology: Rediscovering the Community of Creation, 64-102.
[22] Junus E. E. Inabuy, “Forest: Our House, Sacred House – A Contextual Ecotheology” (The South East Graduate School of Theology, 2003).
[23] Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah Dalam Budaya (Ledalero: Penerbit Ledalero, 2005), vii.
[24] Nuban Timo, vi.
[25] “Together towards Life.”
[26] Inabuy, “Forest: Our House, Sacred House.”
[27] Nuban Timo, Sidik Jari Allah Dalam Budaya.
[28] Ira D. Mangililo, “Roh Kudus Menjadikan Dan Membaharui Segenap Ciptaan (Mazmur 104),” 2020, http://sinodegmit.or.id/roh-kudus-menjadikan-dan-membaharui-segenap-ciptaan-mazmur-104-pdt-dr-ira-d-mangililo/?fbclid=IwAR1CLkkhbTHZw0HguH7wIOGFm0rU2eI6kDuM-dYmXHYJMvj9rJMuJFaJpss.