KUPANG, Ada dua pertanyaan pembuka dalam mengimajinasikan ekoteologi dengan model sakramental. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memandu selama usaha rekonstruksi ini terus dilakukan dan tiba pada aspek cara (gaya) hidup berekologi dan etikanya di masyarakat majemuk modern, di desa atau di kota. Saya mengutipkan pertanyaan Larry Rasmussen pada lembaran Earth-Honoring Faith, ketika ia membahas bumi sebagai sakramen: “bagaimana perasaan moral yang sakral berperan sebagai cara hidup? Jika bumi adalah sakramen, bagaimana kita akan memperlakukannya?”[1] Jawaban dari pertanyaan ini, baiknya dimulai dengan mengutarakan hubungan karakter dasar sakramental, yakni panentheisme (Yun: pan:segala; en:di, di dalam, di antara; theos: Tuhan/Allah) yang dapat diperiksa dan diimajinasikan. Barangkali dapat bermanfaat.
Panentheisme bagi saya, jika diperjelas, maka ia akan menjadi semacam presaposisi wawasan dunia dalam berekoteologi. Di satu sisi untuk menafsirkan sebuah konsep ekoteologi selanjutnya. Di sisi lain, untuk mengembangkan implikasinya pada etika dan laku spiritual di tengah zaman yang disebut ekozoik/anthropocene, di mana manusia adalah faktor dominan ekokrisis global dan regional di NTT. Panentheisme diusulkan, karena mempertimbangkan kembali wawasan dunia religius Kristen dalam memandang hubungan Allah dengan ciptaannya di antara wawasan dunia lainnya. Wawasan dunia religius dimaksud, seperti yang dipetakan oleh apologet evangelikal Norman L.Geisler, yakni theisme, pantheisme dan atheisme.[2]
(Sumber: Norman L. Geisler, I Don’t Have Enough Faith to be an Atheist,)
Ketiga wawasan dunia sebelumnya telah saya abstraksikan pada artikel sebelumnya (berjudul “Pembunuhan Tuhan”, Ekonekrofilia dan Warisan Reformasi: Menuju Pengakuan Dunia yang Sakramental). Jadi, bisa dikatakan, artikel ini adalah kelanjutan dari artikel sebelumnya.
Dalam pembahasan dua tema pokok model sakramental dan panentheisme, maka saya akan membahas terlebih dahulu apa itu Model Sakramental. Setelah itu barulah wawasan dunia – panentheisme. Tentu saja saya akan menyertakan beberapa data alkitabiah di sekitar dua pokok bahasan ini.
Model
Saya memakai kata “model” (Latin: Mold: cetakan) dalam arti representasi objek-objek refleksi, pikiran-pikiran atau ide-ide sistematis ke dalam bentuk yang disederhanakan/diabstraksikan dari kondisi-kondisi realitas atau fenomena alam. Jadi, model adalah bentuk atau bingkai cetak dari berbagai sistem pemikiran ekoteologi yang bersifat jamak terhadap objek refleksi atau diskursusnya yang sama, yakni ekokrisis yang direfleksikan secara teologis.
Di sini “model” dipakai, lantaran dalam berekoteologi, kita bisa menemukan refleksi sistematis hubungan Allah dengan ciptaan-Nya dalam empat aliran besar: ekoteologi pembebasan (ecotheology of liberation), proses (ecotheology process), postkolonial (eco-postcolialism) dan ekofeminisme (ecofeminism). (Belakangan juga dari unsur seni, muncul aliran ekoteologi postmodern). Tiap aliran memiliki dasar teoritis dan kontekstual dalam membangun refleksinya atas satu region, bumi yang sama. Di samping itu, ada sekian banyak refleksi ekoteologi khas kontinental dan non-aliran (ekoteologi alkitabiah, ekoteologi-liturgi, eko-eskatologi, eko-apokaliptik, dll.), diantaranya yang bisa saya sebutkan dengan merujuk pada pemetaan ekoteolog Sellia Deane-Drummond dan Stephen Bede Scharper.[3] Istilah kontinental disebutkan menurut ciri khas atau orientasi perkembangan berekoteologi di berbagai benua. Drummond membaginya menjadi empat menurut istilah politis-geografis, namun telah merangkul aliran-aliran dan non-aliran dalam ekoteologi:
North. Menunjuk pada trend ekoteologi di kontinen Amerika Utara, yaitu pakar-pakar lingkungan hidup yang kemudian membangun pemahaman ilmiah berbekal filsafat dan teologi lingkungan deep ecology.Teolog-teolog tersebut mengembangkannya ke bentuk aliran atau non aliran. Tokoh-tokohnya ialah paleontolog-(teolog) Teilhard de Chardin, ekologi spiritual Matthew Fox dan geolog-(teolog) Thomas Berry.
South.Drummond tidak membatasi maksud kata South hanya pada region Amerika Latin. Sebab, ia menyadari bahwa kata South juga secara politis menunjuk negara-negara miskin dan berkembang. South secara terbatas dipakai Drummond menyasar pada teolog-teolog pembebasan Latin. Gema diskursus ekoteologi di situ berbasis pada pola-pola pemiskinan alam, perempuan (juga indigenous people) dan manusia melalui ekpansi kekuasaan dan pembangunan. Dengan kata lain, nafas ekoteologinya ialah teologi pembebasan yang diperluas secara integratif dengan ekoteologi. South sebenarnya secara politis vis a vislangsung pada North. Tokoh-tokohnya, seperti Leonardo Boff, John Hart, dan Sean McDonagh.
East.Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa Drummond menghargai tradisi teologi Timur, yang dia maksud adalah tradisi gereja Orthodox. Jadi, Timur tidak langsung menunjuk pada region kontinental juga dalam arti orientalisme Edward Said. Melainkan pada sebuah tradisi Kristen yang berpengaruh di Eropa Timur atau di Asia Barat dan Timur Tengah. Tekanan utama ekoteologi Orthodox Timur adalah kekuatan refleksi pada liturgi, teologi logos/sophia dan sakramentalisme. Meskipun begitu, itu tidak berarti teologi ini adalah milik mereka. Saya akan menunjukkan bahwa klaim semacam itu terlalu berlebihan, seperti yang dilakukan ekolog feminis, R.R.Ruether, yang menganggap bahwa teologi sakramentalisme adalah khas Katolik, (dan juga Orthodox) sedangkan Protestan berfokus pada covenant. Saya membantahnya, karena secara historis teologis, sakramentalisme bukan klaim historis katolik, tetapi kekristenan universal. Saya memeriksa klaim itu dari perspektif historis dan sumbangan postmodernisme, yang membuat tema sakramentalisme menjadi cair dan harus ada reclaiming oleh kekristenan sebagai model penting berekoteologi. Tokoh-tokoh Timur seperti, S.Bulgakov, J. Zizoulas, Georges Florovsky dan Aristotle Papanikolaou.
West.Drummon memakai kata ini, dalam arti teologi yang berorientasi budaya Barat. Tanpa berkeinginan xenofobik, yang dia maksudkan ialah, bahwa ekoteologi ini memberi fokus antroposentrisme pada tema-tema bahaya dan keuntungan saintisme Barat dan imperialisme lingkungan viabio-teknologi baru dan ideologi di balik krisis lingkungan. Analisis sosio-politik dalam ekoteologi ini adalah mutlak. Karena itu, ekoteologi cenderung merupakan kritik politik. Tokoh-tokoh seperti teman penulis Drummond, Sigurd Bergmann dan Michael Northcott yang saat ini juga mengajar di ICRS UGM Yogyakarta, memerhatikan tema-tema tersebut sebagai konteks berteologi di Eropa dan pengaruhnya ke berbagai wilayah kontinental. Secara ekoteologis, mereka mempelajari argumen-argumen ekolog sosial munisipal Murray Boockhin, yang juga berlatar Marxisme progresif.
Pemetaan-pemetaan di atas dibedakan dengan arti model. Lantaran, berbagai refleksi aliran dan non-aliran tersebut secara sistematis bisa memuarakan atau dimodelkan pada pengakuan bahwa bumi adalah sakral dan relasi manusia dengan keutuhan ciptaan Allah lainnya juga sakral. Dengan kata lain, aliran dan non-aliran dalam berekoteologi bisa dimodelkan dalam model sakramental. Dan karena model sakramental selalu menghadirkan presuposisi wawasan dunia panentheis, maka model sakramental terkait erat dengan panentheisme.
Model Sakramental
Model sakramental dikonstruksi dari teologi tentang sakramentalisme. Teologi tersebut sudah berkembang pesat sebagai teologi kontemporer penting pada abad 21, diantaranya termasuk karena jasa postmodernisme. Para teolog Protestan saat ini melakukan reklaim historis atas teologi ini, dengan membantah bahwa sakrametalisme bukan barang milik Katolik, juga bukan milik pribadi gereja teolog Orthodox Timur, bahkan sudah bukan milik teolog Barat. Begini saya akan mengusut perkembangannya dan bagaimana sakramentalisme dapat dipakai sebagai model berekoteologi?
Diskusi sakramentalisme dapat dibagi secara historis, yaitu menurut zaman, konteks dan perkembangan teologi. Saya memakai Cambridge Dictionary of Theology.Dalam kamus tersebut dikatakan bahwa berteologi sakramental telah menjadi diskusi penting bagi para sarjana belakangan ini.[4] Begitu juga dalam pembuka pengantar buku Sacramental Theology,oleh Bruce T.Morril, dikatakan eksplisit bahwa “di paruh abad kedua puluh, sakramen muncul sebagai topik vital dalam gerakan pemulihan kembali teologi Katolik Eropa Barat. Sekarang teologi sakramental menjadi titik perhatian yang berkelanjutan dalam berbagai teori lintas disiplin yang memerhatikan konteks aktual, historis maupun kontemporer”.[5] Meskipun R.R.Ruether mengatakan, ciri khas berekoteologi Kristen dapat dibagi pada dua samudera besar berteologi, yakni perjanjian (covenantal) sebagai khas Protestan dan sakramental (sacramental) khas Katolik,[6] namun saya tidak bisa menerima pembagian tersebut.
Pertama, Ruether menyederhanakan persoalan historis dan kontekstual, yang secara dikotomis berarti mengerdilkan makna teoritis sakramentalisme. Oleh karena sakramentalisme tidak dapat dikurung begitu saja dalam satu tradisi Kristen atau milik satu kontinen tertentu. Lantaran pada sejarahnya, diskusi semacam ini dibahas hampir setiap denominasi awal Kristen: Katolik, Orthodoks dan Protestan di berbagai tempat (terutama, patut diperhatikan di Asia dan di Indonesia secara khusus). Ketiga wawasan dunia Kristen tersebut memiliki pandangan sakramental (kecuali yang masih mengerdilkan pandangan ini). Kedua, karena alasan bahwa secara teoritis, sakramentalisme bersifat interdisipliner dan menjadi sebuah konsep historis. Hal itu tidak menunjukkan bahwa sifat teori (sakramental) tidak netral.[7] Teologi sakramental, kalau begitu, pada dua abad ini (20-21 ZB) adalah ide konvergensi ekumenis (common ecumenical sacramental theology and practice).[8]
Bagi kalangan Protestan, pada dua abad ini, dahulunya pernah diajak untuk mengarahkan keterbukaan pada sakramen. Paul Tillich menuliskan itu, “Protestan butuh penemuan kembali apresiasi atas sakramen, yang lebih dari sekadar kata-kata, karena mediator spiritual hadir dalam tatanan kesatuan multidimensional”. Kalimat lain oleh pakar liturgi Protestan, James White, “pertumbuhan ketertarikan Protestan pada [ide] sakramen-sakramen dan kesadaran peran teologi tersebut [bermanfaat] dalam reformasi iman”.[9] Pada dua abad ini (20 dan 21), dengan demikian, ketertarikan pada teologi sakramental oleh kalangan Protestan, secara historis justru sedang berkembang (kecuali kalangan evangelikal, saya kira GMIT juga). Ekolog biodiversitas seperti, Kevin O’Brien, sendiri menyatakan, “sakramental telah lama dan mendalam, dimiliki oleh banyak denominasi dan gereja Kristen, yang membangun hubungan antara dunia dan Allah”.[10]
Menurut Ian McFarlan, di kalangan Katolik, misalnya, telah terjadi pergeseran-pergeseran diskusi teologi ini. Pada dekade 1960-an, diskusi teologi hangat di sekitar eskatologi dan ekklesiologi. Memasuki 70-an bergeser ke arah kristologi. Pada dekade 80-an dan 90-an diskusi ke arah doktrin tentang Allah dan Trinitas. Menjelang milenium ketiga, ketertarikan diskusi berlanjut ke sakramentologi dan liturgi. Bahkan, diskusi yang terakhir ini disebutkan (sakramentalisme) menjadi pusat berteologi.[11]
Ilmu yang mempelajari teologi sakramen (sacramental theology), arti, makna dan perluasannya adalah sakramentologi. Dasar-dasar sakramentologi telah berkembang lama di zaman patristik. Asal-usulnya telah ada sejak abad ke II masehi. Pada dekade 1990an, perkembangan ilmu ini memang masih mempertahankan model tradisional, hanya saja, arus pemikiran Barat kala itu masih menggenggam bibit dualisme antara neoplatonisme dan neoaristotelianisme, sehingga ungkapan tradisional seutuhnya belum terlalu tampak saling meresap antara yang metafisik dan materi.
Jika dalam Alkitab, tulis Hilary of Poitiers (sekitar 300-68 ZB), mengajarkan bahwa orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam PL yang menggambarkan misteri-misteri Kristen seperti peristiwa-peristiwa perjumpaan dengan Allah sebagai misteri, sifat Allah sebagai pembebasan dan keselamatan, dapat dianggap sebagai sakramen (contoh perjumpaan Musa dengan Allah di gunung Horeb [bnd.KPR. 7:33], Kel.3:5, menunjuk tanah itu sakral/suci, karena Allah ada di sana. Hal yang mirip dialami oleh Yosua, Yos. 5:15. Menurut tafsiran, penyataan ini adalah sebuah teofani: pengamalan spiritual terindrawi tentang kehadiran Allah) maka diskusi selanjutnya dari zaman patristik mengenai sakramen, mencapai titik simpul wujudnya pada ritus-ritus gerejawi. Ini yang kemudian oleh Lombardus, diusulkan kepada tradisi Katolik tujuh (angka ilahi) sakramen. Dan oleh Protesten dihasilkan dua sakramen, melalui perdebatan para reformator abad 16 dengan pihak yang setia pada tradisi tuanya, Katolik. Sedangkan dalam tradisi Suriah, istilah yang biasanya diterjemahkan sebagai ‘sakramen’ (raza / rozo, yang berarti ‘rahasia’) digunakan bahkan lebih luas. Dalam tradisi ini, Allah tersembunyi, tetapi membiarkan dirinya terungkap dalam ciptaan. Pengungkapan Ilahi datang melalui alam, simbol, dan metafora, tetapi di atas semua itu dalam inkarnasi: ‘alih-alih perumpamaan yang dipinjam yang sebelumnya dipakai menunjuk keagungan Allah, [Allah] menyatakan diri melalui anggota tubuh yang nyata, seperti yang dilahirkan sebagai Anak-tunggal dan bercampur dengan kemanusiaan ‘ (bnd.Yoh 1.:14, Firman-menjadi-manusia). Bagi tradisi ini, Kristus adalah misteri yang tak terbatas (ultimate raza) atau penyingkapan Allah, tetapi Allah dapat berpotensi mengungkapkan dirinya dalam apa saja dan di mana saja (bnd.Kerigma [jangan ditafisr leterer] dari keledai Bileam, Bil.22:27-30, Mzm. 148:8, alam melakukan Firman Allah) – suatu ciri pemikirannya yang selaras dengan perhatian postmodern dengan sakramentalitas.[12]
Diskusi sejak postmodernisme muncul, sebagai kritik atas modernisme (-tas) telah terjadi perkembangan pesat pemakaian arti teologi sakramental. Pada titik ini, dualisme hampir dibersihkan. Misalnya dicatat pendapat R.William mengenai pandangan eksklusif sakramentalitas dunia dalam konteks berpikir postmodern, “sakramentalitas bukan prinsip umum bahwa dunia dipenuhi kesakralan (sacredness): sakramentalitas meyakini bahwa dunia dilingkupi akan Allah yang hidup, yang dikenali melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus”.[13] Dalam pandangan teologi postmodern, istilah sakramental dikenal sebagai mediasi ilahi,menunjuk mediasi penebusan ilahi yang dihadirkan bagi kita melalui dunia alami (natural world), yang termasuk, bukan hanya gereja, melainkan unsur-unsur material di dunia.[14]
Para teolog postmodern telah mencoba untuk memutuskan hubungan dengan apa yang mereka sebut ‘ontoteologi’[15], menolak baik metafisika aristotelian dan neoplatonis yang mereka anggap sebagai pendasaran semua sakramentologi sebelumnya. Teolog postmodern Perancis, seperti J-L. Marion (lahir 1946), mengusulkan suatu teologi sakramental yang bersandar pada gagasan keterbukaan kepada ikon, tetapi berpusat pada ekaristi. Marion memandang secara evaluatif, teolog postmodern yang menggunakan pandangan Heidegger. Menurutnya, Heidegger masih terjebak dalam ide-ide ‘being‘ dan ‘ontoteologi’ dan sebaliknya berpendapat bahwa, “meskipun Allah bukanlah apa-apa (ada-an, God is nothing) dari yang diciptakan, jarak antara ilahi dan ciptaan dijembatani oleh inisiatif ilahi dari agape yang memberi diri”. Allah dengan cara ini dinyatakan dalam pemberian. Demikian juga, Allah dinamai bukan dari wujud-Nya, tetapi dari salib, yang juga merupakan pemberian. Allah baru dikenal dengan sebaik-baiknya (bukan sepasti-pastinya, karena pengenalan akan Allah sebagai misteri adalah pengenalan yang tidak tuntas) melalui Yesus. Dalam membedakan yang ilahi, berhala harus ditolak (lihat, idolatri), dan ikon diterima, dan melalui ikon itulah pemberian / penerimaan diakui. Marion merangkul transubstansiasi, tetapi menawarkan interpretasi non-metafisik: roti dan anggur menjadi karunia ikon yang transparan melalui mana agape ilahi muncul. Roti dan anggur adalah karunia keilahian, yang diberikan pada zaman manusia.[16]
Pendekatan postmodernisme lagi-lagi diakui telah menyumbangkan bahwa sakramentalitas dibicarakan dalam arti yang digali dari yang paling tradisional dan paling klasik, terutama meradikalisasi perpindahan penafsiran metafisik pada sakramentologi.[17] Dengan pandangan postmodern, diskusi sakramentologi bisa berbicara banyak mengenai medium diskusi, misalnya dalam puisi, tarian, berkebun, teknik, desain, bangunan, dan tempat-tempat umum (publik), sebagai media penebusan ilahi. Tempat-tempat tertentu yang dahulu dikhususkan dan dianggap sakral, seperti gedung gereja, tidak lagi menjadi satu-satunya lokus. Ini bukan berarti bahwa kita beralih ke politheism-pantheisteik, atau sebuah neo-pagan yang menyembah batu-batu!
Perluasan tempat sakral oleh karena, pendekatan postmodern merenaisans (mencerahkan) secara baru (mengembalikan/melahirkan kembali) pemahaman pramodern, model klasik, kuno tentang sakramentologi, bahkan dari yang asli dalam Alkitab. Segala hal dipahami sekarang sebagai bersakramentalitas, seperti bentuk radikal Boff di atas, yang menganggap bahwa ada kenangan “sakramental” dalam peninggalan ayahnya di laci mejanya. Artinya, yang dimaksudkan tentang apa saja yang bersakramentalitas, ya, semua hal, benyak tempat, dan bukan saja di gereja dan orang suci, tidak juga tujuh sakramen (katolik) atau dua sakramen (Protestan). Itu sebabnya, nanti, jika kita mengengok seorang sahabat Leonardo Boff, yakni John Hart, kita dapati gagasan plural bahwa banyak tempat, momen, peristiwa adalah bersakramentalitas. Konsekuensi pengertian-pengertian ini tidak berarti bahwa semua/segala tempat Allah berkenan ada, tetapi semua/segala tempat, Allah dapat ada, untuk menyatakan sesuatu yang Ia kehendaki kepada manusia. Saya menyadari konsekuensinya karena kita telah terbiasa dikotakkan oleh bentuk biner sekuler-religius, profan-sakral. Jika pemikiran ini dipakai secara ekologis, tidak disanksikan, bahwa bumi adalah sakramental.
Dengan adanya pendekatan postmodern, maka tidak berlebihan mengatakan, bahwa pemikiran sakramental sebagai pemikiran kontemporer, adalah juga pemikiran yang berciri postmodern.
Arti Tradisional Sakramental
Arti tradisional dan historis sakramen terikat pada tradisi sumpah seorang tentara (Latin: sacramentum) untuk setia melayani di bidang keamanan dan alat politik. Secara simbolis, mereka adalah representasi kehadiran politik pemerintah, negara dan dewata di ruang publik. Karenanya, kehadiran prajurit tidak saja berarti pelayan negara, tetapi juga pelayanan dewa. Dalam tradisi Romawi-Kristen, sakramen berarti laskar salib. Tidak hanya itu, kata sakramen juga secara historis berakar pada tradisi Yunani-Romawi mengenai uang jaminan atau denda yang ditaruh di kuil dewata, atau pihak-pihak tertentu yang berperkara dalam pengadilan.
Oleh patrimon abad kedua, Tertullianus, kata tersebut diambil dari kata Latin, sacramentum.Kata ini diberakat pada kata, sacr, sacer:Suci, kudus. Dalam tradisi Kristen, kata ini dimaknai macam-macam: lingkungan orang kudus (santo, santa), atau ruang dan bidang yang suci. Maka kata Latin, sacrareberarti menyucikan, menguduskan, atau mengkhususkan sesuatu, bahkan seseorang ke dalam lingkung atau bidang yang menjadi suci dan kudus. Arti seperti ini, mungkin adalah sumbangan Augustinus (354-430 Szb). Augustinus mengartikan bahwa sacramentum adalah tanda dari sesuatu yang sakral.[18] Sedangkan P. Lombardus (1100–60 Szb) mengajarkan bahwa sesuatu dengan tepat disebut sakramen karena itu adalah tanda rahmat Allah dan merupakan gambaran rahmat yang tak terlihat. Luther menganggap sakramentalitas sakramen gerejawi sebagai kehadiran substansial ilahi ke dalam materi, tetapi menolak Aristotelianisme sebagai tidak logis. Calvin memahami sakramentalitas sakramen sebagai instrumen untuk menunjukkan dan menampilkan rahmat Ilahi. Teolog liberal modern menganggap bahwa ide sakramentalisme adalah ide yang ditemukan atau diambil alih dari paganisme, dan bukan asli penemuan kekristenan.[19] Definisi-definisi semacam ini, baiknya bagi para patrimon di masa lalu, sejak abad pertengahan, tradisi reformatoris dan di abad modern harus berterima kasih kepada arus pemikiran, baik neoplatonian atau aristotelianisme, meskipun terkadang harus dilampaui.
Bagi orang Kristen abad ke II, kata sacramentum dipakai untuk menerjemahkan kata Yunani mysterionyang terdapat dalam kitab suci. Kata mysterion dalam Alkitab, dipakai untuk menerjemahkan pengalaman akan yang Ilahi (Mat. 13: 11, menunjuk rahasia kerajaan Sorga; Yoh 15:4, menunjuk bahwa Yesus tinggal dalam kehidupan kita; I Kor.13:2 hubungan kasih dan karunia; 14:2 kemampuan Roh Kudus melalui bahasa untuk mengilhami rahasia-rahasia Allah; Ef. 5:32; Kol. 1:27, 1 Tim 3:16, Why. 1:20, 17:7, masih sangat banyak teks Alkitab yang mengartikan kata tersebut), yaitu sebuah pengalaman spiritual yang melampaui nalar dan menimbulkan rasa terpesona dan terkagum yang amat dalam. Artinya kata tersebut dipakai memahami kata septuagintanya dari bahasa Ibrani sodatau kata Aram, raz.Kata mysterionberakar pada kata my,kata kerjanya myein,yang artinya menunjuk pada sikap menutup mulut atau mata, tercengang, sebagai reaksi atas pengalaman yang tak mampu terlukiskan begitu saja dengan kata-kata.[20] Itu sebabnya, mysterionsebagai terjemahan yang menujuk pada Allah sebagai figur yang tak terhingga (transenden), yang mau menyatakan diri di dalam pengalaman manusia dan alam semesta melalui Yesus. Jadi mysterion-sacramentum terutama bersifat kristologis.[21]
Pemahaman Umum Sakramentalisme Dalam Tradisi Kristen
Mery E. McGann menulis, bahwa dalam tradisi Kristen, sakramentalisme didiskusikan setidaknya menurut tiga asumsi: 1. Segala kehidupan ciptaan (substansi materi/keseluruhan partikel) memiliki potensi memunculkan/mengkomunikasikan yang Ilahi. 2. Dalam peristiwa Yesus Kristus, ciptaan mendapat hubungan yang baru dengan Allah. 3. Sakramentalitas / mencapai kepenuhannya ketika tindakan Allah dalam penciptaan diperjumpakan dengan respon manusia.[22] Sedangkan, ekoteolog Lutheran evangelikal, Larry Rasmussen mengutarakan bahwa ada satu prinsip sakramental, bahwa Yang Ilahi, yaitu anugerah penopang kehidupan hadir ke dan melalui ciptaan sebagai kehadiran abadi Allah.[23]
Hart sendiri memahami sakramen dalam arti yang luas, juga dalam asumsi McGann. Dia memahami sumbangan dan perluasan dari pendekatan postmodernisme, seperti yang telah saya ulas di atas. Hart memahami sakramen secara umum sebagaimana juga dalam beberapa definisi sebelumnya. Ia mengutip tradisi Kristen abad pertengahan, sejak Augustinus, yang mendefinisikan sakramen sebagai bentuk kelihatan dari anugerah yang tidak kelihatan (visible forms of invisible grace). Hart juga memeriksa pandangan dari tradisi reformatoris dan modern. Yang menarik dari yang dikutipnya ialah bahwa, ia mengambil pemahaman dari teolog yang berpengaruh di konsili Vatikan II (1962-1965), E. Schillebeeckx, seorang pastor Belanda yang menyebut Yesus sebagai sakramen sebagai “sakramen perjumpaan dengan Allah”. Serta pemahaman Paus Paulus VI, yang menyatakan, bahwa “orang miskin adalah sebuah sakramen Kristus”.[24] Pandangan-pandangan ini tidak akan luput untuk dipakai pada hampir keseluruhan argumen dalam tulisannya. Namun paling utama, dipahami Hart bahwa sakramen dilihat sebagai sakramen alam (natural sacrament: universe sacramental), dan commonssakramental (sacramental commons), selain sakramen-sakramen gerejawi. Hart juga memberi tesis kecil mengenai sakramen bertolak dengan frasa bahwa,
“sakramen-sakramen adalah tanda dari Roh pencipta yang menarik orang ke dalam saat-saat penuh anugerah yang tersebar ke seluruh bagian, melalui kesadaran yang memuncak pada kehadiran ilahi dan keterlibatan dengan yang ilahi (divine being).. sakramen alami adalah tempat, peristiwa, atau makhluk di alam yang, merupakan sebuah tanda dari imanensi dan kehadiran roh, menarik orang menuju Roh dan secara bersamaan mengundang mereka untuk berhubungan tidak hanya dengan Roh, tetapi dengan semua makhluk hidup dan yang tidak hidup…semua tempat adalah sebuah tempat yang dijadikan suci oleh kehadiran Ilahi yang aktif dan terhubungan. Ciptaan disucikan karena merupakan realisasi dari imajinasi Ilahi dan lokus dari imanensi Ilahi. Sebuah tempat yang sakramental adalah tempat yang menyatakan tanda dari Roh Pencipta yang transenden dan imanen sekaligus… Semua tempat disucikan karena semua ciptaan hadir dalam dan menuju Pencipta. Ketika Roh transenden-imanen secara serempak berada dalam ciptaan dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, setiap tempat adalah tempat suci”.[25]
Tesis yang ia bangun merupakan ungkapan awal yang mau mengantar orang pada sebuah kesadaran bahwa pada dasarnya, dalam pandangan Kristen, semua tempat adalah tempat sakral. Karena totalitas kesakralan dari kehadiran Allah inilah, maka ia katakan, “inilah cara kesadaran (mode of consciousness) dan berperilaku di mana orang peduli terhadap bumi dan semua kehidupan, serta berbelas kasih kepada semuanya”.[26]
Bagi Hart, tempat sakramental bukan hanya berlokasi pada kemurnian (pristine) alam; momen sakral tidak terbatas pada gereja, sinagoge, bait suci, atau hanya pengalaman dalam satu tradisi sakral. Hart menyatakan bahwa bahkan kota-kota dan pertanian, pesawat terbang, dan jalan raya, pasar dan ruang konserdan bisa menjadi tempat sakramental. Kegembiraan dan tragedi eksistensi manusia juga demikian. Kehadiran dan pengalaman akan Tuhan ditemukan dalam cara dan tempat yang berbeda-beda: dalam ritual keagamaan semua budaya dan agama, dalam tangisan orang lapar dan tersiksa, air mata, kegembiraan, kepuasan dan ketidakpuasan, kehilangan atau kepenuhan materi dan sukacita ekonomis.[27] Apa yang ia maksud dengan penciptaan dan yang sakral, mirip dengan perspektif teologi proses, bahwa kelindansi antara Penciptaa dan ciptaan masih berada dalam proses. Penciptaan masih dalam proses: dinamika kosmik sedang berlangsung, evolusi biologis berlanjut; pertukaran wawasan antarbudaya terjadi, kesadaran manusia dan hati nurani berkembang.[28]
Hart juga memandang sebuah antropologi dan sosiologi dalam hubungan dengan keutuhan ekologis, bahwa berbagai tempat dan masyarakat bisa menjadi sakramen. Orang-orang dapat terlibat secara spiritual di berbagai tempat dan bisa mengalami kehadiran Roh yang mewahyukan Allah melalui penghayatan terhadap tempat tersebut. Orang-orang yang berjalan dengan Roh, yang menyatakan kerohanian mereka melalui pekerjaan Roh, dan karena itu mereka turut disebut sakramen. Ini artinya, manusia dan masyarakat adalah salah satu bentuk sakramen ciptaan. Karenanya, sakramentalisme berdimensi ekologis, juga sosiologis.[29]
Sejauh ini, telah dijelaskan arti sakramental. Berikut ini, kita dapat mencari hubungannya dengan wawasan dunia panentheis. Mengapa keduanya berhubungan?
Wawasan Dunia
Barangkali kita bertanya, apa itu wawasan dunia? Dan apa itu wawasan dunia religius? Wawasan dunia dalam studi sejarah kata (Wortgeschichte) dan sejarah konsep atau ide (Begriffsgeschichte) berkembang pesat dalam teologi pada awal abad 20 ZB. Tetapi pemakai pertama dalam dunia akademis/filosofis adalah filsuf Prusia, Immanuel Kant, tahun 1970 dalam bukunya, Critique of Judgment. Kata ini, oleh Kant dibentuk secara tidak sengaja, menurut pakar agama dan teologi, Albert M.Wolters. Dalam tulisan tersebut, Kant, yang menggemakan ide tentang noumenadan fenomena,[30] mengartikan wawasan dunia (weltanschauung), sebagai persepsi inderawi atas dunia (realitas yang tampak pada indera). Kata anschauung,atau persepsilah yang menjadi penting diperhatikan, sebab ia mengandung arti pengamatan/insepeksi atas dunia (welt-beschauung); pertimbangan/perenungan atas dunia (welt-betrachtung); dan wawasan/pendapat tentang dunia (welt-ansicht).[31] Jadi, ketika saya menggunakan kata “wawasan dunia” bagi panentheisme untuk memikirkan ekoteologi, yang saya maksudkan adalah makna jamak dari persepsi/wawasan (anschauung). Dunia, bumi (erde) harus dipahami, mula-mula melalui arti inderawi (empiris) dan persepsi yang berhubungan dengan Pencipta. Dunia, bumi direnungkan apanya? Direnungkan kondisinya hari ini. Ia sedang tidak baik-baik saja! (Meskipun kitab Kejadian selalu katakan, “baik”).
Wawasan dunia (worldview.Jerman: Welt:dunia, Anschauung:persepsi) yang awalnya berkembang di Jerman, dipakai sebagai filsafat atau wawasan terhadap kehidupan khusus; sebuah konsep terhadap dunia yang dimiliki seseorang atau sebuah kelompok. Wawasan dunia, sederhananya adalah perenungan terhadap dunia, wawasan hidup. Saat ini wawasan dunia berpengaruh pada berbagai cabang ilmu, seperti etnologi, antropologi, politik, teologi, dll. Wawasan dunia, dengan demikian, jika dipakai dalam teologi, tentu saja dapat dikatakan bahwa sebuah teologi dengan tradisi tertentu atau teologi seseorang adalah wawasan dunianya. Yang dimaksud adalah sebuah sistem terpadu dalam memahami.merenungkan realitas. (Contoh, “teologi presbiterian/reformed”, Katolik, dll.). Meskipun, teologi dan wawasan dunia berbeda pada dasarnya, karena teologi adalah usaha menjelaskan dan menafsirkan satu wawasan dunia. Dan satu wawasan dunia tidak hanya bisa ditafsir menggunakan teologi.
Menurut saya, seorang teolog akademisi dan non-akademisi memang harus mengetahui hal ini ketika ia berteologi, agar mampu memetakan sudut pandangnya bagi kepentingan misi dan penginjilan (lihat kembali perbedaan misi dan pengijilan pada David Bosch, Transformasi Misi Kristen). Memahami wawasan dunia penting, bukan supaya kita mengklaim kebenaran sebuah wawasan dunia, tetapi untuk menafsirkan realitas. Orang yang berpikir dengan wawasan dunia (Kristen), membentuk pemikiran Kristen. Karena itu, tiap wawasan dunia perlu dipahami dalam perspektif dialektika dan dekonstruksi (suatu saat dua pendekatan ini akan saya tulis).
Semua orang memiliki wawasan dunianya, meskipun tidak utuh atau terpecah-pecah. Jika kita adalah orang Kristen Protestan, setiap kita memiliki wawasan dunia dari apa yang kita internalisasi dari luar, seperti khotbah, pembacaan Alkitab, dan hasil belajar. Setiap hari, wawasan itu bisa berkembang dan perubahan-perubahan kecil wawasan itu terjadi dalam diri seseorang.
Dengan demikian, semua beragama agama (maupun yang atheis), memiliki wawasan dunia masing-masing. Terutama menghubungkan Realitas Tertinggi (entah mau disebut Tuhan, dewa, atau Allah) dengan realitas dunia apa adanya dalam proses dan perubahan. Namun, dalam pembatasan tulisan ini, saya menyebut istilah abstrak “Realitas Tertinggi” dalam arti filosofis, dengan arti teologisnya, yakni Allah Tritunggal. Lantaran, tidak semua filsuf dan teolog sepakat bahwa Realitas Tertinggi adalah Allah. Ia bisa diartikan agak peyoratif bahkan teoritis tergantung wawasan dunia tertentu memaknainya.
Geisler mengartikan wawasan dunia sebagai sistem besar wawasan dunia sebuah agama dalam memahami keutuhan proses realitas. Mulai dari wawasan tentang asal-asul dunia (kosmogoni), bentuk kosmologi, pengetahuan religius yang diajarkan (epistemologi), ekspresi kehidupan yang luas dan khas (budaya), cara memahami manusia (antropologi) dan dampaknya pada perilaku orang beragama (etika). Evangelikal Andrew Hoffecker, menggemboskan pemahaman bahwa wawasan dunia membantu seseorang berfalsafah. Wawasan dunia atau pandangan dunia dan kehidupan seseorang, terdiri dari kepercayaan dan kerangka pemahaman yang paling mendasar dari dirinya untuk memahami realitas. Hoffecker mengartikan wawasan dunia sebagai kepercayaan dasar (pemikiran, asumsi, keyakinan, presaposisi, dan premis) manusia mengenai sesuatu.[32] Kepercayaan dasar ini kemudian memengaruhi setiap dimensi kehidupannya. Dengan lain frasa, menjadi manusia berarti memiliki wawasan dunia. Wawasan dunia bersifat mendasar bagi apa artinya menjadi seorang manusia. Jika wawasan tersebut bersifat religius, maka orang itu bersifat religius. Jika dasar wawasan dunia itu adalah dari Alkitab, maka orang itu memaknai realitas dan dirinya berdasarkan apa yang dipahami dari Alkitab. Jika dalam wawasan dunia Kristen mengamini Allah pencipta dan memelihara ciptaan-Nya, termasuk manusia, maka apa konsekuensi utuhnya bagi relasi manusia dengan ciptaan lain.
Tetapi, wawasan dunia juga lebih luas dari sekadar kepercayaan dasar alkitabiah dan doktrin-doktrin sebagai faktor eksternal. Karena wawasan dunia adalah menghidupi dan memikirkan cara memahami realitas. Jadi, sebuah wawasan dunia dapat saja dikonstruksi (pikirkan) karena berkaitan dengan cara orang atau kelompok memahami dunia dan budayanya.
Satu buku yang bisa kita baca secara kritis untuk mengenal berbagai varian wawasan dunia yang menyertakan sejarah konsep-konsepnya ialah tulisan David K.Naugle, seorang evangelikal progresif. Ia menyajikan sejarah konsep-konsep wawasan dunia dari sudut filosofis dan teologis. Tetapi hanya dari perspektif Kristen: Katolik, Orthodox dan Protestan.
Panentheisme
Jika memindai model ekoteologi sakramental dari John Hart, kita tidak dapati penelusuran panjang lebar mengenai panentheisme. Hart tidak mengartikan kata tersebut secara teknis. Ia hanya mendefinisikannya demikian, “Bumi yang diserap oleh kehadiran imanen dari Roh transenden, yang disting dari ciptaan-Nya”.[33] Ia menekankan kehadiran Allah dalam ciptaan-Nya ialah melalui Roh dan kasih-Nya. Kalau kita lihat, konsep panentheisme dalam ekotelogi sakramental, tidak sama dengan pan-theisme dan pan-deisme. Yang pertama memandang bahwa segala Ada, adalah Tuhan atau Allah. Yang terakhir adalah penggabungan antara pantheisme dengan deisme, yang muncul dalam filsafat ketuhanan di sekitar abad 19. Deisme sendiri adalah keyakinan filosofis-religius abad 17-19 ZB, bahwa setelah tuhan menciptakan dunia, tuhan/dewa meninggalkan ciptaan itu (tidak memeliharanya).[34] Apabila deisme digabungkan dengan pantheisme, maka pandeisme menjadi keyakinan bahwa setelah tuhan menciptakan dunia, ia tidak meninggalkannya, tetapi ia menyatu dengannya tanpa memeliharanya, sebab alam adalah Tuhan.
Panentheisme sendiri tidak hanya tumbuh di dalam kekristenan. Tetapi, muncul juga di hampir semua tradisi dan wawasan dunia, baik agama besar, maupun sebagian besar agama suku. Bagi teolog Methodis, Walter Wink, panentheisme adalah integral worldview, salah satu dari lima worldviewyang secara teknis dapat diimajinasikan anti-hierarkis.[35] Katanya, “jiwa menembus [meresap tanpa melebur] alam semesta. Tuhan tidak hanya di dalam diri manusia, tetapi di dalam segala segalanya. Alam semesta disatukan dengan yang ilahi, segalanya di dalam Tuhan, dan Tuhan di segalanya.”[36] Bagi Wink, pandangan ini melampaui sebagian wawasan dunia kuno (di luar Alkitab) yang menganggap realitas surga (dengan metafora spasial) berada di “atas”, dan dunia “bawah”, sekaligus mendamaikan keduanya. Pandangan integralini,memahami metafora spasial bukan sebagai atas-bawah, tetapi “di dalam”. Roh berada di dalam segala hal. Roh adalah jantung dari segalanya, dan semua makhluk adalah penyingkap potensi kehadiran Allah. Dalam pandangan Hart, semua makhluk atau alam sebagai mediasi wahyu Allah. Wink meyakini, pandangan integral ini, lebih memudahkan orang memahami Allah yang disaksikan dalam Alkitab. Keyakinannya diperluas, bahwa panentheisme merupakan gagasan atau wawasan dunia yang menolong struktur berpikir orang modern di melenium baru ini, abad 21. Panentheisme, seperti diyakini, telah mengakar di segala aliran pemikiran ekoteologis abad ini. Misalnya, dalam fisika baru, teologi pembebasan, teologi feminis, psikolog refleksi Karl Jung dan de Chardin, dan para teolog proses: Whitehead, Hartshorne, Cobb dan David Ray Griffin; teolog-teolog seperti Berry, Fox; para budhis dan pemikir dari agama suku kontemporer.[37]
Panentheisme sekaligus, dapat menolong menjembatani refleksi agama suku, yang memandang langit atau surga yang maskulin (sky father) dan bumi yang feminin (mother Earth), sebagaimana kebanyakan orang Asia dan orang Timor memandangnya. Dari wawasan dunia religius ini, kita dapat menengok ke arah baru dari perspektif konstruksi ekoteologi, bahwa kasih Allah dinyatakan dalam ciptaan melalui dua tangan-Nya yang merangkul bumi, Yesus dan Roh Kudus.[38] Jadi, di satu sisi ciptaan berdimensi kekristusan, di sisi sebelah berdimensi pneumatologis. Yang pertama menyatakan peran inkarnasi dan penebusan serta prinsip penyatuan dan koherensi Allah dengan ciptaan, yang terakhir menyatakan prinsip penyempurnaan, pemeliharaan dan kontinuitas penciptaan (creatio continua). Secara kosmogoni, dipahami bahwa keduanya memediasi lahirnya ciptaan.[39]
Berdasarkan akar katanya, panentheisme muncul dalam lingkungan filsafat agama, tahun 1928. Pertama kali ide ini digagas oleh Karl Friedrich Christian Krause, untuk mendamaikan perdebatan antara konsep theisme dan pantheisme (termasuk atheisme, bandingkan dengan gambar 1 di atas). Sebagai pemikir Hegelian dan guru dari Shcopenhauer, Krause mengonstruksi ide ini, yang memang telah tertanam dalam bentuknya yang klasik di berbagai tradisi filosofis dan agama. Konstruksi ini menjadikan panentheisme sebagai sistem kepercayaan yang sekaligus mengharmonisasi transendensi (Latin: Transcendere: Memanjat ke seberang/melampaui keterbatasan realitas kasat dan aktual/ realitas spiritual atau Ilahi) dan imanensi (Latin: Immanere: Tinggal di dalam: Tuhan tinggal di dalam realitas/struktur alam semesta) secara spasial dan spiritual.
Penentheisme sendiri, dipahami dalam lima faktor, ETCKW yang menunjukan hubungan Allah dengan dunia, (Eternal-in some, Temporal-in some, Conscious/self-aware, Knowledge, World-inclusive). Menurut murid Whitehead, Horstorne, huruf E dan T menentukan aspek perubahan atau ketidakperubahan dari dunia. C dan K, menunjuk pada Allah yang sadar dan maha mengetahui (omniscient) setiap ciptaan. Sedangkan W, menunjukkan aspek ke-segala-an dari dunia.
Dalam konsep postmodern, tampaknya panentheisme adalah salah satu jalan alternatif. Juga karena secara kebetulan, saya menemukan pengaruh kuat konsep postmodern tersebut pada ide sakramental, maka panentheisme memberi penegasan kuat bahwa sebetulnya tidak ada yang dinamakan sekularisasi atau sekularisme yang mampu membunuh pengaruh dan eksistensi agama besar dan agama suku dalam perannya di dunia-kehidupan. Itu berarti, keraguan akan tergerusnya dimensi sakramental alam, melalui panentheisme, justru keraguan itu adalah anihilasi. Menurut Harvey Cox, yang dikutip oleh Tom Jacobs, tampaknya tidak akan ada sekularisasi yang kuat atas agama, sebaliknya justru pada masa kini, adalah masa kebangkitan agama dan kedatangan kembali dunia sakral.[40] Dunia inilah yang ditawarkan lebih tegas oleh panentheisme. Tawaran ini, kemudian dapat disambut baik oleh seantero kalangan agama besar atau agama suku, untuk dengan kuat memikirkan eksistensi religius berhadapan dengan fakta kerusakan lingkungan. Panentheisme dan sumbangan postmodern, dengan kata lain, merevitalisasi peran agama untuk merekonstruksi pandangan integral dan kesakralan di berbagai bidang kehidupan. Orang ditarik kembali dan ditawarkan ulang gagasan-gagasan konkret dari mitologi, legenda, ritus, dan realitas “pra-modern” sebagai kekuatan mendasar berhadapan dengan kerusakan lingkungan.
Jadi, melalui panentheisme, gagasan sakramental yang telah ditawarkan dalam kekristenan pada khususnya dapat mengambil peran untuk menimba semua perangkat etika. Diantaranya, yang sudah dilakukan Hart. Ia meradikalisasi argumen spasilitas (kemaha-hadiran) dalam tekanan transendensi-imanensi Allah tidak pada satu tempat spesifik, melainkan seluruh tempat. Allah mampu hadir pada segala yang ada, dalam Roh. Hal ini menunjukkan spasialitas bahwa sakramental adalah sebuah realitas sakral yang melingkupi kosmos dan bumi, tanda dari kehadiran Allah di dalam segala hal dan segala entitas. Perasaan moral dari yang sakral adalah kekuatan etika, yang bersifat kultural, sosial dan ekologi. Ruang, dalam arti dimana Allah berdiam di dalam entitas alam, dari segala benda dan makhluk, mewahyukan diri-Nya. Kehadiran Allah secara panentheis, tentu bukan seperti yang dimaksud secara terbatas hanya dalam kuasa, tetapi kehadiran esensial Allah. Kehadiran Allah menunjukkan relasi spesifik dengan ciptaan dan ruang dimana Ia hadiri, sekaligus melampaui segala tempat.
Teolog/filsuf raksasa abad pertengahan, Augustinus, seperti dikutip Herman Bavinck, menuturkan bahwa Allah hadir dengan seluruh keberadaan-Nya di semua tempat, di dalam ciptaan. Karena alasan seluruh keberadaan inilah, maka ia seligus melampaui dan sekaligus tidak dapat menampung diri-Nya (bnd. Yes.66:1, teks ini menunjukkan kritik nabi yang mewakili kebencian Allah pada kekejian [idolatri] dan ketidakadilan di sekitar penyembahan tersentralisasi, nubuat tentang bait Allah. Allah memintah reformasi diri/pertobatan. Jadi tidak bisa ditafsir literer untuk menolak panentheisme, seolah-olah Allah berada di luar ciptaan-Nya dan jauh di atas sana). Ide tentang tempat spesifik sebagai satu-satunya tempat sakral seperti di gereja, atau tempat khusus dengan demikian tidak dapat diterima. Konsekuensi kehadiran itulah, maka kita dapat mengembangkan pikiran tentang bagaimana relasi Allah dengan ciptaan menimbulkan hal etis, sosial, kultural, bahkan ekonomis dalam peran manusia yang memaknai kehadiran itu.
Peran sosial antar manusia dan makna sosial manusia diberi bobot dari relasinya dengan benda-benda kasat mata di alam, sebagai sebentuk “aktor” jaringan. Sebaliknya, benda-benda dalam jaringan itu, juga merupakan aktor atau agen sosial dalam membentuk makna sosial lebih kaya bagi manusia, tentang bagaimana kehidupan harus dibangun. Relasi interdependensi antara manusia dan benda-benda dalam arti keselurahan, tiba pada apa yang dapat kita pegang sebagai postsocial relationship,sebuah relasi sosial-ekologis yang menolak pemusatan hal-hal sosial hanya pada manusia (sosiolitas antroposentrik), sebaliknya hal-hal sosial yang dapat dimaknai apabila manusia hanyalah satu aktor sosial dalam jaringan besar alam semesta (benda-benda), di dalam region lokal yang lebih sempit, seperti batu, kayu, air, udara, dan seterusnya.Tidak salah, apabila panentheisme itu sendiri bersifat “jaringanisasi” (web/networkization). Dalam panentheisme, aspek kesakralan adalah titik tolak relasi jejaring sosial antara sesama manusia dengan ciptaan lainnya, karena dalam kesakralan, makhluk non-manusia dan benda-benda dipahami memiliki tindakan (actant). Benda-benda alami yang hidup maupun tidak, artefak, momen-momen, mendapat tempat dimaknai secara subyektif dan individu yang bernilai intrinsik dan instrumental.
Penempatan kembali status personalitas alam atau benda-benda terjadi dalam relasi kesakralan di dalam tiap entitas makhluk dan benda-benda. Tempat itu diberikan kembali, sejak sekularisasi dan materialisasi rasa kesakralan adipersonal, atau keberdiaman “pribadi” pada tiap entitas hendak dihapus dalam pandangan modern.
Ide panentheisme yang demikian, juga menolak pemusatan relasi sosial hanya pada antarmanusia. Itu artinya, panentheisme merumuskan ulang sosiologi, menjadi sosio-ekologi, dan mengangkat pandangan decentering (ketidakpemusatan) pada antroposentrisme, untuk menjadikan peminggiran-peminggiran sosial antar manusia dan peminggiran ekologis oleh manusia terhadap alam sebagai pusat-pusat dalam hal menimba makna kehidupan. Decenteringjuga tidak sekadar meminati yang terpinggirkan, atau menjadikan pinggiran sebagai pusat, tetapi juga decentringitu dapat menjadi en–centering,untuk melihat makna pewahyuan diri Allah dari dalam entitas benda-benda materi (abiotik) dan makhluk-makhluk hidup (biotik), atau fenomena. Tidak salah jika dalam jaringan, semua unsur sosial dan ekologis diintegrasikan di dalam proses jaringan, termasuk Allah. Dengan menerima panentheisme yang kelihatannya mengangkat ide-ide personalitas segala sesuatu untuk meminati “pinggiran” dan “arah dalam/pusat” suatu benda-benda tadi dan realitas tertentu, kita sebetulnya sedang memberi diri diwahyukan oleh Allah melalui alam dan benda-benda (biotik dan abiotik), atau oleh realitas keterpinggiran sosial, bahwa Allah mampu berada dan mewahyukan diri dari dalam realitas-realitas itu (yang ngotot bahwa ini gagasan sekuler, cobalah ia membaca dan bandingkan penyataan umum Calvin, Intitutio, bab V. Apakah Calvin tidak menafsirkan Alkitab untuk membangun gagasan yang alkitabiah?).
Dengan melihat realitas kemiskinan dan kerusakan lingkungan, kita sedang mengalami Yang Suci, di situ kita terperangah disentuh dengan ketakjuban dan ketakutan, untuk tiba pada refleksi moral kita, bagaimana sebaiknya bertindak. Sesuatu yang terselubung dibukakan bagi kita untuk memperlakukan rumah tinggal bersama (oikos) dengan merefleksikan implikasi Allah dalam ciptaan-Nya. Kita dapat melihat rasa sakramental dari panentheisme ini dalam, misalnya, kisah Musa yang hendak menginjakan kaki di atas wilayah sakral, tanah yang mana dikatakan suci, karena Allah ada di situ. Dalam sudut pandang panentheisme dan jaringan ini, Musa menjumpai (teofani) Allah di tengah-tengah hamparan ekosistem wilayah gunung Horeb (Kel.3:1-5). Itu sebabnya, dalam hubungan antara Musa, tanah, semak-semak di gunung dan Allah, menghendaki Musa untuk menanggalkan kasutnya. Tanah memberi actantkepada Musa, lantaran Allah ada di situ, melingkupi tanah dan wilayah itu. Itulah momen yang dapat dimaknai secara sakramental atau panentheistik.
Menempatkan GMIT dalam Panentheisme
Dengan gagasan panentheisme ini, barangkali bisa ditawarkan untuk GMIT. Titik tawar menawar ide panentheisme sebagai karakter dasar ekoteologi sakramental, adalah bahwa rekonstruksi ekoteologinya tidak bisa lain, selain mengutarakan bahwa cara membangun ekoteologi hanya dapat dimulai dengan menempatkan panentheisme sebagai presuposisi dasar konstruksinya. Artinya, ia menerimanya sebagai pondasi awal memikirkan bahwa Allah itu transenden-imanen. Yang transenden diwahyukan secara imanen. Sebaliknya, yang Imanen mentrasendensikan hal-hal yang kelihatannya tidak bertransendensi (mengingat hari ini, banyak wawasan dunia yang justru me-reifikasi: membendawikan sama sekali fakta-fakta bendawi semata alam sama sekali lepas dari aspek relasi sakralnya dengan Allah Tritunggal. Contohnya, materialisme atheis).
Dengan transenden-imanen ini, kita dapat memahami, seperti pernyataan kristologis sakramental-panentheistik Paulus, “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (image of the invisible God: imago dei invisibilis)…karena di dalam Dia telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan (for by him were all things created, that are in heaven, and that are in earth, visible and invisible: )…Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia (And he is before all things, and by him all things consist.)” (Kol. 1:15-17). Menurut John Calvin, dalam laman tafsirnya, Commentary of Philippians, Collosians and Thessalonians, ketiga teks ini bersifat pewahyuan dengan mediasi Kristologis, jika dihubungkan dengan Yoh.1:18, “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” (TB). Kristus membuat Allah terlihat oleh kita, ciptaan-Nya (imanen), meskipun Kristus bukan ciptaan (karena Dia adalah model penciptaan), tetapi secara esensi Kristus adalah firman Allah yang esensial. Artinya, dalam Kristus, panentheisme tampak sangat jelas, dalam rupa transenden-imanen. Serta di dalam Dia, semua ciptaan mendapat tempat di dalam Allah. Di dalam Kristuslah, tampak hikmat Allah tentang penciptaan dan penebusan (bnd.I Kor.2:7-8). Di dalam Dia, tulis Calvin, tampak segala keagungannya yang tidak terlihat (naked majesty, is invisible) kebaikan, kebenaran, kebijaksanaan, kekuatan, seluruh diri-Nya.[41] Meskipun tafsiran Calvin tidak berpresaposisi panentheis – karena ia katakan, “kita harus berhati-hati mencari Dia di tempat lain (alam/benda-benda faktual), karena segala seuatu (pan)yang akan menjadi representasi Allah, selain Kristus akan menjadi berhala” – tetapi peringatannya adalah peringatan panentheistik, yang membuat panentheisme harus berhati-hati dengan pantheisme.[42]
Dengan demikian telah menjelaskan bahwa Allah yang panentheis berarti Ia tidak sama dengan semua konstruksi theisme modern, atau theisme yang dikonsepkan secara kolonial (pietis abad 17-19), bahwa Allah berada di suatu tempat yang jauh di atas sana; Allah juga tidak melarikan diri pasca-penciptaan, sebagaimana Deisme; tidak menyatu, menjadi dan tidak melebur dengan alam/realitas benda-benda material sebagaimana pantheisme atau pandeisme (Tuhan adalah semuanya dan semuanya adalah tuhan: kombinasi deisme dan pantheisme); sekaligus tidak sama sekali menolak bahwa Allah tidak pernah ada di dalam segala ciptaan, sebagaimana materialis-atheisme. Sebaliknya, panentheisme meyakini dengan jelas, bahwa kesaksian Alkitab, merupakan kesaksian yang panentheistik mengenai satu wawasan dunia alternatif, yang bersifat integral, bahwa Allah menciptakan dunia. Setelah menciptakan, Ia berada di dalamnya dalam Roh Kudus dengan distingsi kualitatif (pribadi Allah bisa dibedakan dari ciptaan-Nya) dan segala yang diciptakan berada di dalam Allah melalui Kristus. Allah memiliki relasi internal, sebagai relasi primordial dengan ciptaan-Nya, sebagaimana yang berusaha digambarkan dalam pandangan teolog proses, D.Griffin, dan teman-temannya.[43]
Allah dalam pandangan panentheisme Kristen, seperti ini, maka Ia tidak antroposentris; tidak androsentris, atau male-cetered,lantaran Ia tidak mewahyukan diri dengan sifat yang lebih dari satu gender (perhatikan sumbangan positif teologi feminis); Allah tidak semata-mata digambarkan sebagai pendisiplin (cosmic moralist) atau pengendali segala sesuatu atau determinator absolut, lantaran Ia adalah pengasih dan adil; tidak berpihak pada status quo,sehingga tidak dapat berubah / atau tidak fleksibel (yang dimaksud bukan pembebas) untuk mendatangkan nilai-nilai perubahan, sebaliknya Ia dapat mendatangkan perubahan (pembebasan) pada status quo. Allah seperti inilah, yang relasinya memberi konsekuensi ekologis dan emansipatoris bagi manusia dengan alam lingkungan. Juga memberi orientasi tentang bagaimana kekristenan mengonstruksi hubungannya dengan semua eksistensi agama-agama lain, sebagai intereksistensi dan koeksistensi. Seluruh realitas panentheistik menawarkan relasi yang berciri kreasiosentris, teosentris, tetapi juga kosmosentris, memandang bahwa relasi itu sendiri adalah saling bergantung secara sakral untuk kehidupan, karenanya relasi itu adalah sakramental (sacred interconectedness of life).
Dalam gambaran Hart, panentheisme tidak saja mempolarisasi alam sebagai ciptaan yang keluar dari Allah (bnd.Kol. 1:15-18), dipelihara dengan kasih dan Allah berdiam di dalamnya sebagai tanda (sign). Lebih dari itu, alam mewahyukan Allah kepada manusia, dan manusia mewahyukan gambaran Allah pada sesamanya. Alam adalah sakramen. Hal ini sejajar dengan makna Calvin, yang melihat alam sebagai panggung teatrikal (theatrum/magnificient theater) Allah di dunia ciptaan-Nya, atau penyataan umum.[44] Itu sebabnya, semua benda-benda itu dilihat secara utuh, adanya transendensi dan imanensi Allah; benda-benda adalah fakta biologis, estetis, moral, materi dan supranatural. Alam direfleksikan sebagai subyek mediasi pewahyuan. Air, tanah dan udara, dan semua benda hidup atau komunitas kehidupan di dalam alam yang universal (sacramental universe), dihayati dalam ruang regional-lokal (sacramental commons-bioregional).
Segala entitas aktual ciptaan memiliki relasi kekerabatan (kinship) antar mereka dan dengan manusia membentuk dan mengalami momen-momen sakramental dengan Allah. Kekerabatan ini adalah kekerabatan intekoneksi universal, sekaligus regional. Manusia dari satu konteks regional menghayati Allah pada konteksnya adalah Allah yang sama, yang secara universal menciptakan alam raya. Jika kesadaran relasional Hart, yang dihasilkan dari kesadaran sakramental, dan karenanya juga merupakan kesadaran panentheis, maka kesadaran itu tidak akan memboyong relasi dan refleksi manusia dengan alam kepada Tuhan mengarah “ke atas” atau “ke bawah”, atau “ke tengah-tengah bumi” semata. Melainkan, diboyong “ke arah dalam”, bahkan “ke arah pinggiran”, ke arah keutuhan ciptaan; sehingga relasi dan refleksi itu meluap secara integratif ke arah tengah-tengah Bumi dengan realitas krisis dimana Allah perlu dijumpai.
Penutup
Akhirnya, saya menawarkan bahwa ekoteologi mesti dipresaposisikan melalui panentheisme bagi kita adalah panentheisme-Trinitarian, dari model sakramental. Wawasan dunia panentheisme kalau demikian, adalah wawasan dunia sakramental.Wawasan ini memandang, secara omnia, bumi adalah sakramen penciptaan. Alam lingkungan secara utuh di mana Allah ada secara transenden sekaligus imanen, diciptakan dalam mediasi Kristus dan hadir dalam/di antara – dalam rupa Roh, adalah sebuah sakramen (misteri, pewahyuan). Dengan menghayati wawasan dunia ini, kita mampu menjawab pertanyaan Larry Rasmussen di atas, “bagaimana perasaan moral yang sakral berperan sebagai cara hidup? Jika bumi adalah sakramen, bagaimana kita akan memperlakukannya?”. Melalui wawasan dunia panentheis ini, kita dapat memikirkan kembali kebudayaan kita dan perasaan imperatif moral yang sadar bahwa Allah berhembus di antara dan berada di dalam alam. Ia, Allah Tritunggal masih bekerja sampai sekarang (bnd.Yoh.5:17) dalam menciptakan, memulihkan dan menyelamatkan. Mestinya, itu semua adalah ajakan pemulihan dan antisipasi bagi bahaya kerusakan berkelanjutan lingkungan hidup, terutama kerusakan relasi manusia dengan segala ciptaan Allah.
Rujukan
Awang, Nirwasui Arsita, Yusak B. Setyawan, dan Ebenhaizer L. Nuban Timo. “Ekoteologi Fungsi Hutan Oenaek: Penyimpangan Paradigma Ekologis Menuju Perilaku Eksploitatif.” GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual Dan Filsafat Keilahian 4, no. 2 (16 Oktober 2019): 135–54. https://doi.org/10.21460/gema.2019.42.423.
Boersma, Hans, dan Matthew Levering, ed. The Oxford Handbook of Sacramental Theology. First edition. Oxford, United Kingdom ; New York, NY: Oxford University Press, 2015.
Budi Susanto, A., ed. Teologi & praksis komunitas post modern. Cet. 1. Pustaka teologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.
Calvin, Jean, John T McNeill, dan Ford Lewis Battles. Institutes of the Christian Religion / Ed. by John T. McNeill: Transl. and Indexed by Ford Lewis Battles ; in Collaboration with the Editor and a Committee of Advisers. Louisville, Ky.: Westminster John Knox Press.
Calvin, John. Commentary on Philippians, Colossians, and Thessalonians – Enhanced Version. 1.1 édition. Christian Classics Ethereal Library, 2009.
Cannon, Justin. “Toward a Christian Theology of Creation,” 2014, 18.
Deane-Drummond, Celia. Eco-Theology. Winona, Minnesota: Anselm Academic, 2008.
Griffin, David Ray, ed. Sacred interconnections: postmodern spirituality, political economy, and art. SUNY series in constructive postmodern thought. Albany: State University of New York Press, 1990.
Gunton, Colin E. The Triune Creator: A Historical and Systematic Study. Edinburgh Studies in Contructive Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998.
Hart, John. Sacramental Commons: Christian Ecological Ethics. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2006.
Hoffecker, W. Andrew, ed. Revolusi-Revolusi dalam Wawasan Dunia: Memahami Arus Pemikiran Barat. Surabaya: Momentum, 2015.
Martasudjita, Emanuel. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjuan Teol, Liturgis, Past. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
McFarland, Ian A., ed. The Cambridge dictionary of Christian theology. Cambridge ; New York: Cambridge University Press, 2011.
McGann, Mary E. “Water as a Sacramental Commons.” Dalam Healthy Waters, 1–5. Graduate Theological Union in Berkeley, 2013.
McGrath, Alister E. Christian Theology: An Introduction. 6 edition. Chichester, West Sussex ; Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2016.
Morrill, Bruce T. Sacramental Theology: Theory and Practice from Multiple Perspectives, 2019. https://www.doabooks.org/doab?func=fulltext&uiLanguage=en&rid=42647.
Naugle, David K. Wawasan Dunia: Sejarah Sebuah Konsep. Surabaya: Momentum, 2010.
O’Brien, Kevin J. An Ethics of Biodiversity: Christianity, Ecology, and the Variety of Life. Washington, D.C: Georgetown University Press, 2010.
OFM, Kenan B. Osborne. Christian Sacraments in a Postmodern World: A Theology for the Third Millennium. Paulist PressTM, 2014.
Rasmussen, Larry L. Earth-Honoring Faith: Religious Ethics in a New Key. 1 edition. New York: Oxford University Press, 2012.
Scharper, Stephen B, dan Simon Appolloni. For Earth’s Sake: Toward a Compassionate Ecology, 2013. https://www.overdrive.com/search?q=D353DCEB-7531-4E5B-BDF5-68FF65FDB615.
Wink, Walter. The Powers That Be: Theology for a New Millennium. New York: Harmony, 1999.
[1] Larry L. Rasmussen, Earth-Honoring Faith: Religious Ethics in a New Key, 1 edition (New York: Oxford University Press, 2012).
[2] Geisler sendiri tidak menyertakan perkembangan terbaru dari varian yang terdapat dalam ketiga wawasan dunia tersebut. Misalnya, dalam atheisme terdapat atheisme spiritual yang bertumbuh di Perancis.
[3] Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (Winona, Minnesota: Anselm Academic, 2008); Stephen B Scharper dan Simon Appolloni, For Earth’s Sake: Toward a Compassionate Ecology, 2013, https://www.overdrive.com/search?q=D353DCEB-7531-4E5B-BDF5-68FF65FDB615.
[4] Ian A. McFarland, ed., The Cambridge Dictionary of Christian theology (Cambridge ; New York: Cambridge University Press, 2011), 452.
[5] Bruce T Morrill, Sacramental Theology: Theory and Practice from Multiple Perspectives, 2019, https://www.doabooks.org/doab?func=fulltext&uiLanguage=en&rid=42647, ix.
[6] Nirwasui Arsita Awang, Yusak B. Setyawan, dan Ebenhaizer L. Nuban Timo, “Ekoteologi Fungsi Hutan Oenaek: Penyimpangan Paradigma Ekologis Menuju Perilaku Eksploitatif,” GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual Dan Filsafat Keilahian 4, no. 2 (16 Oktober 2019): 135–54, https://doi.org/10.21460/gema.2019.42.423.
[7] Hans Boersma dan Matthew Levering, ed., The Oxford Handbook of Sacramental Theology, First edition (Oxford, United Kingdom ; New York, NY: Oxford University Press, 2015). Perhatikan pembahasan teologi sakramen dalam beberapa periode: Akar sakramental dalam Alkitab (PL, PB, Torah), zaman patristik, abad pertengahan, reformasi abad 16 dan pasca reformasi (dari tradisi Anglikan, Katolik, orthodox, Protestan), sampai abad 20. Juga dibahas mengenai pendekatan dogmatis dan dan filosofis.
[8] Martha L. Moore-Keish, “Twentieth-Century and Contemporary Protestant Sacramental Theology”, dalam Hans Boersma Dan Matthew Levering, Ed., The Oxford Handbook Of Sacramental Theology, First Edition (Oxford, United Kingdom ; New York, Ny: Oxford University Press, 2015), 521-522.
[9] Martha L. Moore-Keish, “Twentieth-Century and Contemporary Protestant Sacramental Theology”, dalam Boersma dan Levering.
[10] O’Brien, An Ethics of Biodiversity,59.
[11] McFarland, The Cambridge dictionary of Christian theology.
[12] McFarland, 453. Perlu dicatat bahwa, dalam wawasan dunia Orthodox, sangat berbeda dengan tradisi gereja Barat dalam cara memahami dunia dan sakramentalisme. Barat memahami hal itu dengan cara berteologi yang menekankan aspek intelektualnya. Sedangkan Orthodox lebih mengutamakan aspek pengalaman bergereja dan penyembahan dalam memahami sakramentalisme. Karenanya, pendekatan Orthodox pada agama, sakramen dan dunia adalah pendekatan liturgis. Misteri Allah dialami dalam sebuah perayaan dan penyembahan. David K. Naugle, Wawasan Dunia: Sejarah Sebuah Konsep (Surabaya: Momentum, 2010), 53-54.
[13] McFarland, 452.
[14] McFarland.
[15] Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction, 6 edition (Chichester, West Sussex ; Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2010), 15, 30. Ontoteologi membangun imajinasi mengenai Allah yang beratribut moral yang melampaui kemewaktuan, tidak berubah, superlatif dalam berbagai kebajikan, maha tahu, maha berdaulat, sumber surplus maknawi dan berbagai kualitas-kualitas metaontologis lain yang dilekatkan pada Tuhan. Karenanya, ontoteologi selalu membahas pengetahuan tentang Allah yang ultimet. Menurut Alister McGrath kebutuhan percakapan ontoteologi dalam percakapan mengenai Allah dalam iman Kristen lahir dari situasi zaman pada masa gereja perdana berkembang dan bertumbuh sehingga diperlukan bahasa dan formulasi yang terpahami oleh orang-orang di zaman itu.
[16] Morrill, Sacramental Theology,2-5.
[17] McFarland, The Cambridge dictionary of Christian theology.
[18] McFarland, 452-454.
[19] McFarland, 453.
[20] Emanuel Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjuan Teologi, Liturgis, Past (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 61-64.
[21] Martasudjita, 63-73.
[22] Mary E. McGann, “Water as a Sacramental Commons,” dalam Healthy Waters (Sacred Heart Spirituality Forum, Graduate Theological Union in Berkeley, 2013), 1–5; Kenan B. Osborne OFM, Christian Sacraments in a Postmodern World: A Theology for the Third Millennium (Paulist PressTM, 2014), 74.
[23] Larry L. Rasmussen, Earth-Honoring Faith: Religious Ethics in a New Key, 1 edition (New York: Oxford University Press, 2012), 258.
[24] Hart, Sacramental Commons,xiv-xvi.
[25] Hart, xiii.
[26] Hart.
[27] Hart, Sacramental Commons,xiv.
[28] Hart, xiv.
[29] Hart, 18-20.
[30] Sebagaimana cikal bakal kritik dari Edmund Husserl tentang fenomenologi. Husserl mengeritik kedua konsep Kant tersebut.
[31] Naugle, Wawasan Dunia: Sejarah Sebuah Konsep,68-69.
[32] W. Andrew Hoffecker, ed., prakata, Revolusi-Revolusi dalam Wawasan Dunia: Memahami Arus Pemikiran Barat (Surabaya: Momentum, 2015), xv.
[33] John Hart, Sacramental Commons: Christian Ecological Ethics (Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2006), 34.
[34] McFarland, The Cambridge Dictionary of Christian Theology,135.
[35] Empat yang lain, ancient worldview [realitas surgawi dan duniawi selalu berpasangan, tetapi juga selalu berkonflik], spiritualist [realitas surgawi mentrasendensi realitas duniawi], materialist [kebalikan dari spiritualis, duniawi/materi melampuai surgawi], theological worldview[realitas surgawi atau spiritual dan material tidak diketahui secara utuh, kecuali diserahkan pada sains modern, namun mempertahankan realitas spiritual/surgawi dari berbagai sanggahan. Ada distingsi dan pertentangan antara yang spiritual dan material].Walter Wink, The Powers That Be: Theology For A New Millennium (New York: Harmony, 1999), 15-19.
[36] Walter Wink, 20; Justin Cannon, “Toward a Christian Theology of Creation,” 2014, 18;
[37] Wink, The Powers That Be,19.
[38] Colin E. Gunton, The Triune Creator: A Historical and Systematic Study, Edinburgh Studies in Contructive Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 9, 54, 166-168.
[39] Gunton, 143.
[40] A. Budi Susanto, ed., Teologi & Praksis Komunitas Postmodern, Cet. 1, Pustaka teologi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), 28.
[41] John Calvin, Commentary on Philippians, Colossians, and Thessalonians – Enhanced Version, 1.1 édition (Christian Classics Ethereal Library, 2009), kindle, 129-131.
[42] Calvin, 130.
[43] David Ray Griffin, ed., Sacred Interconnections: Postmodern Spirituality, Political Economy, and Art, SUNY series in constructive postmodern thought (Albany: State University of New York Press, 1990), 4.
[44] Jean Calvin, Institutes of the Christian Religion / Ed. by John T. McNeill: Transl. and Indexed by Ford Lewis Battles ; in Collaboration with the Editor and a Committee of Advisers. (Louisville, Ky.: Westminster John Knox Press), 341.