KUPANG,www.sinodegmit.or.id, Dalam rangka meningkatkan kesadaran pelestarian ekosistem laut dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya kelautan bagi kesejahteraan masyarakat, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, mengajak Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan komunitas agama lainnya untuk bekerja sama.
Hal ini disampaikan Viktor saat menyampaikan materi dalam webinar yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Jakarta pekan lalu di Kantor Gubernur NTT.
“Bicara tentang laut berarti bicara tentang sebuah kehidupan yang berkelanjutan. Bagaimana laut terjaga, bagaimana ekonominya, bagaimana lingkungannya dan bagaimana manusianya. Harus ada desainnya. Dan pembangunan NTT sedang menuju ke situ. Contoh, rumput laut. Jenisnya apa, produktifitasnya berapa, apa hambatannya, dan seterusnya… Rumput laut (seaweed) NTT adalah salah satu yang terbaik di dunia. Seaweed kita ini dicampur dengan seaweed dari daerah lain lalu diimpor kemana-mana tanpa ada nama NTT. Karena itu sebagai gubernur saya mendorong pabrik rumput laut di NTT… Dan karena itu gereja harus berkolaborasi dengan pemerintah di situ. Dalam semangat kolaborasi itu gereja secara kelembagaan ikut serta bersama pemerintah mengembangkan produk-produk lanjutan dari rumput laut. Jadi teologi laut dari gereja harus mampu meningkatkan kualitas keberlanjutan dari sumber daya laut itu sendiri,” jelas Viktor.
Selain Gubernur NTT, webinar yang bertema “Pelayanan di daerah kelautan dan kepulauan: Kekayaan dan Tantangan” ini juga menghadirkan dua pembicara lain, yakni Ketua MS GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon, Pdt. Dr. Binsar Pakpahan, Ph.D., serta Pdt. Delsi Oematan dan Pdt. Jeny Misa yang berbagi pengalaman tentang upaya pengembangan ekonomi jemaat pesisir.
Dalam materinya Pdt. Mery Kolimon mengakui bahwa teologi gereja sejauh ini masih bersifat antroposentris. Artinya, lebih dominan berbicara mengenai persekutuan orang-orang percaya (ekklesia). Sementara laut yang meliputi 3/4 luas bumi, yang menyediakan makanan dan memberi kontribusi 50% oksigen bagi kehidupan seluruh makhluk di bumi justru dibelakangi.
Wajah teologi yang memunggungi (membelakangi) laut tampak dalam kutipan kalimat lagu pop rohani seperti, “Jauh ke dalam tubir laut, Kau melemparkan dosaku”, atau pada lagu Sekolah Minggu “Tuhan angkat dosaku dan buang ke laut”.
Apakah pandangan bahwa laut menjadi tempat membuang dosa itu pada gilirannya ikut mendorong perilaku manusia membuang sampah/limbah ke laut? Bisa jadi, karena itu diperlukan sebuah dekonstruksi teologi yang lebih bersahabat dengan laut. Namun terlepas dari hal itu, menurut Pdt. Mery, alkitab tidak hanya berbicara tentang laut sebagai tempat kuasa-kuasa jahat/lewiatan (Yes. 27; Maz. 74) tetapi juga, dalam Maz. 104 ada narasi yang berbeda tentang lewiatan. Di teks ini lewiatan bukan lagi menjadi ancaman melainkan sebagai sahabat bagi sesama ciptaan yang lain.
Lebih lanjut Pdt Mery mengatakan bahwa laut mengajarkan beberapa nilai:
Pertama, Laut menggambarkan relasi yang tidak stagnan melainkan terus bergerak.
Kedua, Laut menyadarkan manusia tentang keterbatasan. Laut memancarkan ketakjuban sekaligus kegentaran (Mysterium tremendum et fascinosum).
Ketiga,laut melambangkan kedalaman. Kedalaman adalah nilai penting bagi spiritualitas.
Mengingat pentingnya laut bagi keberlanjutan hidup manusia di bumi khususnya di NTT maka ditegaskan pendeta Mery, diperlukan komitmen bersama seluruh komponen masyarakat, pemerintah dan agama-agama untuk melestarikan laut.
Terkait ajakan pemerintah provinsi agar gereja ikut mendukung program-program pemberdayaan masyarakat pesisir, Pdt. Mery mengatakan saat ini GMIT telah siap secara struktur untuk bekerja sama.
“Kami sudah mengindentifikasi potensi-potensi yang ada di jemaat-jemaat. Secara struktur kami sudah siap untuk kerja sama dengan pemerintah di berbagai sektor termasuk di sektor perikanan dan kelautan.”
Sementara itu Pdt. Binsar Pakpahan yang berbicara tentang teologi publik menjelaskan bahwa sebagaimana di Indonesia, wilayah di mana Perjanjian Baru ditulis juga merupakan wilayah perairan. Bahkan beberapa murid Yesus adalah nelayan.
Dalam konteks masyarakat kepulauan seperti di Indonesia, kata Pdt. Binsar, ada beberapa tantangan yang perlu disikapi yakni:
Satu, Teknologi informasi. Selain dampak positif, salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi adalah kecenderungan lebih mencintai produk luar ketimbang sumber daya yang dimiliki di daerah sendiri.
Dua, Hambatan Transportasi.
Tiga, Kerusakan alam, khususnya laut. Orang merusak laut padahal laut memberi makan.
Empat, Masalah perundang-undangan. Dalam UU Cipta Kerja misalnya, tidak ada perbedaan definisi nelayan kecil dan besar. Dengan keterbatasan sumber daya dan modal yang cukup, para nelayan di NTT bisa jadi hanya menjadi anak buah bahkan penonton/tamu di daerahnya sendiri.
“Jadi hal-hal ini perlu diperhatikan agar teman-teman di NTT tidak menjadi anak buah atau menjadi tamu di tanah sendiri. Ini yang perlu diperlihatkan dalam teologi publik, oleh sebab tujuan dari teologi publik adalah mencapai kebaikan bersama,” jelas Pdt. Binsar.
Webinar yang dimoderatori oleh Pdt. Benyamin Naralulu ini diakhiri dengan ucapan terima kasih dari Ketua Ikatan Alumni STFT Jakarta Pdt. Jaky Latuperisa kepada para narasumber dan seluruh peserta.
Ia berharap melalui webinar ini terbangun sinergitas antara pemerintah dan gereja melalui program-program di sektor kelautan yang dapat memberdayakan masyarakat. ***