Mendengarkan Kehendak Tuhan Dalam Doa (Markus 14:32-42)

www.sinodegmit.or.id, Keinginan manusia untuk lepas dari kuasa dan kendali Allah dan menentukan sendiri jalan hidupnya sudah berlangsung sejak awal. Narasi tentang kisah Adam dan Hawa memperlihatkan bahwa sejak awal manusia dengan sadar mengabaikan ketetapan Allah dan ingin hidup seturut keinginannya sendiri. Anugerah kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia sebagai gambar-Nya, ternyata beresiko membuat manusia memilih jalannya sendiri dan abai terhadap kehendak Pencipta. Kebebasan itu membuat manusia malah menolak taat kepada Allah.

Di abad kedua puluh, penolakkan terhadap Allah demi kebebasan itu digaungkan dengan keras oleh pemikir Perancis Jean-Paul Sartre. Sartre menegaskan bahwa manusia ditakdirkan untuk bebas. Karena itu, manusia tak perlu mendengarkan apapun atau siapapun di luar dirinya. Manusialah yang bebas menentukan dan memutuskan pilihan-pilihan hidupnya. Tak ada ketetapan apa yang patut diikuti. Gagasan kebebasan itu terkristal dalam sebuah paham yang disebut eksistensialisme, yaitu suatu ajaran yang memandang manusia sebagai subjek yang bebas dan mampu menentukan dirinya sendiri. Ada dua jenis kebebasan ditekankan, yakni pertama, kebebasan positif: bebas untuk melakukan apapun yang dikehendaki diri sendiri, dan kedua, kebebasan negatif, yakni bebas dari pengaruh pihak luar atas diri. Eksistensialisme umumnya ateis, yakni menolak percaya kepada Allah, karena menganggap Allah menjadi penghalang kebebasan manusia. Kalau Allah ada, Ia menentukan dan mengintervensi diri manusia, sehingga manusia tidak lagi bebas. Benarkah demikian? Bacaan tadi memperlihatkan bahwa Yesus dengan sadar dan bebas menyerahkan diri kepada kehendak Bapa-Nya, tanpa paksaan apapun, dan justeru dengan itu, Ia menemukan kebebasan sejati, dan bahkan menjadi sang pembebas umat manusia dari cengkeraman kuasa dosa.

Penjelasan teks

Sebelum kisah sengsara dimulai (Ps.14), kebencian dan penolakkan terhadap Yesus sudah berlangsung (Ps.11). Tindakan Yesus yang mengusir para pedagang di Bait Allah, memancing reaksi tegas dari imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat, yang berniat melenyapkan Yesus. Konflik itu diperuncing dalam sebuah pertikaian dengan seluruh pimpinan Yahudi di Yerusalem. Pada gilirannya Yesus mengecam para lawan-Nya dan mengancam mereka melalui penghakiman. Yesus pun dipancing  untuk terlibat dalam masalah pajak kepada Kaisar Roma agar dimusuhi oleh kaum Herodian. Permusuhan ini menggiring Yesus pada jalan sengsara.

Drama sengsara itu masih dipersiapkan dengan beberapa cerita tersendiri. Yesus diurapi di Betania sebagai bagian dari antisipasi penguburan Yesus. Pada malam terakhir ketika Yesus mengadakan perjamuan perpisahan dengan murid-murid-Nya, Ia menubuatkan bahwa salah satu murid akan mengkhianati diri-Nya (Ps.14:17-21). Di jalan menuju Getsemani, Yesus masih menubuatkan penyangkalan diri-Nya oleh Petrus dan ketidaksetiaan  murid-murid lain. Dengan menyadari apa yang memang akan terjadi atas diri-Nya, Markus ingin memperlihatkan bahwa Yesus sekali-kali tidak disergap oleh nasib malang-Nya. Ia tahu dan dalam kebebasan-Nya Ia menyetujui sebelumnya atas apapun yang hendak terjadi.

Dengan peristiwa di taman Getsemani mulailah kisah sengsara yang sebenarnya. Diawali dengan adegan tentang Yesus yang bergumul dan berdoa, nada adegan itu muram sekali. Diperlihatkan bagaimana Yesus seorang diri menghadap nasib-Nya penuh kesabaran tetapi juga penuh ketaatan kepada Bapa, sementara murid-murid-Nya tertidur. Kesendirian Yesus dipertajam oleh catatan bahwa semua murid melarikan diri (Ps.15). Hanya tinggal musuh saja. Kisah ini juga membuktikan bahwa apa yang terjadi sesuai kehendak Allah; itu tidak terjadi akibat kesalahan Yesus atau keberhasilan rencana musuh (Ps.14:47-49). Semua ini memperlihatkan bahwa Yesus sedikit pun tidak dipaksa. Ia menyadari segala sesuatu yang akan menimpa diri-Nya, dan dalam kebebasan-Nya Ia memilih taat pada kehendak sang Bapa. Ia bergumul dan berdoa, bukan sebagai bentuk protes atau penolakkan, tetapi sebagai bentuk komunikasi sekaligus penyerahan diri kepada Allah.

Bacaan kita memperlihatkan bagaimana Tuhan Yesus bergumul serius dengan apa yang ada di depannya. Di antara seluruh peristiwa kesengsaraan Tuhan Yesus, momen di taman Getsemani ini sangat berat. Berat karena di sinilah Yesus betul-betul bergumul dengan penderitaan yang hendak dijalani. Beratnya pergumulan itu membuat Yesus mengungkapkan-Nya secara jujur: “hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” Markus mencatat bahwa Ia sangat takut dan gentar. Lukas mengatakan bahwa Ia sangat ketakutan, peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Luk.22:44). Gambaran ini memperlihatkan Yesus betul-betul atas pada tingkat ketakutan yang paling tinggi dan kesedihan yang paling dalam. Ini adalah sebuah perasaan menakutkan dan menyedihkan luar biasa bagi Yesus.

Pertanyaannya ketakutan dan kesedihan seperti apa yang dialami Yesus di Getsemani? Perlu dicatat bahwa ketakutan Yesus tidak sama dengan seorang terpidana mati yang hendak dieksekusi mati. Ia sedih bukan karena takut para murid akan meninggalkan-Nya. Kesedihan Yesus harus dipahami dalam kaitan dengan cawan yang harus Ia minum. Cawan pahit adalah lambang penderitaan. Dan itu lebih dari sekedar penderitaan jasmani. Secara jasmani memang Ia harus mengalami penderitaan berat di atas kayu salib, di mana tubuh-Nya hancur dan darah-Nya tercurah hingga mengalami kematian.

Tetapi terutama secara spiritual, cawan itu merupakan lambang penderitaan sebagai akibat murka Allah. Yesus yang tidak berdosa harus menanggung murka Allah. Murka Allah terjadi berarti Allah meninggalkan manusia, terpisah darinya. Maka betapa pedihnya hati Yesus, karena Ia membayangkan nasib-Nya di atas kayu salib: apakah sang Bapa masih akan menyertai-Nya? Di kemudian hari hal ini terbukti, di mana dari atas kayu salib, Yesus berseru: Eloi, Eloi, lama sabakhtani? Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Markus 15: 34).

 Tatkala Yesus memandang cawan pahit yang harus ia alami, hati-Nya sedih. Yesus bergumul karena nasib manusia dipertaruhkan. Ia mengasihi manusia, dan ingin merengkuhnya kembali, tetapi Ia harus menanggung sebuah penderitaan yang tiada taranya. Dalam situasi itu, Yesus berdoa. Isi doa Yesus terkesan sederhana: “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambil cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau Kehendaki”. Tiga kali Yesus berdoa dengan kata-kata yang sama, bukti bahwa Ia tidak bertele-tele.

Menarik untuk menyimak doa Yesus. Ada empat hal tersingkap dalam doa itu, sesuai masing-masing anak kalimat. Pertama, dalam anak kalimat “Ya Abba, ya Bapa”. Sapaan ini menunjukkan betapa dekat-Nya Yesus dengan sang Bapa. Ia adalah anak Allah, yang diutus ke dalam dunia oleh Bapa-Nya. Oleh karena itu, betapa pun Ia ada di dunia, Ia senantiasa ada dalam perasaan dekat dengan sang Bapa. Terbukti juga bahwa dalam pelayanan dan pergumulan-pergumulan-Nya, Yesus selalu datang kepada sang Bapa, berdoa dan memohon penyertaan. Sapaan “Ya Abba, Ya Bapa”, juga menunjukkan bahwa Yesus dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Ia mengakui otoritas tertinggi dalam hidup dan pelayanan-Nya, yaitu sang Bapa. Sapaan Yesus itu mengajarkan bahwa dalam bedoa, kita sedang menghadap sebuah otoritas yang maha tinggi, maha besar, maha mulia, yang kepada-Nya kita mesti tunduk. Namun otoritas itu, yaitu Allah, bukanlah pribadi yang jauh, tetapi sangat dekat kepada kita.

Kedua, dalam anak kalimat “tak ada yang mustahil bagi-Mu”. Dalam doa Yesus tersingkap sebuah pengakuan bahwa sang Bapa yang kepada-Nya Yesus berdoa, adalah maha kuasa, yang mampu melakukan apapun, melampaui apa yang bisa dibuat manusia. Allah adalah suatu pribadi yang perkasa, maha kuasa, ajaib, dan besar karya-Nya. Dalam doa-Nya Yesus mengakui kebesaran kuasa Ilahi itu. Doa Yesus mengajarkan bahwa ketika kita berdoa, kita sedang menghadap Allah Maha Kuasa yang sanggup menolong manusia dalam kesulitan dan pergumulan hidupnya, sesulit apapun.

Ketiga, dalam anak kalimat “ambil cawan ini dari pada-Ku”. Yesus sendiri meminta, agar kalau bisa, cawan penderitaan itu disingkirkan. Itu berarti doa boleh berisi segala jenis permintaan. Kebutuhan hidup, pegumulan, masa depan, pekerjaan, pasangan hidup, keturunan, kesembuhan, pemulihan, kekayaan, boleh dimintakan kepada Allah. Allah adalah Bapa yang terbuka untuk mendengar segala keluhan dan permohonan manusia. Namun pada akhirnya, doa bukanlah daftar kebutuhan hidup yang dipaksakan kepada Allah untuk dijawab. Itulah sebabnya Yesus melanjutkan doa-Nya sebagai berikut.

Keempat, dalam anak kalimat “tetapi janganlah apa Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau Kehendaki”. Dengan penutup seperti ini, doa sesungguhnya adalah sebuah sikap rela tunduk pada kehendak otoritas tertinggi. Yesus boleh meminta, namun Ia berserah dan pasrah kepada kehendak Bapa. Dengan kata lain, berdoa berarti siap mendengar kehendak Bapa dan taat kepada-Nya. Sebab Kehendak Bapa tentu yang terbaik sesuai rencana-Nya yang indah. Sikap doa Tuhan Yesus di taman Getsemani ini memperlihatkan doa pergumulan antara keinginan manusia dan kehendak Allah, antara keinginan ego dengan kehendak Allah, doa yang altruistis bukan egosentris. Dan Yesus mengajarkan tentang doa yang mendengar kehendak Allah, mengutamakan kepentingan Bapa, dan mengabaikan kepentingan diri.

Bacaan hari ini menunjukkan bahwa dalam pergumulan-Nya, Yesus memilih berdoa karena sadar bahwa hanya sang Bapa yang sanggup mendengar pergumulan-Nya. Namun doa Yesus tidak memaksa. Kita melihat bahwa dalam doa-Nya, Yesus mempercayai kuasa Allah, dan lebih dari itu, bahwa Yesus mempercayakan diri pada rencana Bapa. Yesus mengakui kedaulatan sang Bapa, dan keputusan sang Bapa. Maka walaupun Yesus punya kebebasan, namun Ia memilih taat pada kehendak Bapa. Tetapi pilihan itu tidak membelenggu-Nya. Sebaliknya, walaupun tunduk dan akhirnya Ia menderita dan mati, namun Allah membangkitkan-Nya sebagai pemenang atas belenggu maut. Ia bebas dan menjadi sang pembebas manusia dari belenggu dosa.

Penutup

Dalam minggu sengsara ke-4 ini, ada beberapa catatan berdasarkan bacaan ini. Pertama, kita belajar dari sikap Yesus yang ketika menghadapi pergumulan berat, Ia memilih berdoa. Setiap kita pasti bergumul dengan masalah tertentu. Ada yang bergumul dengan soal pekerjaan, soal kebutuhan hidup, persoalan rumah tangga, hubungan yang retak, suami/isteri yang hidupnya jauh dari Tuhan, soal sakit penyakit, beban dari nenek moyang, kehilangan orang-orang dekat, dan lain sebagainya. Kita semua bergumul dengan pandemi Covid-19 dan akibat-akibatnya berupa krisis multidimensi. Anak-anak juga bergumul dengan  tugas-tugas dari sekolah dan masa depannya. Apapun pergumulan kita, dan seberat apa pun itu, belajarlah dari sikap Yesus. Berdoalah kepada Allah. Percayalah bahwa bersama Allah, kita dapat melalui semuanya. Badai akan berlalu. Seruan Majelis Sinode agar diadakan doa dan puasa setiap jumat sepanjang minggu-minggu sengsara, adalah bagian dari cara agar kita berserah kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya.

Kedua, kita belajar dari iman dan keyakinan dibalik doa Yesus. Melalui doa-Nya di taman Getsemani Yesus mengajarkan kita bahwa 1) Allah bukanlah pribadi yang jauh. Allah adalah Bapa yang dekat kepada kita. Dialah Bapa kita, yang sangat mengasihi kita. 2) Allah adalah Maha kuasa, yang mampu melakukan yang terbaik bagi kita. 3) Allah adalah pribadi yang siap mendengar segala permohonan kita. 4) Kehendak Allah adalah yang terbaik, sehingga mesti kita dengar dan ikuti. Soren Kierkegaard, Filsuf Kristen Denmark abad ke-19 mengatakan: “berdoa tidak berarti mendengarkan percakapan sendiri. Berdoa berarti: menjadi hening dan sunyi dan mendengar, sampai si pendoa mendengar Allah”. Apa yang dikatakan Kierkegaard benar, dan persis itulah yang diteladankan Yesus dalam doa-Nya di taman Getsemani. Kita mesti melatih hati untuk mendengar suara Tuhan tatkala kita berdoa.

Ketiga, itulah sebabnya berdoa juga berarti mau merendahkan diri, berserah kepada Allah, tunduk kepada-Nya, dan taat kepada Dia. Sebagai manusia, kita memang dianugerahi kebebasan, namun kebebasan kita tidak lepas dari Allah sebagai pencipta kita. Kita tidak punya kebebasan mutlak sebagaimana dikatakan Sartre, sebab kita ini ciptaan Allah. Maka kita mesti taat kepada Dia. Percayalah, bahwa berserah kepada kehendak Allah, tidak akan membelenggu kita. Sebab di dalam Tuhan, justeru kita menemukan kemerdekaan sejati, yaitu kelepasan dari belenggu dosa dan masuk dalam hidup yang benar bersama Allah.

Keempat, agar kehidupan rohani kita baik adanya, spriritualitas doa kita bertumbuh, maka bangunlah kehidupan doa, baik secara pribadi (setia saat teduh), dalam keluarga (doa rumah tangga), dalam gereja (persekutuan doa), dalam masyarakat, dalam lingkungan kerja, agar Allah senantiasa hadir dalam kehidupan kita. Hal doa kelihatan sedehana, namun sangat dalam maknanya. Semakin kita terlatih berdoa, semakin kita dekat kepada Allah, semakin kita belajar tunduk kepada-Nya, dan semakin kita bisa hidup sesuai kehendak-Nya. Terbukti, orang tua yang mungkin tak bisa membaca sekalipun, tetapi ketika mereka memiliki kehidupan doa yang baik, mereka biasanya setia kepada Tuhan dan hidupnya saleh, lurus, benar, dan mulia.

Hari ini kita merayakan hari doa anak sedunia (HDAS). Perayaan ini mengingatkan kita untuk setia mendoakan anak-anak kita, dan terutama juga, kita perlu mengajari anak-anak untuk setia berdoa, sehingga dalam pejalanan hidup mereka, entah baik atau pun buruk keadaannya, mereka tahu bersandar kepada Allah, dan selalu mengandalkan-Nya dalam kehidupan mereka. Dengan cara itu, mereka akan menjadi anak-anak yang beriman. Selamat merayakan HDAS, selamat berdoa! Tuhan memberkati kita. Amin. (Pdt. Gusti Menoh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *