Penguatan Kapasitas Pemimpin Jemaat dan Kepala Desa di Masa Pandemi Covid-19

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Usia pandemi Covid-19 sudah genap satu tahun. Para epidemolog memperkirakan upaya global untuk mengendalikan virus ini membutuhkan waktu minimal 5 tahun lagi. Lantas apa yang bisa dibuat para stakeholder khususnya gereja selama pandemi berlangsung?

Pertanyaan di atas menjadi topik diskusi pada workshop virtual yang digagas oleh Majelis Sinode GMIT bekerja sama dengan Uniting World (badan misi Uniting Church in Australia) dan Yayasan Tanaoba Lais Manekat (TLM) pada sepekan lalu.

Peserta kegiatan ini melibatkan 150 pendeta dan 25 orang kepala desa di tiga teritori pelayanan GMIT yakni, TTS (25-26 Februari), Rote-Sabu (1-2 Maret), dan Alor (3-4 Maret).

Workshop penguatan kapasitas pemimpin jemaat dan desa ini membahas empat tema dengan pemateri sebagai berikut:

Satu, Pola sinergisitas para pemimpin gereja dan masyarakat menghadapi pandemi Covid 19, (Pdt. Mery Kolimon, Ketua MS GMIT).

Dua, Mengembangkan pemberdayaan ekonomi jemaat melalui pendekatan Apreciative inquiry, (Pdt. Dr. John Campbell-Nelson).

Tiga, Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) untuk penyadaran mengatasi pandemi Covid-19 dan dampak lainnya, (dr. Debora Murty dan Theresia Ratunubu).

Empat, Pemetaan potensi dan jaringan kolaborasi untuk pengembangan ekonomi, (Silvester Ndaparoka dan Tim Kolaborasi Sinode GMIT).

Berikut adalah beberapa poin utama dari materi tersebut:

Mengawali materinya, Pdt. John Campbell-Nelson menggambarkan dua cara pandang mengenai keadaan jemaat seperti gelas yang setengah kosong dan setengah terisi. Bagi yang optimis, gelas tersebut dipandang terisi setengah. Sedangkan bagi yang pesimis sebaliknya. Tentu, tidak ada yang salah dengan dua jawaban tersebut, akan tetapi menurut Pdt. John, di sinilah letak perbedaan orientasi pendekatan dalam menanggapi setiap masalah.

Pada umumnya ada tiga pendekatan yang digunakan sebagai pisau analisis sosial yaitu: Satu, pendekatan SWOT (Strengths/kekuatan, Weaknesses/kelemahan Opportunities/peluang, dan Threats/ancaman). Pendekatan ini fokusnya terlebih pada soal-soal yang bersifat negatif semisal: kekurangan sumber daya,reaksi pada masalah, menghindari malapetaka, orientasi pada program dan tugas,bersandar pada bantuan dari luar dan jemaat dipandang sebagai obyek pelayanan.

“Yang serring terjadi adalah kita jauh lebih banyak memperhatikan kelemahan, kekurangan dan ancaman sebagai hal serius yang harus segera diatasi dan diperbaiki, dan kita tidak cukup mendalami menghayati dan menemukan kekuatan atau melihat peluang yang ada pada kita. Kalau kita berangkat dari kekurangan dan kebutuhan, ada semacam awan gelap menghantui. Kita fokus pada apa yang tidak ada pada kita.”

Pdt. John memberi contoh, Majelis Jemaat seringkali cepat bereaksi apabila ada anggota jemaat yang pindah ke gereja denominasi lain padahal bila sebaliknya ada warga lain yang masuk menjadi anggota GMIT, justru tidak dianggap sebagai kekuatan.

Kedua, pendekatan berdasarkan asset atau Appreciate Inquiry (AI). Appreciate Inquiry artinya: mencari tahu apa yang kita hargai atau nikmati. Orientasi pendekatan AI berfokus pada sumber daya yang ada dalam jemaat/masyarakat, menuju sebuah visi, mencari kesempatan, “menanam” untuk masa depan, orientasi pada manusia, mengandalkan sumber daya lokal dan jemaat sebagai subyek dan pelaku pelayanan.

“Dalam pendekatan AI kita menghargai harta pusaka yang kita warisi dari para pendahulu, menemukan apa yang paling membahagiakan dalam jemaat masa kini dan bermimpi tentang suatu masa depan yang indah bagi jemaat dan masyarakat. Alat yang biasa dipakai untuk AI adalah wawancara. Apa yang mereka paling suka dari gereja. Apa yang membuat mereka bangga menjadi anggota di jemaat ini. Dan apa yang mereka andalkan, di mana kalau dia butuh, gereja ada untuk dia.”

Tangtangannya adalah kata Pdt. John, pemimpin-pemimpin di jemaat secara sadar atau tanpa sadar seringkali tergoda untuk merubah hal-hal yang jemaat sukai dan rawat dengan baik-baik.

“Saya punya bapak tukang kayu. Dia sering bilang, kalau barang tidak rusak, jangan diperbaiki.”

Ketiga, Asset Based Congregational Community Development (ABCD) atau pengembangan jemaat berdasarkan aset. Aset yang dimaksud bukan hanya uang kas jemaat tetapi juga aset perorangan, komunal, sumber daya alam, produksi, kelembagaan dan jaringan.

“Kekuatan kita bukan hanya pada kas jemaat dan hasil kebun tapi ada juga aset perorangan misalnya di jemaat ada perawat, guru, sarjana, orang yang tahu obat tradisional, dll. Ada aset komunal; kalau ada orang mati, tanpa diorganisir, ibu-ibu kumpul, masing-masing datang bawa pisau iris, ada yang tapis beras dan secara ‘ajaib’ ratusan orang bisa diberi makan. Kita punya aset jaringan; Ada penatua dan diaken yang tahu kondisi setiap rumah tangga dan itu perlu dimanfaatkan untuk kita baku jaga di masa Covid. …”

Berangkat dari tiga model itu, pendekatan AI dan ABCD menurut Pdt. John, pada umumnya lebih baik daripada memulai dari kekurangan atau kebutuhan.”

Selanjutnya materi dari Pdt. Mery Kolimon terkait sinergisitas. Sinergi diartikan sebagai kerjasama antara dua atau lebih organisasi untuk memproduksi sesuatu yang lebih besar ketimbang bekerja sendiri.

Prinsip sinergisitas terdapat dalam I Kor. 3:9. “Theou gar esmen synergoi artinya Karena kami adalah kawan sekerja Allah”. Sunergos atau synergoi yang berarti bekerja bersama (working together)=sun-‘together’ (bersama) + ergon ‘work’ (bekerja). Kata ini muncul dari konteks perpecahan di kalangan orang percaya di Korintus di mana terdapat golongan Paulus dan golongan Apolos. Dalam situasi perselisihan itu Paulus menegaskan bahwa yang menanam dan menyiram, yang meletakkan dasar dan yang melanjutkan adalah sama.

Prinsip ini juga nampak dalam sistem kepemimpinan Presbyterial Sinodal di GMIT, di mana proses pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama/kemajelisan.

Dalam konteks pandemic Covid-19, Pdt. Mery mengutip prinsip pentahelix yang diterapkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam penanggulangan bencana, yang terdiri dari; pemerintah, pengusaha komunitas/masyarakat, media dan akademisi.

Pentahelix, mempunyai tugas berbeda. Secara khusus, tugas utama agama-agama pada bidang psiko-sosial dan psiko-spiritual. Mengutip Max Weber yang menyebut agama sebagai The Sacred Canopy, atau tempat berlindung yang kudus, Gereja, menurut Pdt. Mery berperan penting untuk mendampingi atau menggembalakan jemaat dalam segala situasi mereka, termasuk pemerintah, swasta, media, akademisi dan komunitas beragama lainnya.

“Dimasa pandemi seperti ini peran penggembalaan kita kepada pemerintah, pengusaha, media, pemimpin-pemimpin agama dan kampus menjadi penting. Kalau inisitif itu belum ada mari kita sebagai gereja lakukan hal itu dalam semangat pastoral. Kadang orang merasa terganggu kalau kita menggunakan pola komunikasi yang tidak bijak dengan saling serang di media sosial. Lebih baik kita menggunakan pendekatan-pendekatan yang soft tapi meyakinkan dengan komunikasi yang jelas koordinasi dan konsolidasi supaya kita mendorong kerja sama yang efektif.”

Yang tidak kalah penting juga adalah membangun sinergi dan mau belajar bersama para akademisi untuk mendapat input dalam memperkuat kebijakan-kebijakan gereka terkait Covid-19, oleh sebab penelitian di sekitar pandemi berkembang cepat.

Dan, yang terakhir adalah resilience dan agilityatau kelenturan untuk cepat bangkit dari masalah dan keterpurukan. Terkait kedua hal ini, GMIT dapat berefleksi dari sub tema pelayanan 2021 yakni; “Roh Kudus Menyembuhkan Relasi dan Memulihkan Kita dari Dampak Pandemi Covid-19”. Di dalam Yehezkiel 37:14 yang menjadi acuan sub tema ini, Tuhan memanggil dan mengutus Yehezkiel bernubuat pada tulang-tulang kering di lembah untuk hidup kembali. Refleksi ini menolong Gereja agar senantiasa hadir di tengah-tengah persoalan dunia dan membangun harapan.

Selanjutnya, materi mengenai pola hidup yang sehat dan aman di tengah pandemi Covid-19 oleh dr. Debora Murthy dapat diunduh pada link berikut ini:    hidup-sehat-aman-produktif-di-masa-pandemi.

Kegiatan penguatan kapasitas pemimpin gereja dan para kepala desa ini kata Pdt. Emil Hauteas, Ketua UPP Kemitraan dan Hubungan Oikumenis MS GMIT, merupakan kelanjutan dari program dua tahun sebelumnya.

MS GMIT menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kerja sama yang baik dari Uniting World dan Yayasan TLM dalam mendukung kegiatan ini. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *