SABU,www.sinodegmit.or.id, Dua bulan pasca Siklon Seroja, tidak serta merta melenyapkan perasaan traumatis warga NTT yang terdampak. Kondisi itu tampak pada kegiatan Training of Trainer(ToT) Dukungan Psikologi Awal (DPA) dan Pastoral bagi warga GMIT korban bencana Siklon Seroja di Sabu-Raijua.
Aprianse Mola-Lay, (44 tahun), salah satu peserta kegiatan ini tak sanggup menahan emosi. Ia terisak ketika menyampaikan pengalaman keluarganya menghadapi bencana angin Siklon yang merusak rumah dan barang-barang kios miliknya pada awal April 2021.
“Suami saya hanya tenaga kontrak. Gajinya tidak seberapa. Kami kumpul sen demi sen dengan susah payah bangun rumah. Belum selesai juga. Baru habis atap. Dan tiba-tiba bencana datang menghancurkan semuanya. Jujur, waktu itu saya kecewa sekali dengan Tuhan,” tutur ibu lima anak ini berurai air mata di hadapan para peserta ToT.
Menyaksikan bencana yang menghancurkan jerih lelah mereka, Aprianse menilai hidup seolah tidak adil. Masih segar dalam ingatannya, akhir tahun 2019, rumah yang sama rusak akibat angin puting beliung. Namun, ketika rumah itu hampir rampung, bencana kembali menghancurkan mimpi mereka.
Tetapi Aprianse tidak patah semangat, ia dikuatkan oleh suaminya.
“Waktu atap rumah sudah terbawa angin, anak-anak histeris. Suami ajak kami lari mengungsi ke rumah mama di seberang jalan. Tapi saya rasa enggan meninggal rumah kami begitu saja. Saya merasa seperti istri Lot … tapi suami saya bilang, itu semua barang duniawi. Kita serahkan semua saja kepada Tuhan,” ujar ibu lima anak ini menirukan ucapan suaminya.
Tidak hanya orang-orang dewasa, perasaan trauma juga dialami anak-anak. Bermacam perasaan tidak nyaman muncul saat mereka melihat cuaca mendung, angin dan hujan. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Djuli Kore Mata, Pengajar PAR (Sekolah Minggu) Jemaat Nazareth Daigama, desa Roboaba, Sabu Barat.
“Saya punya 2 anak balita. Yang sulung 5 tahun dan adiknya 3 tahun. Akhir bulan Mei lalu, hujan turun lagi di Sabu. Anak saya yang sulung lari ketakutan. Dia datang peluk kuat saya dan bilang, Mama … Mama … hujan Seroja datang. Saya bilang, bukan, ini bukan hujan Seroja. Tapi dia takut dan tidak mau lepas saya. Dia juga tidak mau tidur sendirian.”
Pengalaman Ibu Aprianse dan Ibu Djuli merupakan gambaran perasaan traumatis dari ribuan korban sekaligus penyintas pasca bencana Siklon Seroja.
Kondisi inilah yang mendorong Tim Tanggap Bencana Siklon Seroja (TTBSS) Majelis Sinode GMIT mengadakan pendampingan dan pelatihan DPA dan Pastoral di wilayah-wilayah pelayanan GMIT yang terdampak.
Kegiatan pendampingan diberikan kepada anak-anak dan orang dewasa sedangkan pelatihan/ToT diperuntukan kepada para penatua, diaken dan pengajar.
Mendapat kesempatan belajar berbagi pengalaman dan pengetahuan melalui ToT DPA dan Pastoral yang berlangsung pada Selasa dan Rabu, 8-9 Juni 2021 di Jemaat Nazareth Daigama dan Syalom Raeliu tersebut, para peserta mengaku senang.
“Bagi saya ini kesempatan belajar yang menyenangkan. Selain menguatkan diri kami sendiri tetapi juga kami belajar menggali dan memahami trauma yang dialami oleh anak-anak melalui metode permainan dan menggambar,” kata Dina Ra’ba, diaken Jemaat Yeruel Seba Kota.
Manfaat dari pelatihan ini juga dirasakan Pendeta Neldiance Tahun, peserta dari Jemaat GMIT Maranatha Matiki, Klasis Sabu Timur. Menurutnya ada tiga kata kunci dari pelatihan ini yang membekas dalam benaknya selama mengikuti pelatihan, yakni; Melihat, Mendengar dan Menghubungkan.
“Tiga hal inilah yang menurut saya perlu intensif dilakukan oleh gereja khususnya kami sebagai prebiter dalam mendampingi anggota jemaat agar mereka tidak merasa sendirian dalam menghadapi bencana.”
Pdt. Esma Nappoe, Ketua Seksi Pastoral dan DPA, Tim Tanggap Bencana Siklon Seroja (TTBSS) MS GMIT mengatakan pelatihan dan pendampingan ini bertujuan memperkuat kapasitas pengetahuan dan keterampilan pastoral para presbiter (pendeta, penatua, diaken dan pengajar) sekaligus menopang dan memulihkan kondisi psikis warga GMIT yang terdampak.
Terlaksananya kegiatan ini, kata Pdt. Esma, atas dukungan dan kerjasama Majelis Sinode GMIT dan Persekutuan Pelayanan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia (PELKESI).
Kegiatan ini melibatkan 280 peserta baik anak-anak maupun orang dewasa dari Klasis Sabu Barat dan Sabu Timur.
Dalam Suara Gembala saat membuka kegiatan ini, Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon, menyampaikan terima kasih atas dukungan PELKESI dan keempat Jemaat di Sabu selaku tuan dan nyonya rumah kegiatan antara lain; Jemaat Nazareth Daigama, Jemaat Syalom Raeliu, Jemaat Yosua Kotalobo dan Jemaat Imanuel Eibou.
Kepada para peserta, Pdt. Mery juga mengharapkan agar melalui pelatihan ini peserta mendapat ruang berbagi pengalaman iman sekaligus memberi makna pada bencana untuk bangkit dan menata kehidupan yang lebih baik.
Selain di Sabu, kegiatan serupa akan dilaksanakan di Rote pada 16-19 Juni 2021 dan Alor, 22-29 Juni 2021. ***