www.sinodegmit.or.id, Gara-gara pemikir Yunani kuno, Homer dan Aesop, muncullah pepatah, “hanya keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali.” Keledai distigma demikian karena dianggap berperilaku bodoh, malas dan keras kepala.
Padahal, hewan bertubuh mungil dan bertelinga panjang ini memiliki ingatan dan pendengaran yang sangat kuat serta punya sifat baik seperti suka bersosialisasi, hidup berkelompok dan jarang bertengkar.
Keunikan lainnya, ia dapat kawin dengan kuda atau zebra. Bila keledai jantan kawin dengan kuda betina, keturunan mereka bernama bagal. Sebaliknya bila keledai betina kawin dengan kuda jantan nama keturunan mereka adalah hinny. Kalau zebra dikawinkan dengan keledai maka keturunannya dinamai zebroid atau zonkey.
Dalam Alkitab, kata keledai disebut 23 kali. Pertama kali muncul di kitab Kejadian 12:16, ketika Abraham menerima pemberian Firaun saat masuk ke Mesir. Di Kitab Bilangan 23 ada juga kisah tentang keledai Bileam yang bisa bicara bahasa manusia dan pada pasal 31:32-34 disebut bangsa Israel pernah mengambil 61.000 ekor keledai sebagai rampasan perang atas bangsa Midian.
Selain itu ada juga kisah di dalam kitab Ayub bahwa pasca 500 ekor keledai betina milik Ayub dirampas orang Syeba dalam sebuah rentetan tragedi, Tuhan mengembalikan kepada Ayub 1.000 ekor keledai.
Di dalam Perjanjian Baru, ada pula kisah Yesus menunggang keledai memasuki kota Yerusalem menjelang kematian-Nya, (Matius 21). Arak-arakan massal ini bersifat simbolis untuk menggenapi nubuatan nabi Zakaria bahwa Mesias akan datang membawa damai (Zakaria 9:9,10), yang dilambangkan dengan mengendarai keledai dan bukan kuda.
Kembali pada stigma di atas, kendati hewan ini sangat membantu dalam urusan transportasi, tapi pada masa sebelum Masehi berkembang mitos bahwa keledai adalah hewan yang dungu dan keras kepala ketimbang saudara sepupunya kuda dan bagal.
Sehingga, hewan yang cenderung rakus ini harus diiming-imingi terlebih dahulu dengan wortel atau buah-buahan lain. Karena naluri makannya yang tinggi, keledai mengejar buah yang digantung dekat mulutnya (mirip krupuk yang digantung dengan tali dalam lomba makan krupuk). Ia tidak berpikir bahwa buah itu cuma umpan agar ia mau berjalan memanggul beban di punggungnya mengikuti keinginan sang majikan.
Untuk memastikan kebenaran mitos keledai bodoh ini, pada akhir abad 20 para ahli dari universitas Canterbury Christchurch di New Zealand melakukan penelitian. Ternyata, mereka berkesimpulan bahwa stigma itu tidak benar. Yang benar adalah, jika dibandingkan dengan kuda dan anjing, keledai masih lebih cerdas. Kecerdasan itu terletak pada sifatnya yang keras kepala, malas tahu dan tidak mau dipaksa bekerja terlalu berat oleh majikannya. (https://kumparan.com/lampu-edison/mitos-sebodoh-keledai-dan-bagal-21dM5TYb6A/full)
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pepatah ini kemudian diluruskan menjadi “Keledai saja tak jatuh di lubang yang sama sampai dua kali”.
Makna dari pepatah ini adalah sebodoh-bodohnya orang, ia tak akan mengulangi kesalahan sebelumnya.
Belajar dari Pengalaman Siklon Seroja
Awal April 2021, NTT diterjang Siklon Tropis Seroja. Siklon ini menimbulkan hujan lebat yang memicu banjir bandang dan longsor di beberapa wilayah seperti di Flores Timur, Sumba Timur, Alor, Sabu, Rote, Malaka, Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Total wilayah terdampak sebanyak 17 kabupaten/kota.
Korban akibat bencana ini menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebanyak 181 orang meninggal dunia, 47 orang hilang, 132 orang luka-luka, dan rumah warga yang rusak dengan kategori ringan, sedang dan berat sebanyak 52.793 unit. Ini belum termasuk kerusakan fasilitas publik, seperti kantor pemerintah dan swasta, gedung sekolah, jembatan, jaringan listrik dan telekomunikasi, jalan, pasar, dll. Belum lagi korban harta benda berupa ternak, lahan pertanian dan kelautan (rumput laut dan perahu nelayan).
Khusus di wilayah pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), yang memiliki 52 klasis, Tim Tanggap Bencana Siklon Seroja Majelis Sinode GMIT mencatat sebanyak 27 warga GMIT meninggal dunia, 3 orang hilang, 45 orang luka. Sementara kerusakan asset terdiri dari; rumah warga 21.479 unit, gedung gereja 311 buah, pastori 94 buah, sekolah 29 buah, sawah dan kebun 2.958 bidang, ternak mati 751 ekor, dan perahu nelayan 196 unit. Wilayah terdampak tersebut menyebar di 39 klasis.
Dan, jangan lupa, selain korban jiwa dan harta benda, bencana ini juga menyisakan gangguan psikologis atau trauma yang tak terhitung.
Kendati dampak kerusakan Siklon ini tergolong parah, sebenarnya kekuatan Siklon Tropis Seroja ini baru berada pada level dasar yakni Siklon kategori 1 dengan kecepatan angin berkisar 65 – 100 kilometer/jam. https://web.archive.org/web/20210404203109/http://tcwc.bmkg.go.id/data/tc/IDJ21030.txt
Artinya, belum seberapa dasyat ketimbang wilayah Australia Barat yang diterjang Siklon serupa dengan kecepatan angin 170 kilometer/jam atau kategori 3 yang terjadi sepekan kemudian.
Di dalam kitab Ayub pasal 1, ada cerita tentang rentetan bencana menimpa Ayub. Bencana pertama, Ayub kehilangan 500 ekor sapi dan 500 ekor keledai betina. Bencana kedua, 7.000 ekor kambing domba mati. Bencana ketiga, 3.000 ekor unta dirampok. Jadi total kerugian Ayub sebanyak 11.000 ekor ternak. Jika dipukul rata satu ekor ternak seharga Rp. 1 juta maka nilai kerugian Ayub mencapai Rp. 11 Milyar. Luar biasa.
Tidak berhenti di situ, masih ada bencana ke-4 berupa angin ribut dari padang gurun. Angin ribut itu menerjang dari empat penjuru dan merobohkan rumah tempat ke-10 orang anak Ayub mengadakan pesta. Ke-10 orang anak itu tewas seketika. Sungguh dasyat eskalasi bencana yang menimpa Ayub sekeluarga.
Yang menarik, menurut sang penulis, bencana itu bukan suatu fenomena alam biasa melainkan didalangi iblis. Iblis merancang skenario untuk menguji apakah kesetiaan dan kesalehan Ayub dipengaruhi oleh kelimpahan materi yang diberikan Tuhan, ataukah tanpa semua itu pun, Ayub tetap setia dan saleh? Jadi ada semacam ‘pertaruhan’ antara iblis dan Tuhan, dengan menjadikan Ayub sebagai ‘kelinci percobaan’.
Akan tetapi, membaca kitab Ayub dalam konteks bencana, jangan dikira angin kencang atau Siklon yang memporak-porandakan NTT tepat pada hari raya Paskah itu juga merupakan skenario iblis untuk menguji kesetiaan warga NTT yang kebetulan mayoritas beragama Kristen.
Betul bahwa dampak bencana bisa jadi sama, misalnya, rumah-rumah roboh, orang meninggal dunia, ternak mati, dan sebagainya, namun penanggungjawab atas jatuhnya korban tidak selalu didalangi iblis, apalagi Tuhan.
Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, ada korelasi terjadinya Siklon dengan pemanasan global.
“Karena penyebabnya adalah semakin panasnya suhu muka air laut, yang tentunya laut itu tempat mengabsorbsi karbon dioksida, dan itu adalah dampak dari gas rumah kaca, bisa dirunut ke sana. Ini baru hipotesis ya, tapi ada korelasi dengan peningkatan suhu muka air laut yang dipengaruhi juga oleh global warming (pemanasan global),” katanya. https://www.republika.co.id/berita/qr4uv2328/pemanasan-global-pengaruhi-kejadian-siklon-tropis
Sehingga semakin jelas bahwa tanpa campur tangan iblis sekalipun, manusia bisa merencanakan bencana bagi dirinya sendiri selama eksploitasi terhadap alam terus berlangsung tanpa kendali. Atau dengan kata lain, bencana itu merupakan konsekuensi logis dari hukum alam “menabur angin, menuai badai”.
Peran GMIT Untuk Mitigasi, Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana
Gereja, betapapun diberi kuasa oleh Tuhan untuk menatalayani dunia, mustahil bisa menghentikan Siklon.
Yang bisa dilakukan gereja dalam hal ini GMIT adalah merumuskan dan menetapkan sejumlah kebijakan serta mendorong perilaku yang dapat mengurangi risiko bencana. Ini bukan pilihan melainkan kewajiban. Sebab, kita akan membayar lebih mahal untuk kesalahan yang sama jika tidak ada mitigasi.
Peringatan ini berulang kali disampaikan Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon dalam kunjungannya ke wilayah-wilayah pelayanan GMIT yang terdampak bencana.
“Kita berdoa supaya bencana jangan terulang, tetapi para ahli mengatakan siklon ini bukan yang terakhir,” ujarnya saat meninjau gedung-gedung gereja yang hancur di Kabupaten Sabu-Raijua dan Rote-Ndao baru-baru ini.
“Peran gereja bukan hanya sibuk bagi-bagi sembako ketika bencana datang tetapi bagaimana mengedukasi warga gereja agar berperilaku ramah alam, baik di darat maupun di laut.”
Oleh karena itu, menurutnya upaya rekonstruksi pasca bencana oleh GMIT bukan asal ada uang lalu bangun asal-asalan tetapi terutama pada build back saver and build back better.
Untuk model pembangunan yang demikian, para ahli bangunan mensyaratkan beberapa hal seperti; lokasi/letak terhadap bentuk bangunan, pergerakan angin di lokasi, desain, teknologi, standar material, keahlian tukang, dan sebagainya.
Dan, berdasarkan pola kerusakan akibat siklon Seroja yang menimpa gedung-gedung gereja GMIT khususnya, ternyata hal-hal tersebut di atas tidak cukup mendapat perhatian pada saat perencanaan maupun dalam pelaksanaan pembangunan.
Tindak lanjut dari membangun yang lebih aman dan lebih baik itu, kata Pdt. Mery, GMIT membangun kerja sama dengan mitra-mitra di dalam dan luar negeri untuk rencana program pelatihan tukang dan pembangunan gedung gereja dan pastori tahan bencana dalam waktu dekat.
Program ini bertujuan mengkapasitasi pengetahuan dan keterampilan warga gereja agar mereka lebih bijak menghitung, menilai dan memutuskan sendiri kualitas bangunan macam apa yang bisa melindungi mereka dari ancaman bencana alam.
Para tukang terlatih ini selanjutnya dilibatkan dalam pembangunan gedung gereja dan rumah pastori contoh, masing-masing di Jemaat Persaudaraan Wagga Ae (Klasis Sabu Barat), Jemaat Ephata Nada (Klasis Sabu Timur), Jemaat Iktus Danoheo (Klasis Rote Barat Daya), Jemaat Eklesia Mokdale (Klasis Rote Timur) dan salah satu Jemaat di wilayah Kabupaten Kupang. Jemaat-jemaat tersebut dipilih karena alasan terdampak paling parah.
Untuk program ini, GMIT sejauh ini telah mendapat dukungan dari Gereja Methodis Malaysia, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Habitat for Humanity, Yakkum Yeu, Ikatan Arsitek Indonesia wilayah NTT dan beberapa mitra lainnya.
Diharapkan melalui program-program rekonstruksi ini, warga gereja teredukasi dan lebih siap menghadapi bencana di masa yang akan datang. (wm) ***