Dari GMIT untuk Indonesia dan Dunia (Kejadian 41:46-57) – Pdt. Jahja A. Millu

www.sinodegmit.or.id, Peran orang percaya bagi dunia telah ditegaskan Alkitab sejak halaman pertama. Peran itu bahkan inheren dengan penciptaan manusia. Ketika Allah menjadikan manusia, tujuannya adalah penatalayanan dunia (Kej. 1:26-28).

Peran ini ditegaskan kembali dalam cerita leluhur Israel. Saat memilih Abraham, Allah berjanji akan menjadikannya saluran berkat bagi bangsa-bangsa (Kej. 12:2-3). Maksud panggilan Abraham ini jauh lebih besar dari sekedar kepentingan entitas Israel.

Panggilan universal orang percaya juga ditegaskan Tuhan Yesus saat hendak naik ke surga. Ia memerintahkan para murid-Nya untuk menjalankan misi internasional. Tidak hanya meliputi Yerusalem, tetapi sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8).

Semua iman Alkitab diatas hendak menegaskan bahwa kekristenan bukanlah agama “katak di bawah tempurung”, tetapi yang keluar dari tempurung untuk berkontribusi bagi kebaikan dunia sesuai maksud Allah.

Riwayat hidup Yusuf merupakan salah satu contoh tentang kiprah orang percaya di lingkup internasional. Ditilik dari latar belakang Yusuf, hal ini nampaknya mustahil. Ia hanyalah anak keluarga nomaden Ibrani di Palestina. Pendidikan yang diperoleh dari ayahnya Yakub, tentu tidak sebaik peradaban Mesir yang sudah sangat maju. Kehidupannya pun penuh lika-liku. Akibat disfungsi keluarga, ia dijual oleh saudara-saudaranya sebagai budak hingga terlempar ke rumah Potifar di Mesir. Dari kehidupan budak, Yusuf beralih menjadi narapidana dalam penjara Firaun akibat fitnahan istri Potifar.

Perjalanan hidup seperti ini sama sekali tidak menjanjikan. Mustahil seorang nomaden, budak dan narapidana bisa sukses di negara maju seperti Mesir. Namun rancangan agung Tuhan tak bisa dibatasi oleh buruknya perjalanan hidup seseorang. Tuhan mampu mengangkat seseorang dari dalam lumpur kehidupan untuk membuatnya bersinar terang. Itulah yang dilakukan Tuhan bagi Yusuf. Seorang baduin Palestina mampu menerobos hingga menduduki posisi strategis dalam pemerintahan negara asing. Jalan yang ditempuhnya memang tidak mudah, penuh duri dan kerikil tajam, tetapi tidak berarti mustahil.

Saat menerima jabatan penting dari Firaun, Yusuf sama sekali belum memiliki pengalaman di bidang politik untuk menjalankan pemerintahan. Ia juga tidak memperoleh pendidikan di bidang ekonomi untuk mengelola keuangan negara. Juga tidak belajar di BNPB untuk menangani bencana kelaparan dan krisis global. Atau magang di BULOG untuk belajar teknik pergudangan terhadap bahan pokok rakyat. Namun bacaan ini dan pasal berikutnya menunjukkan bahwa Yusuf mampu menjalankan tugas yang diberikan Firaun dengan baik.

Kunci keberhasilan Yusuf ialah penyertaan Tuhan. “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya (Kej. 39:2). Juga sepanjang pasal 41, terlihat dengan jelas bahwa Yusuf berulang kali merujuk kepada Allah ketika dia berbicara kepada Firaun: ‘Allah telah memberitahukan kepada tuanku Firaun’ (41:25), ‘apa yang hendak dilakukan-Nya’ (41:25), ‘Allah telah memperlihatkan kepada tuanku Firaun’ (41:28), ‘apa yang hendak dilakukan-Nya’ (41:28), ‘hal itu telah ditetapkan oleh Allah’ (41:32), dan ‘Allah akan segera melakukannya’ (41:32). Yusuf mencoba membuat Firaun melihat aktor utamanya yakni Tuhan (Pirson, The Lord of the Dreams. 2002:89).

Kesuksesan Yusuf di negeri adidaya asing ini merupakan panduan berharga bagi seluruh proses pendidikan GMIT. Ketika era belum global, GMIT telah memiliki tokoh yang berkiprah baik di tingkat kabupaten/kota, regional, nasional, bahkan dunia. Diantaranya ada yang merupakan alumni sekolah GMIT.

Kini dunia sudah global, bahkan telah memasuki kamar tidur kita. Setuju atau tidak, kita mesti mendidik anak-anak kita untuk berkiprah di dunia global. Kita tidak bisa lagi sekedar bernostalgia tentang kejayaan masa lalu. Persaingan sumber daya manusia dengan bangsa lain tidak dapat dihindari. Mungkin kondisi pendidikan GMIT sedang merana. Ibarat status Yusuf sebagai anak nomaden, budak dan narapidana yang harus bersaing dengan orang bijak bestari di Mesir. Cerita Yusuf memberi pengharapan dan membuka kemungkinan untuk memasuki persaingan global dari dalam krisis yang melanda pendidikan GMIT. Kita tidak boleh “kalah garatak” atau kalah sebelum bertanding.

Itulah sebabnya di minggu terakhir bulan pendidikan ini, kita mendalami salah satu aspek visi pendidikan GMIT yakni kemampuan bergaul dengan bangsa-bangsa. Kita menggumuli aspek ini dengan menimba dari sumber-sumber iman seperti cerita Yusuf ini. Dalam segala keterbatasannya, sekolah GMIT mesti mendidik anak-anak untuk mampu berkiprah di lingkup yang lebih luas. Seorang anggota GMIT mungkin bersekolah di pedalaman, namun ia mesti dididik untuk menyadari kesetaraan dignity (martabat) dengan manusia lain di seluruh dunia.

Sekolah GMIT sudah seharusnys diarahkan untuk melahirkan kader-kader yang tidak hanya berguna bagi internal gereja, tetapi juga di semua lingkup kehidupan dimana Tuhan menempatkan mereka. Kita semua dipanggil untuk terlibat menggumuli sekolah GMIT sebagai bengkel yang menghasilkan kader seperti Yusuf. Kader yang mempercayakan seluruh perjalanan hidupnya dalam tangan Tuhan, yang memiliki kemampuan visioner, mampu menerjemahkan visi ke dalam tindakan konkrit serta yang menggunakan kuasa dan wewenangnya untuk kebaikan banyak orang. Tuhan memberkati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *