Dari Penjara Ke Istana: Dari GMIT untuk Indonesia dan Dunia (Kejadian 41: 46-57)- Pdt. Gusti Menoh

Pendahuluan

Setiap orang pasti pernah bermimpi. Mimpi-mimpi itu bisa baik tetapi juga bisa buruk, tergantung isinya. Walaupun hanya mimpi, ia dapat mmpengaruhi kehidupan kita. Mimpi yang indah, membuat kita happy, senang, gembira. Sebaliknya mimpi yang buruk, membuat kita gelisah, kuatir, resah, takut. Maka orang mencoba menafsirkan mimpi. Tentu mimpi yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang terungkap pada saat tidur. Ada yang menganggap mimpi hanya “bunga” tidur yang tak perlu ditanggapi serius. Tetapi ada juga yang memandang mimpi sebagai hal yang serius sehingga harus dicaritahu maknanya.

Sigmund Freud, seorang psikoanalis berpendapat bahwa mimpi adalah ungkapan alam bawah sadar ketika tidur. Dalam keadaan sadar, kita menginginkan sesuatu, namun tidak terwujud, lalu tertekan dalam alam bawah sadar. Maka pada saat tidur, alam bawah sadar bekerja lalu apa yang ditekan tadi muncul dalam mimpi. Bagaimana pendapat Alkitab tentang mimpi? Dari kisah Yusuf, nampak bahwa mimpi adalah akses langsung Allah dengan manusia. Allah menyatakan  maksud-maksudnya kepada manusia melalui mimpi. Yusuf adalah tukang mimpi, dan mimpi-mimpinya menjadi kenyataan. Ia juga mampu menafsirkan arti mimpi, karena Allah berkenan menyatakan padanya. Kecakapan Yusuf ini membuat nasibnya berubah, dari seorang tertindas, budak, narapidana, menjadi seorang pemimpin besar di negeri asing. Kesuksesan Yusuf dapat dijadikan sumber inspirasi bagi GMIT untuk berjuang membangun pendidikan guna terciptanya generasi-generasi gereja yang mumpuni secara nasional maupun global.

Penjelasan teks

Yusuf merupakan sosok yang paling penting dalam sejarah bangsa Israel. Berbeda dengan kesebelas saudaranya yang lain, nasib Yusuf sangat tragis. Ia dibenci saudara-saudaranya karena ayahnya sangat mengistimewakan dia.  Kebencian mereka bertambah karena dua mimpi Yusuf yang mengimplikasikan bahwa suatu saat ia menjadi raja, dan sanak-saudaranya akan datang menyembah dia. Mimpi itu membuat saudara-saudaranya semakin membenci dia, sehingga mereka berencana membunuh Yusuf. Namun atas arahan Ruben, Yusuf tidak jadi dibunuh tetapi dibuang ke dalam sumur.

Ketika para saudagar Mesir lewat sumur di mana Yusuf dibuang, saudara-saudaranya mengeluarkan dia dan menjualnya kepada mereka. Di Mesir, Yusuf dibeli oleh Potifar, kepala pengawal raja (komandan Paspampres dalam konteks Indonesia). Walau sebagai budak di rumah Potifar, Yusuf selalu berhasil dalam apapun yang dikerjakannya karena Tuhan menyertai dia. Yusuf setia mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.  Potifar kemudian memberi kuasa kepada Yusuf untuk menjadi kepala urusan rumah tangga dan atas segala kepunyaan Potifar.

Namun karena elok paras Yusuf, maka isteri Potifar jatuh cinta kepadanya dan menggodanya untuk bersetubuh dengannya. Yusuf menolak bujuk rayu isteri Potifar. Ia berdiri teguh di atas kebenaran, dan berani menolak godaan itu. Yusuf menganggap ajakan tersebut sebagai sebuah kejahatan dan dosa besar terhadap Allah. Karena kecewa, isteri potifar memfitnah Yusuf dengan tuduhan bahwa budak Ibrani itu melakukan uji coba pemerkosaan terhadap dirinya.  Yusuf kemudian dipenjarakan. Tetapi Tuhan menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi kesayangan kepala penjara. Karena itu, Yusuf dipercayakan oleh kepala penjara untuk menjadi pemimpin atas semua tahanan dan urusan di situ. Yusuf selalu berhasil dengan pekerjaannya karena Tuhan menyertai dia. Di dalam penjara itu pula kecakapan Yusuf dalam menafsirkan mimpi sangat terbukti. Dikisahkan bahwa juru minum dan juru roti raja Mesir  melakukan kesalahan dan sebagai akibat, mereka ikut dipenjara bersama Yusuf. Suatu saat masing-masing bermimpi, namun mereka tidak mampu memahami arti mimpinya. Yusuf kemudian menerangkan arti mimpi mereka masing-masing, dan benar apa yang dikatakannya. Pengalaman itu menjadi bekal yang mengantarnya ke istana Firaun.

Singkat cerita, raja Mesir bermimpi dua kali. Pertama, bahwa  tampak baginya dalam mimpi tujuh ekor lembu tambun, tetapi kemudian muncul pula tujuh ekor lembu kurus. Ketujuh ekor lembu kurus itu memakan habis ketujuh lembuh gemuk tadi. Kedua, tampak pula tujuh bulir gandum yang bernas dan baik, dan kemudian muncul tujuh bulir gandum kurus dan layu. Bulir yang kurus itu menelan habis bulir yang gemuk. Firaun terbangun dan menjadi gelisah dengan mimpi-mimpi itu.

Firaun menyuruh mencari semua orang pintar di Mesir untuk menafsirkan mimpinya. Namun tak satu pun berhasil. Kemudian kepala juru minum memberitahu Firaun tentang  Yusuf yang punya kemampuan menafsirkan mimpi. Ternyata Yusuf berhasil menafsirkan mimpi Firaun, bahwa akan ada masa tujuh tahun Mesir berkelimpahan, dan setelah itu, datang musim kelaparan tujuh tahun pula.

Yusuf kemudian menyarankan Firaun mengangkat seseorang yang berakal budi dan bijaksana menjadi penguasa Mesir, untuk mengumpulkan segala bahan makanan selama masa kelimpahan tujuh tahun itu, agar dapat dimanfaatkan pada saat musim kelaparan di tujuh tahun berikutnya. Usulan Yusuf dinilai sangat berhikmat oleh Firaun. Firaun melihat Yusuf dipenuhi Roh Allah, dan bahwa Allahlah yang memberitahukan kepada Yusuf semuanya itu, sehingga Yusuf sangat berhikmat dan bijaksana. Oleh karena itu, Firaun mengangkat dan melantik Yusuf menjadi penguasa Mesir secara penuh. Ketika itu Yusuf berusia tiga puluh tahun.

Yusuf mengerjakan kepercayaan Firaun sebagaima dengan baik. Ia berkeliling ke seluruh Mesir dan menyuruh mengumpulkan semua hasil panen dan gandum selama tujuh tahun. Yusuf berhasil menimbun banyak sekali gandum dan bahan makanan lainnya. Kemudian datanglah masa kelaparan. Bangsa-bangsa lain mati kelaparan, tetapi Mesir tidak. Ketika rakyat Mesir kelaparan, mereka datang kepada Yusuf dan diberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Dalam kisah berikutnya, diceritakan bahwa saudara-saudara Yusuf juga akhirnya datang ke Mesir untuk mencari makanan. Yusuf walaupun pernah dijual oleh mereka, ia tidak membalas kejahatan mereka dengan kejahatan. Ia melayani saudara-saudaranya, dan memberikan kepada mereka semua yang dibutuhkan. Yusuf senantiasa berpikir positif. Yusuf bahkan melihat ada rencana Allah dibalik kepergiannya ke Mesir untuk menyelamatkan bangsa Israel dikemudian hari. Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya: memang kamu mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara suatu bangsa yang besar. Jadi janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga (Kej. 50:20-21). Melalui pernyataan itu, Yusuf menghibur saudara-saudaranya.

Ketika menjadi penguasa di Mesir itu, Yusuf dikarunai dua anak. Yang pertama dinamai Manasye, karena katanya, Allah telah membuatnya lupa sama sekali kesukaran dan rumahnya. Di sini nampak bahwa Yusuf bukan pendendam. Ia lupa fitnah dari isteri potifar terhadap dirinya maupun tindakan saudara-saudaranya yang sangat jahat, sehingga ia tidak membalas kejahatan mereka dengan kejahatan. Anak yang kedua dinamai Efraim, sebab katanya “Allah memberikan anak baginya di negeri kesengsaraannya. Adanya anak membuat seseorang bersukacita. Dengan Efraim, Yusuf hendak bersaksi bahwa betapa pun ia harus mengalami banyak kepahitan hidup,  namun Allah selalu menyertai dan memberkatinya.

Beberapa catatan bisa disimpulkan dari kisah Yusuf. Pertama, bahwa kehidupan Yusuf tidak pernah lepas dari penyertaan Allah. Itulah sebabnya Yusuf selalu berhasil atas apa yang dilakukannya, baik sebagai budak di rumah Potifar, sebagai tawanan dalam penjara, maupun sebagai penguasa di Mesir. Penyertaan Tuhan nampak kuat dalam mimpi-mimpi Yusuf maupun kecakapannya menafsirkan mimpi. Kedua, Yusuf sangat berhikmat dan bijaksana. Itulah sebabnya di mana pun ia berada, selalu dipercayakan kepadanya kekuasaan. Ketika ia diberi kekuasaan, ia tidak salah menggunakannya. Ia tidak memanfaatkannya untuk kepentingan diri, tetapi kepentingan semua orang. Ia mengerjakan apa yang dinyatakan Tuhan dalam mimpi Firaun. Ketiga, Yusuf adalah pribadi yang memegang teguh iman. Kenikmatan duniawi tidak sedikit pun menggoyakan imannya, karena ia hidup dalam takut akan Allah. Terhadap bujuk rayu isteri Potifar, ia menegaskan bahwa itu adalah kejahatan dan dosa terhadap Allah. Di hadapan Firaun, ia bersaksi tentang kemahakuasaan Allah. Keempat, Yusuf adalah pribadi yang tulus. Ia menjalani hidup dengan keiklasan. Saudara-saudaranya iri hati kepadanya dan membencinya, bahkan mereka menjual dia. Ia difitnah oleh isteri potifar dan dipenjara. Namun ia terima semua perlakuan jahat itu dan menjalaninya dengan tulus. Tak terlihat sama sekali ada niat mendendam dan membalas kejahatan mereka. Yusuf bukan tipe pendendam, tetapi seorang pemaaf, pemurah. Itulah yang membuatnya dilayakan Allah untuk menjadi pemimpin di berbagai level.

Yusuf memenuhi tipe ideal seorang pemimpin sejati. Ia menjadi pemimpin yang hebat, yang berhasil menjadi penguasa istana Mesir, padahal awalnya ia hanya seorang budak, bahkan pernah menjadi narapidana dua tahun dalam penjara. Itu karena pertama-tama Allah menyertainya, tetapi yang kedua, yusuf punya karakter yang kuatsebagai pemimpin. Ia tipe pemimpin yang visioner, yang mampu melihat jauh ke depan tentang nasib bangsa Mesir dan mengantisipasi segala kemungkinan terburuk. Yusuf punya kecakapan manajerial yang ulung, yang mampu mengelola masa-masa kenyang maupun masa-masa lapar dengan baik.

Penutup

Melalui kisah Yusuf, GMIT ingin mengajak warganya untuk membangun mimpi (visi) tentang bagaimana menghasilkan generasi-generasi yang unggul, yang mampu tampil di level nasional maupun global. Mimpi Yusuf adalah intervensi Allah baginya untuk menyatakan maksud-maksud Tuhan. GMIT tak perlu menunggu mimpi yang demikian.

Mimpi-mimpi (maksud-maksud) Allah sudah dinyatakan: bahwa pendidikan adalah tugas utama gereja. Dalam minggu pertama bulan pendidikan ini, kita belajar bahwa Allah melalui Musa memerintahkan umat percaya untuk mengerjakan pendidikan secara tekun, karena hanya dengan itu, generasi orang percaya akan langgeng. Di minggu kedua, kita belajar bahwa Yesus pun, untuk menjadi berhikmat Ia menempuh pendidikan sejak dini. Pada minggu ketiga, kita belajar bahwa pendidikan begitu penting agar lahir buah-buah kehidupan dari manusia. Dan minggu terakhir ini kita belajar bahwa Yusuf, walaupun mengalami penolakkan dari saudara-saudaranya, dijual sebagai budak, dipenjara karena fitnah terhadap dia, tetapi selalu berhasil menjadi pemimpin di mana pun ia berada, bahkan di negeri asing, karena ia belajar mendengarkan dan mengerjakan kehendak Allah. Yusuf tidak hanya bermimpi, tetapi juga mau mengerjakan apa yang dimimpikan. Bahkan apa yang dimimpikan orang lain (Firaun), Yusuf mengerjakannya.

Maka kalau GMIT bermimpi untuk langgeng sebagai gereja di dunia ini, tak ada cara lain kecuali mengerjakan visi (mimpi) Allah di dunia ini, yakni pengajaran (pendidikan). Roh Kudus memang menyertai gereja, tetapi respon dan tanggung jawab kita pun penting. Kalau GMIT ingin punya generasi yang unggul di kancah nasional maupun internasional, entah sebagai ilmuan, pemimpin, manager, teknokrat, bisnismen, dll, maka  pendidikan mesti dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Sejarah membuktikan bahwa tak ada bangsa yang maju tanpa pendidikan yang bermutu. Bangsa-bangsa Barat maju sedemikian rupa, punya ilmuan berbagai berbagai bidang, karena pendidikan dikerjakan dengan baik. Indonesia bisa merdeka, tak lepas dari peran segelintir anak-anak bangsa yang mengecap pendidikan yang baik waktu itu. Sejumlah orang-orang GMIT yang pernah berperan di kancah nasional maupun global (Adrianus Moy, W.Z. Johannes, J. L. Ch. Abineno, dll) karena mereka pernah menikmati pendidikan yang bagus. Mengabaikan pendidikan, berarti mengabaikan masa depan gereja dan masa depan generasi gereja.

Negara-negara maju selalu mengalokasikan dana yang besar untuk pendidikan, karena sadar bahwa pendidikanlah yang bisa membawa perubahan pada nasib bangsanya. Indonesia mengalokasikan anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan. GMIT meminta 2% dari jemaat-jemaat untuk mengurus pendidikan, itu pun nampaknya tidak semua merespon dengan baik. Anggaran memang hanya salah satu unsur dalam urusan pendidikan, namun itu juga vital. Mungkin penggunaannya belum sesuai harapan. Tapi itu soal lain.

Pendidikan tak bisa dikerjakan asal-asalan. Karena hasilnya juga akan asal-asalan. Sebagus apa pun visi (mimpi) GMIT untuk pendidikan, selama gereja belum sungguh-sungguh melihatnya sebagai urusan paling penting, sia-sialah segala usaha kita. Mimpi untuk menghasilkan generasi unggul yang mampu bersaing secara nasional maupun global hanya mimpi, kalau sekolah-sekolah GMIT tidak diperhatikan dengan serius, Kalau anak-anak GMIT tidak disekolahkan dengan baik.

Gereja mesti berbenah. Setiap jemaat mesti memandang pendidikan sebagai urusan paling penting. Alokasi anggaran pelayanan tiap tahun mesti lebih banyak diperuntukan bagi pendidikan. Gereja harus berani menyekolahkan anak-anak jemaat untuk bidang ilmu apa saja sampai perguruan tinggi, mendukung sekolah-sekolah GMIT, memberi perhatian besar pada pembinaan anak-anak, dan  mengerjakan pengajaran secara bermutu bagi anak-anak sekolah minggu dan kelas katekesasi. Gereja tidak perlu ragu untuk mengalokasika anggaran bukan hanya 2%, tetapi bila perlu hingga 20% bagi pendidikan anak-anak di sekolah-sekolah formal maupun pembinaan anak-anak dalam jemaat. Anggaran yang selama ini banyak diperuntukan untuk ritual, ibadah, seremoni, urusan-urusan teknis, administrasi, bolehlah diubah agar lebih banyak untuk urusan pendidikan. Ini mimpi, tetapi mimpi baik kalau kita ingin GMIT bisa berkiprah di level nasional maupun global. Kalau kita bermimpi ada anak-anak GMIT yang menjadi “Yusuf” masa depan, entah sebagai pemimpin negara, Guberur, Bupati, ilmuan, pengusaha hebat, manajer ulung, arsitek besar, pilot, nakoda, jenderal polisi atau tentara, dll, kita mesti mulai mengurus pendidikan mereka dari gereja. Negara mengerjakan bagiannya dan gereja pun melakukan panggilannya. Selamat bermimpi, selamat mengerjakan mimpi. Tuhan memberkati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *