“Titip Anak-Anak Stunting. Mohon Dibantu ya, Bu?” Lukas 19:28-44 – Pdt. Wanto Menda

Pengantar

“… Saat Pak Presiden sedang bicara dengan ibu-ibu dan anak-anak stunting, Pak Gubernur bisik ke beliau, di sana ada pimpinan gereja dan pimpinan DPRD NTT.  Beliau langsung ke tempat kami. Dengan sikap santun [ia] berkata: “Titip anak-anak stunting, mohon dibantu ya, Bu”…?” (Kutipan ini berasal dari Pdt. Mery Kolimon di salah satu grup whatsapp, Kamis, 24/3).

Sejak zaman kuno, kota adalah simbol peradaban. Ia membentuk semangat, karakter, nilai, etos atau budaya manusia untuk kebaikan atau keburukan; sejahtera atau derita; sehat atau sakit; damai atau perang;

Akhir-akhir ini kita mendengar apa yang disebut smart city (kota pintar). Smart city merupakan upaya-upaya inovatif yang dilakukan ekosistem kota dalam mengatasi berbagai persoalan dan meningkatkan kualitas hidup manusia.

Kota Kupang misalnya, dalam beberapa tahun terakhir sedang giat-giatnya membangun berbagai infrastruktur kota pintar, termasuk taman-taman kota yang baru saja diresmikan oleh Pak Jokowi. Taman-taman itu akan membuka ruang-ruang perjumpaan sekaligus mendorong roda ekonomi warga kota. Rencana pemindahan dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan juga merupakan bagian dari transformasi peradaban itu.

Penjelasan teks

Hancurnya kota-kota di Ukraina akibat dibom oleh Rusia tepat pada perayaan minggu-minggu sengsara atau pra Paskah belakangan ini, mungkin bisa menolong kita memahami perasaan yang berkecamuk dalam diri Tuhan Yesus ketika Ia memasuki kota Yerusalem untuk merayakan Paskah.  

Yerusalem adalah ibu kota Israel. Kota ini disebut lebih dari 800 kali di dalam Alkitab dari kitab Kejadian sampai Wahyu. Kata Yerusalem diduga berasal dari kata Ibrani syalomyang berarti damai. Para nabi bernubuat bahwa bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke Yerusalem/Zion untuk menyembah Allah, karena Bait Allah berdiri di kota ini. Inilah kota Allah menurut Mazmur 48, kota dimana umat merawat spiritualitas dengan sesama dan bersama Allah.

Pada masa Yesus, Israel/Yerusalem merupakan wilayah jajahan kerajaan Romawi. Kitab-kitab Injil, tidak menyebut pasti berapa kali Yesus datang ke Yerusalem. Bisa jadi berkali-kali, namun secara gamblang, paling kurang tersedia 3 cerita yang mengisahkan kehadiran Tuhan Yesus di kota kudus ini, yakni ketika Ia disunat pada usia 8 hari (Lukas 2:21), ketika mengikuti perayaan Paskah pada usia 12 tahun (Lukas 2:41) dan pada perayaan Paskah menjelang kematian-Nya (Lukas 19:28 dst-nya).

Keledai dan Pesan Anti Kekerasan

Ada dua peristiwa dalam Lukas 19:28-44 yang menjadi renungan Minggu Sengsara kelima ini. Pertama, ayat 29-40 tentang Tuhan Yesus mengendarai keledai memasuki kota Yerusalem dan menarik simpati para peziarah yang hendak merayakan Paskah. Kedua, ayat 41-44 tentang Tuhan Yesus menangisi kota Yerusalem. Dua peristiwa ini kontras oleh sebab ada pawai sukacita tetapi juga ungkapan kesedihan yang mendalam .

Rasa sukacita diwakili oleh massa peziarah. Mereka mengelu-elukan Yesus karena didorong oleh harapan datangnya Mesias politik yang akan membebaskan mereka dari belenggu penjajahan Romawi. Massa rupanya melihat sosok Mesias itu dalam diri Yesus. Dan, pada saat yang sama, Yesus sendiri menyadari diri-Nya sebagai Mesias namun tidak dalam pengertian politis seperti yang diinginkan oleh massa.  

Misi kemesiasan Yesus adalah mencari, menyembuhkan, menyelamatkan, meneguhkan, menghibur, mengajar, menegur, memberi makan, membangkitkan, mengasihi, mengampuni, dan sebagainya.

Misi itu telah dikerjakan dan menghasilkan pertobatan bagi sebagian besar umat yang percaya pada pengajaran Yesus. Tetapi di lain pihak memancing amarah dan benci separuh pemimpin agama (Farisi, Zaduki, Ahli-ahli Taurat, Herodes). Paling kurang, dalam beberapa kejadian terkait penegakan aturan-aturan agama, mereka kehilangan muka berhadapan dengan Yesus. Misalnya dalam peristiwa perempuan yang ditangkap karena berzina dan peristiwa membayar pajak kepada kaisar.

Bagi kaum elit ini, Yesus adalah tokoh yang berbahaya sehingga harus dibunuh. Yesus tahu rencana jahat itu. Bahkan sejak memulai pelayanan di kota kelahiran-Nya di Nazareth pun sudah ada percobaan pembunuhan. Oleh sebab itu Yesus secara sadar mengatur strategi sedemikian rupa agar tidak dibunuh secara diam-diam. Kalau pun harus mati di tangan para musuh, Ia ingin kematian-Nya bukan kematian misterius melainkan kematian yang disaksikan oleh banyak orang.

Strategi itu terlihat jelas ketika Ia memilih memasuki kota Yerusalem secara dramatis dengan mengendarai seekor keledai muda. Aksi heroik ini agaknya dilakukan secara sengaja untuk mengingatkan memori kolektif orang-orang Yahudi pada nubuatan nabi Zakaria. Ia mau memberi pesan terbuka kepada khalayak yang akan merayakan Pesta Paskah entah kawan maupun lawan bahwa Ia datang untuk membawa damai. Bukan perang. Bukan kekerasan.

Pendeta Prof. Semuel Hakh, menyebut Yesus masuk dan keluar kota Yerusalem pada hari Minggu, Senin dan Selasa. Jadi selama 3 hari berturut-turut Yesus secara sengaja ‘mondar-mandir’ menarik perhatian publik menuju hari kematian-Nya. Tidak ada kesan untuk bersembunyi atau melarikan diri dari ancaman pembunuhan. Ia ingin menghadapi kematian-Nya secara gentlemen, hati-hati, dan gentar.

Yesus Menangis

Menangis, mencucurkan air mata, timbul dari perasaan sedih maupun senang. Pada kondisi sedih, menangis dipicu oleh penderitaan yang berat atau perasaan yang hancur karena berbagai sebab.

Ada dua catatan tentang Yesus menangis, yaitu pada peristiwa kematian Lazarus dan saat memandang kota Yerusalem sebelum kematian-Nya.

Menangisi orang yang meninggal dunia adalah respon yang wajar dan dialami hampir semua orang. Akan tetapi menangisi sebuah kota, yang tampak baik-baik saja (kecuali porak-poranda karena bencana) rasanya tidak lazim sehingga timbul pertanyaan, seberapa pentingkah Yerusalem sampai Yesus menangisi kota itu?

Rupanya menurut Lukas, tangisan itu dilatarbelakangi oleh “penglihatan” Yesus sendiri tentang kehancuran kota Yerusalem pada waktu yang tidak lama lagi.

“Kasihan, alangkah baiknya kalau hari ini engkau tahu apa yang dapat mendatangkan perdamaian! Tetapi sekarang engkau tidak dapat melihatnya.

Engkau akan mengalami suatu masa, di mana musuhmu membuat rintangan-rintangan di sekelilingmu; mereka akan mengepungmu dan mendesakmu dari segala sudut.

Mereka akan menghancurkan engkau bersama seluruh pendudukmu; dan tidak satu batu pun akan mereka biarkan tinggal tersusun pada tempatnya, sebab engkau tidak memperhatikan saat ketika Allah datang untuk menyelamatkan engkau!” Demikian Yesus mengungkapkan kesedihan-Nya. Apakah nubuatan Yesus itu terbukti? Dari sejarah kita mengetahui bahwa tahun 70 M, Kaisar Nero membakar habis kota Yerusalem.

Aplikasi

Kita bersyukur bahwa secara nasional NTT merupakan salah satu kota paling toleran. Tentu agama Kristen berkontribusi bagi suasana kerukunan itu. Namun jangan lupa persoalan kemiskinan, lingkungan hidup, pendidikan, perdagangan orang, kekerasan berbasis gender, kriminalitas, korupsi, HIV/AIDS, gizi buruk, stunting, dll., masih merupakan masalah serius di provinsi ini.

Terhadap kondisi buruk itu, barangkali kita perlu menangisinya sebab dengan menangis relung jiwa kita yang tertekan terasa lebih ringan menghadapi realitas. Tapi jangan lupa, menangis tidak serta merta mengubah keadaan. Yesus tidak menangis melulu. Sehari atau dua hari setelah ia menangisi kota Yerusalem, Ia justru menegur para perempuan yang menangis melihat penderitaan-Nya memikul salib.  

”Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!”

Itulah cara Yesus melihat realitas. Baru hari kemarin dia tenggelam dalam kesedihan memandangi hiruk pikuk kota, akan tetapi di ujung kematian, justru mata-Nya yang sembab menyorot pada nasib satu generasi manusia yang tinggal di dalam kota itu. Bukan lagi tembok gedung atau Bait Allah yang Ia ratapi melainkan nasib suatu generasi manusia yang sangat Ia kasihi dan cintai. Nasib suatu generasi manusia yang akan segera binasa, baik oleh kuasa dosa maupun oleh tirani Romawi.

Pada masa kini, teguran Yesus kepada perempuan-perempuan yang menangis itu mungkin bisa juga dikenakan pada separuh perempuan NTT yang nyaris tidak berdaya memikul beban kemiskinan yang mewaris. Di dalam tekanan kemiskinan yang berat itu, mereka dianugerahi kodrat untuk melahirkan generasi manusia NTT. Generasi macam apa itu? Apalagi kalau bukan generasi dengan potensi bawaan kurang gizi, gizi buruk, stunting dan penyakitan pula.

Kemarin, Kamis, 23/3-2022, di tengah suasana umat Kristen merayakan minggu-minggu sengsara, Presiden Jokowi mengunjungi anak-anak stunting di kabupaten Timor Tengah Selatan. Sebelumnya ia meresmikan taman kota di Pantai Kelapa Lima-Kupang. Warga antusias menyambut Presiden. Mereka bersorak-sorai dan mengelu-elukan Pak Jokowi. Kita tentu mengapresiasi perhatian pemerintah pada isu stunting ini.

Menurut data per Agustus 2021, jumlah anak stunting di NTT sebanyak 81.482 orang, dengan urutan lima besar stunting tertinggi berturut-turut diraih kabupaten Sumba Barat Daya, TTS, Kota Kupang, Sabu-Raijua dan TTU. Angka-angka stunting itu mengindikasikan kualitas sumber daya sebagian putra-putri NTT, berada di ambang ‘kematian’ masa depan, jika tidak ditangani secara serius dan kolaboratif. Tiga dari lima kabupaten/kota itu merupakan basis pelayanan GMIT, yang berarti sebagian besar dari jumlah tersebut adalah anak-anak GMIT.

Lantas, apa yang bisa dilakukan gereja-gereja di NTT? Ini pertanyaan penting tetapi bukan pertanyaan mendasar. Pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah gereja merasa bahwa stunting adalah urusan gereja? Kalau ya, “Titip anak-anak stunting. Mohon dibantu ya, Bu?” ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *