Minggu-Minggu Sengsara ataukah Pra Paskah

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Gereja-gereja Protestan arus utama di Indonesia terbagi dua dalam hal merayakan masa tujuh minggu sebelum Paskah. Yang satu memilih tradisi Minggu Sengsara dan lainnya Pra Paskah.

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Kristen Sumba (GKS) dan beberapa yang lain, mewarisi tradisi perayaan Minggu Sengsara. Sementara Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB), Gereja Kristen Indonesia (GKI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan lainnya mewarisi perayaan Pra Paskah.

Kedua perayaan ini sebenarnya merujuk pada satu moment perayaan namun akar historisnya berbeda. Tradisi Minggu Sengsara meniadakan Rabu Abu dan Kamis Putih. Sebaliknya, tradisi Pra Paskah lekat dengan kedua perayaan itu.

Untuk membangun pemahaman bersama di kalangan para presbiter dan anggota GMIT mengenai pokok ini, UPP Pengembangan Teologi Majelis Sinode GMIT mengadakan diskusi online dengan tema: “Tradisi Masaraya Sengsara Kristus dan Relevansinya bagi Kehidupan dan Pelayanan Masa Kini”.

Pdt. Benyamin Nara Lulu, M.Th., (Ketua Badan Diakonia GMIT/Sekretaris MS GMIT 2011-2015) dan Pdt. Dr. Irene Umbu Lolo (dosen liturgika dari STT Lewa-Sumba), yang menjadi nara sumber pada kegiatan ini, menjelaskan bahwa secara historis perayaan sengsara Tuhan Yesus belum dikenal oleh Gereja mula-mula. Perayaan ini baru muncul kemudian ketika Gereja pada masa itu merasa perlu mengadakan sebuah persiapan merayakan Paskah yang lebih lama dan serius.

Masa persiapan itu lantas diisi dengan puasa selama 40 hari. Kapan memulainya? Gereja mula-mula menghitung permulaan puasa pada hari Rabu, enam minggu sebelum Paskah. Kebiasaan ini menjadi cikal bakal penetapan perayaan Rabu Abu pada abad VIII.

Dalam ibadah Rabu Abu, umat menyatakan perkabungan, penyesalan dosa dan pertobatan. Sesudah itu, imam menandai dahi setiap orang dengan tanda salib dari abu yang berasal dari sisa pembakaran daun palem pada tahun sebelumnya. Abu itu merupakan symbol bahwa manusia adalah makhluk fana.  

Kebiasaan itu bertahan hingga pada kurun waktu abad pertengahan di mana pada masa itu muncul perdebatan teologis mengenai pengakuan dosa dan perjamuan kudus/ekaristi yang merupakan inti dalam perayaan Rabu Abu dan Kamis Putih.

Alhasil, gereja Protestan baik Lutheran maupun Calvinis meniadakan puasa. Gereja-gereja di Nederland, bahkan mengganti masa puasa dengan minggu-minggu sengsara. Mengutip Abineno dalam buku “Pemberitaan Firman Pada Hari Raya-Hari Raya Gerejani” (1970), dikatakan bahwa pada sinode Dordtrecht 1579 dan sinode Assen 1619, ditetapkan bahwa tiap-tiap tahun diselenggarakan khotbah sengsara selama tujuh minggu sebelum Paskah. Dari situlah kebiasaan itu dibawa oleh para misionaris ke Indonesia pada masa VOC dan menjadi perayaan di kalangan gereja-gereja Calvinis seperti GMIT.  

Namun dalam perkembangan sejarah liturgi, kata Pdt. Irene, muncul gerakan liturgis pada abad ke-19 yang mendorong adanya pembaruan liturgi gereja Protestan. Gerakan ini menilai bahwa liturgi gereja Protestan miskin symbol sehingga gereja-gereja Protestan didorong untuk kembali mempraktikkan spiritualitas gereja Purba dalam merayakan Paskah.

Gerakan liturgis juga melahirkan kalender liturgis dan common lectionary (daftar bacaan alkitab tahunan) yang berpengaruh pada pemberitaan firman di kalangan gereja Protestan. Perkembangan liturgi ini makin meluas pada abad 20 setelah Konsili Vatikan II.  

Hingga tahun 80-an dan sesudahnya, sebagian gereja Calvinis mengikuti kalender liturgi yang sudah umum dipakai dan hal itu ikut mempengaruhi berkembangnya tradisi Pra Paskah di kalangan gereja-gereja arus utama di Indonesia.

Di samping penjelasan historis yang dikemukakan oleh kedua narasumber tersebut, tahun 2017 yang lalu, Pdt. Dr. Andreas Yewangoe, menjelaskan -dalam sebuah artikel- bahwa Rabu Abu dan Kamis Putih tidak boleh dicantolkan begitu saja dalam kalender gerejawi dari gereja-gereja yang tidak mewarisi tradisi itu. Hal itu menurutnya disebabkan oleh adanya problem teologis mengenai pokok tertentu di sekitar pengakuan dosa, puasa, dan perjamuan kudus (ekaristi) pada jaman Reformasi Gereja.  

“Saya kira adalah fakta sejarah bahwa perayaan itu sangat lazim di dalam Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks. Di dalam gereja-gereja Reformasi hampir tidak lazim. Itu tidak berarti kita tidak boleh belajar. Tetapi kita juga harus tahu mengapa hal itu tidak lazim di dalam gereja-gereja Reformasi. Jangan-jangan ada persoalan teologis di belakangnya.” (baca penjelasan Yewangoe mengenai pokok ini di link: https://sinodegmit.or.id/tentang-rabu-abu-dan-kamis-putih-2/

Dalam artikel berjudul “Tentang Rabu Abu dan Kamis Putih” itu, Pdt. Yewangoe menegaskan, “Kalau kita mau menerapkan sesuatu yang selama ini belum menjadi tradisi, kita harus tahu betul seluk-beluknya. Dengan demikian kita terhindar dari kesan sekadar mencantolkan begitu saja di kebiasaan dan/atau liturgia kita,” tulis Pdt. Yewangoe.

Penegasan teolog dogmatika ini perlu diberi perhatian mengingat kadang-kadang muncul praktik ibadah Rabu Abu dan Kamis Putih di lingkup jemaat/gereja yang mewarisi tradisi Minggu Sengsara. Padahal, semestinya Rabu Abu hanya dirayakan di gereja yang mewarisi tradisi Pra Paskah. 

Kembali pada penjelasan kedua narasumber sebelumnya tentang praktik puasa 40 hari sebelum Paskah sebagai warisan spiritualitas gereja purba/perdana maka keduanya mengusulkan agar sebaiknya perayaan minggu-minggu sengsara tidak hanya menekankan aspek ritual tetapi juga perlu dibarengi pula dengan tindakan solidaritas yang nyata dengan sesama yang menderita.

“Kita perlu menghayati kesengsaraan Yesus dalam kesadaran bahwa apa yang Yesus alami masih terus kita alami sekarang dimana kekerasan terjadi di mana-mana sehingga masa 40 hari perlu dijadikan moment solidaritas dengan sesama,” kata Pdt. Irene. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *