www.sinodegmit.or.id, Sidang Sinode GMIT ke-34 tahun 2019 menetapkan bulan Agustus sebagai Bulan Kebangsaan. Pelaksanaannya pun dimulai sejak tahun 2020. Jadi tahun 2022 adalah Bulan Kebangsaan yang ketiga. Apa itu Bulan Kebangsaan? Ini adalah bulan di mana GMIT merenungkan keberadaannya sebagai warga bangsa Indonesia.
Sebenarnya Kebangsaan adalah sila pertama dalam Pancasila Soekarno. Pancasila Soekarno adalah Pancasila yang Soekarno sampaikan dalam pidato di sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno memberi urutan begini. Sila pertama, Kebangsaan. Sila kedua, Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Sila ketiga, Demokrasi. Sila keempat, Keadilan Sosial. Sila kelima, Ketuhanan.
Pancasila ini lalu menjadi Piagam Jakarta. Piagam Jakarta dihasilkan oleh Tim 9 pada 22 Juni 1945. Tim 9 dibentuk oleh BPUPKI. Namun oleh Tim 9, Sila Kebangsaan dihilangkan. Sebagai gantinya dibuatlah sila “Persatuan Indonesia” dan ditempatkan sebagai sila ketiga.
Dalam Piagam Jakarta sila kedua letaknya tetap. Tetapi bunyinya berubah menjadi “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Sila ketiga diubah menjadi sila keempat. Bunyinya, “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Sila keempat diubah menjadi sila kelima. Bunyinya, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Terakhir, sila kelima diubah menjadi sila pertama. Bunyinya, “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya.” Pada 18 Agustus 1945, atas masukan dari utusan Indonesia Timur, kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”dihapus. Sila pertama pun diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila versi 18 Agustus 1945 inilah yang diterima sampai sekarang.
Dari gambaran ini terlihat bahwa antara Pancasila versi Soekarno dan Pancasila versi Piagam Jakarta serta versi 18 Agustus 1945, terjadi perubahan-perubahan. Susunannya berubah. Namun yang lebih penting adalah hilangnya sila Kebangsaan.
Ini disebabkan oleh kekuatiran Tim 9 akan adanya pihak tertentu di kalangan pemerintahan Jepang yang hendak memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dalam tiga atau empat negara. Itu sebabnya sila “Persatuan Indonesia” dimasukkan sebagai penggantinya. Tujuannya adalah agar seluruh kepulauan Indonesia menjadi satu negara.
Namun hilangnya sila Kebangsaan ini membuat apa yang Soekarno maksudkan menjadi kabur. Bahkan hilangnya sila Kebangsaan sempat membahayakan Indonesia ketika Tim 9 memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Syukurlah, oleh pekerjaan Roh Kudus, tujuh kata dihapus pada 18 Agustus 1945.
Untuk memahami makna kebangsaan, berikut ini adalah kutipan pidato Soekarno dalam buku Risalah Sidang BPUPKI/PPKIhalaman 95-96:
“Karena itu jikalau tuan-tuan terima baik, marilah mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat. Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Selebes, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satunationale staat… Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! Semua buat semua!”
Dari kutipan pidato ini terlihat bahwa gagasan Soekarno terkait sila Kebangsaan adalah perlakuan terhadap semua manusia Indonesia secara setara. Setara secara secara suku, agama, ekonomi dan sebagainya. Tidak ada yang diistimewakan. Tidak ada dikotomi; mayoritas – minoritas, Jawa – luar Jawa, kaya – miskin, dan sebagainya. Semuanya setara dalam satu bangsa: Indonesia.
Dengan pengertian ini maka Bulan Kebangsaan dapat disebut juga Bulan Kesetaraan. Yang setara adalah semua warga bangsa dan bingkai NKRI. Ini adalah cita-cita yang luhur. Apakah dapat terwujud?
Jawabannya tergantung apakah kita orang yang pesimis atau optimis. Bagi orang yang pesimis, cita-cita ini hanya omong kosong. Sebab kenyataannya, ketidakadilan dan diskriminasi terjadi di mana-mana. Tetapi bagi orang yang optimis, cita-cita ini akan terwujud ketika semua warga bangsa mengupayakannya.
Bangsa Indonesia yang baru menginjak usia 77 tahun saat ini, masih membutuhkan banyak waktu sampai semua elemen bangsa sadar akan kesetaraan dalam NKRI. Amerika Serikat membutuhkan lebih dari 200 tahun baru dapat memperlakukan warga kulit hitam setara dengan warga kulit putih. Jadi memang butuh waktu yang panjang dalam mewujudkan kesetaraan. Sekalipun demikian kemungkinan akan kesetaraan itu tetap ada. Itu merupakan tugas semua warga bangsa, khususnya orang Kristen.
Sepanjang apapun waktu yang dibutuhkan, tidak soal. Sebab Indonesia sudah punya modal yaitu Pancasila. Pancasila lahir dari hikmat yang dikaruniakan Tuhan kepada para pendiri bangsa. Pancasilalah yang menjadi pengikat seluruh warga Indonesia.
Sebagai pengikat, Pancasila lebih kuat dari angkatan bersenjata. Pancasila juga lebih kuat dari berbagai macam peralatan perang. Bahkan setelah berkali-kali dirongong, Pancasila tetap ada. Dari kiri Pancasila dirongrong oleh paham sosialis/komunis. Dari kanan Pancasila juga dirongrong oleh paham keagamaan konservatif. Belum lagi rongrongan separatis dari semangat kesukuan yang tinggi. Sekalipun demikian, Pancasila tetap bertahan.
Jadi dapat kita katakan bahwa Pancasila merupakan anugerah Tuhan bagi bangsa Indonesia. Kehadiran Pancasila menjadi bukti kata-kata Pengkhotbah: “Hikmat lebih baik dari alat-alat perang…”. Kebenaran Firman Tuhan ini telah terbukti dalam perjalanan bangsa Indonesia. Jadi Pengkhotbah 9:18 terbukti dalam Pancasila.
Selain itu, dalam Pengkhotbah 9:13-18 terdapat hal lain yang tidak kalah pentingnya. Hal penting itu tercermin dalam tema hari ini: “Warga Bangsa Yang Berhikmat.Ada tiga hal yang dapat direnungkan.
Pertama,warga bangsa yang berhikmat sadar bahwa sebuah bangsa senantiasa ada dalam ancaman. Tetapi justru ancaman itulah yang membuatnya selalu waspada (ayat 13-14). Dalam bagian ini tertulis ada sebuah kota kecil. Penduduknya sedikit. Dalam kondisi yang rapuh, mereka diserang oleh seorang raja yang agung. Kota itu dikepung dan hendak diruntuhkan.
Ini menunjukkan bahwa kehidupan berbangsa senantiasa ada dalam ancaman. Setidak-tidaknya tantangan. Ada banyak pergumulan. Tetapi ancaman, tantangan dan pergumulan itulah yang membuat sebuah bangsa menjadi waspada. Tidak lengah. Bahkan justru membuatnya menjadi kreatif. Kewaspadaan yang dijalani terus-menerus akan membuat bangsa menjadi kokoh.
Hal yang sama dapat dilihat pula dalam kehidupan sebagai orang Kristen di Indonesia. Sesuai data dari Kementerian Dalam Negeri, pada 31 Desember 2021 penganut agama Kristen di Indonesia berjumlah 20,45 juta jiwa atau 7,47% dari total penduduk Indonesia yaitu 273,87 juta jiwa. Jumlah yang demikian membuat umat kristiani tidak bebas mengekspresikan dirinya di beberapa wilayah.
Misalnya, ada sekolah yang mewajibkan semua siswi, termasuk siswi Kristen, mengenakan jilbab. Sekalipun demikian, iman para siswi Kristen itu tidak goyah. Beberapa waktu yang lalu beredar video perempuan berjilbab yang menyanyi dan bergoyang dengan lagu “Tuhan Yesus Tidak Berubah”. Ada banyak video serupa yang viral di Tiktok. Sebenarnya video itu pertama kali dibuat oleh siswi Kristen yang diwajibkan mengenakan jilbab. Hal itu lalu ditiru juga oleh siswi-siswi yang non Kristen. Di sini terbukti bahwa tantangan iman dijadikan peluang untuk bersaksi tentang Tuhan Yesus.
Ini merupakan salah satu contoh bagaimana tantangan membuat seseorang menjadi semakin kreatif dan kokoh dalam imannya. Hal yang sama terjadi juga dalam kehidupan sebagai warga bangsa. Karena itu tidak usah takut terhadap tantangan, ancaman dan pergumulan. Semuanya harus dihadapi. Sebab semua itulah yang membuat hidup kita sebagai bangsa dan gereja semakin kokoh.
Kedua,warga bangsa yang berhikmat ikut bertanggungjawab atas keselamatan bangsa sekalipun jasanya dilupakan (ayat 15). Dalam bagian ini disebutkan bahwa ada seorang miskin yang berhikmat. Dengan hikmatnya dia menyelamatkan seluruh kota. Namun tidak ada orang yang mengingatnya. Dengan kata lain, jasanya dilupakan.
Hal ini merupakan pengingat bagi semua warga bangsa agar ikut dalam perjuangan demi keselamatan dan kesejahteraan bangsa. Soal apakah jasanya akan diingat atau dilupakan, itu bukanlah hal yang penting. Sebab yang penting adalah keselamatan dan kesejahteraan bangsa yang diperoleh telah menjadi bagian dari keselamatan dan kesejahteraan dirinya. Jadi semua warga bangsa, termasuk orang Kristen, mesti terlibat aktif dalam upaya memajukan bangsa sehingga tercapai cita-cita kemerdekaan yaitu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Ada seorang tokoh agama di Ende berkata begini: “Pemimpin daerah dan pemimpin agama, sama-sama berpolitik. Bedanya, para pemimpin daerah mengambil jalan politik kekuasaan. Sedangkan para pemimpin agama mengambil jalan politik kesejahteraan.” Perkataan ini ada benarnya.
Contohnya, di suatu desa ada jembatan yang putus akibat banjir. Bagi orang yang mengambil jalan politik kekuasaan, cara memperbaikinya adalah dengan memengaruhi para pembuat keputusan di pemerintahan sehingga mengucurkan anggaran. Cara ini akan membuat jasanya diingat dan dikapitalisasi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih lama atau lebih besar lagi.
Sedangkan orang yang mengambil cara politik kesejahteraan, akan memotivasi warga desa sehingga bergotong royong memperbaiki jembatan secara swadaya. Hal ini karena dirinya sadar bahwa kalau menunggu perbaikan jembatan dari pemerintah, waktunya bisa lama sekali. Bahkan bisa saja memakan waktu bertahun-tahun. Padahal jembatan adalah kebutuhan warga desa yang tidak bisa ditunda.
Ketika dengan swadaya dan gotong royong jembatan berhasil diperbaiki, itu karena pengorbanan semua warga desa. Yang menikmati jembatan pun semua warga desa. Dengan demikian jasa orang yang pertama mengeluarkan ide dilupakan. Jasanya tidak dikapitalisasi untuk mendapatkan kekuasaan.
Orang yang mengambil jalan politik kesejahteraan sama dengan orang miskin yang berhikmat dalam nas ini. Sekalipun jasanya dilupakan, namun manfaatnya dirasakan oleh semua warga bangsa. Karena jalan politik kekuasaan hanya dapat dimiliki oleh sebagian kecil orang Kristen maka baiklah kita mengambil jalan politik kesejahteraan.
Ketiga,warga bangsa yang berhikmat sadar bahwa hikmat lebih baik dari kekuasaan maupun peralatan perang (ayat 16-18). Pada umumnya perkataan seseorang didengar karena status sosial atau kedudukannya. Apabila yang berbicara seorang pembesar, perkataannya didengar sekalipun tidak ada isinya. Sebaliknya, apabila yang berbicara seseorang yang bukan siapa-siapa, perkataannya diabaikan. Padahal bisa saja apa yang dikatakan merupakan sesuatu yang penting.
Bagian ini mengingatkan kita agar mengubah kebiasaan ini. Hindarilah mendengar perkataan seseorang karena statusnya. Sebaliknya, dengarlah perkataan yang bermakna, sekalipun diucapkan oleh seseorang yang bukan siapa-siapa. Sebab biasanya perkataan yang penuh hikmat datang dari orang-orang biasa.
Ingatlah bahwa hikmat lebih baik dari apapun juga. Ketika kekuasaan dibagi, ada yang orang yang kekuasaannya berkurang dan ada yang bertambah. Begitu juga dengan peralatan perang. Ketika dibagi, ada pihak yang peralatan perangnya berkurang. Sebaliknya, ada pihak yang peralatan perangnya bertambah. Tetapi tidak demikian dengan hikmat. Ketika hikmat dibagi, orang yang menerima bertambah hikmatnya. Tetapi orang yang memberi, tidak berkurang hikmatnya.
Sebagai orang Kristen yang sudah mengetahui Firman Tuhan ini, marilah kita berbagi hikmat dengan sesama warga bangsa. Dengan demikian apabila ada pihak-pihak yang masih melakukan diskriminasi, ketidakadilan dan berbagai bentuk kejahatan, kita tidak usah ikut-ikutan.
Kita justru mesti memberikan contoh dan teladan. Sikap memperlakukan sesama warga bangsa dengan setara harus dimulai oleh orang Kristen. Sebab hanya dengan demikian kita dapat disebut sebagai warga bangsa yang berhikmat. Tuhan Yesus menolong kita dalam mewujudkan Firman Tuhan ini. Amin.