www.sinodegmit.or.id, Dalam bukunya, “Berada dari Ada Walau Tak Ada”, Prof. Pdt. John Titaley menulis bahwa setiap orang Indonesia memiliki dua identitas. Identitas pertama disebut identitas primordial. Identitas ini bisa berupa ras, suku, budaya, agama dan sebagainya. Sifatnya beragam. Sedangkan identitas kedua disebut identitas nasional. Namanya Pancasila. Sifatnya tunggal. Mengapa tunggal?
Sebab Pancasila merupakan muara atau pertemuan dari berbagai bentuk keberagaman. Kelima sila dalam Pancasila, apabila dilepaskan untuk berdiri sendiri-sendiri, akan saling bertentangan satu sama lain. Ada paradoks di dalamnya. Hal ini karena pemikiran Soekarno sebagai pencetus Pancasila didasarkan pada tiga aliran politik utama pada masanya. Ketiga aliran politik itu adalah Islamisme, Nasionalisme dan Sosialisme. Sebenarnya ketiga aliran politik ini sulit untuk dipersatukan. Namun dalam Pancasila, semuanya dapat berdampingan secara harmonis.
Kita kembali ke soal identitas orang Indonesia. Kedua identitas ini, primordial dan nasional, merupakan kenyataan yang tidak boleh diingkari oleh bangsa Indonesia. Karena itu orang Indonesia adalah primordialis sekaligus nasionalis. Bukan satu untuk semua. Bukan pula semua untuk satu. Melainkan semua untuk semua.
Seseorang dilahirkan dalam identitas primordial. Itu merupakan identitas pertamanya. Setelah itu, seiring berjalannya waktu, identitas nasional akan semakin menjadi bagian dari dirinya. Dengan demikian identitas nasional menjadi identitas kedua baginya.
Misalnya begini. Saya dilahirkan sebagai orang Amarasi. Diberikan nama dengan nama dari Alkitab Kristen dan marga Amarasi. Dimasukkan ke dalam persekutuan Kristen melalui baptisan dengan tradisi GMIT. Diajarkan untuk mengenal iman Kristen dalam keluarga sejak balita. Karena itu Kristen-Amarasi adalah identitas pertama saya. Inilah identitas primordial saya.
Ketika berumur enam tahun saya masuk Sekolah Dasar (SD). Di SD saya mulai belajar mengenal Bahasa Indonesia. Ada mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), yang kini disebut Pendidikan Pancasila dan Kewarganeraan (PPKn) pada Kurikulum 2013 atau Pendidikan Pancasila pada Kurikulum Merdeka. Saya juga belajar menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu-lagu perjuangan lainnya. Mengenakan pakaian seragam nasional. Mengikuti upacara bendera sebagai orang Indonesia, dan sebagainya.
Lalu apakah dengan menerima identitas sebagai orang Indonesia, saya lalu berhenti menjadi orang Kristen-Amarasi? Tidak! Kristen-Amarasi tetap menjadi identitas saya sampai hari ini. Tetapi serentak dengan itu saya juga memiliki identitas sebagai orang Indonesia. Kedua identitas ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri saya.
Hal yang hampir sama juga dialami oleh mayoritas orang Indonesia lainnya. Mungkin hanya orang Indonesia yang terlahir dalam keluarga TNI/Polri, birokrat, politisi atau masyarakat urban saja yang menerima identitas primordial dan nasionalnya dalam waktu yang bersamaan. Tetapi saya yakin jumlahnya hanya sedikit.
Dengan pemahaman ini maka ketika kita berbicara tentang keberagaman/kebhinekaan, sebenarnya kita sedang berbicara tentang identitas pertama orang Indonesia. Lalu ketika kita berbicara tentang Pancasila, kita sedang berbicara tentang identitas kedua orang Indonesia. Kedua identitas ini melekat pada diri setiap orang Indonesia. Karena itu upaya untuk meniadakan salah satunya merupakan tindakan sia-sia. Yang mesti dilakukan dengan kedua identitas ini adalah membedakan, memperlakukan dan menghormatinya pada tataran masing-masing.
Identitas pertama adalah dasar. Sedangkan identitas kedua adalah puncak. Ketika berada di ranah privat, kita hidup dalam identitas primordial. Namun ketika berada di ranah publik, kita mesti hidup dalam identitas Pancasila. Dalam hal ini, identitas primordial bukan disangkali atau ditinggalkan, melainkan ditempatkan sejajar dengan identitas primordial orang Indonesia lainnya.
Apabila sudah demikian maka yang menonjol adalah identitas Pancasila. Tidak ada lagi dikotomi mayoritas-minoritas. Tidak ada juga dikotomi pribumi-pendatang/warga keturunan. Semuanya sama dan setara sebagai orang Indonesia dalam naungan Pancasila sebagai rumah bersama. Semuanya pun memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Bukankah hal ini merupakan perwujudan kasih? Ada nilai kasih kepada Allah. Ada pula nilai kasih kepada sesama. Kedua nilai kasih ini, baik kepada Allah maupun sesama, tidak hanya ada dalam sila tertentu saja. Setiap sila memiliki nilai kasih kepada Allah dan sesama sekaligus.
Dalam sila pertama Pancasila, terlihat dengan jelas nilai kasih kepada Tuhan. Sekalipun demikian dalam sila yang pertama ini pula terdapat nilai kasih kepada sesama. Mengapa? Karena sila pertama berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan “Tuhan Yang Maha esa”. Dengan memberikan imbuhan “ke-an” kepada kata “Tuhan” maka kata benda berubah menjadi kata sifat.
Di sinilah nilai kasih kepada sesama menjadi nampak. Sebab Yang Maha Esa itu tidak disebut dengan nama dari agama tertentu. Hanya sifatnya saja yang ditunjukkan. Dengan demikian setiap agama dapat memberi nama kepada sifat “Ketuhanan” itu dengan bahasa dan namanya masing-masing. Tidak ada pemaksaan nama oleh agama tertentu, sekalipun oleh agama mayoritas. Inilah nilai kasih dalam sila pertama.
Dalam sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, selain menunjukkan nilai kasih kepada sesama, juga terdapat nilai kasih kepada Tuhan. Sebab melalui sila ini semua manusia sebagai gambar Allah (Imago Dei)diperlakukan secara adil dan beradab. Tidak ada yang dianakemaskan atau dianaktirikan. Semuanya dihargai sama. Dengan menghargai sesama manusia, kita menghargai Tuhan sebagai penciptanya.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, menunjukkan nilai kasih kepada sesama warga bangsa Indonesia. Namun dalam sila ini ada nilai kasih kepada Allah. Dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat keyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan anugerah Allah. Alinea ketiga UUD 1945 dimulai dengan kalimat, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…”Bangsa Indonesia bisa merdeka karena rahmat Allah. Karena itu dengan bersatu, orang Indonesia mensyukuri rahmat Allah ini. Inilah nilai kasih kepada Allah dalam sila ketiga,
Selanjutnya sila keempat, “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” juga memiliki nilai kasih kepada sesama dan kepada Tuhan. Nilai kasih kepada sesama dalam sila ini adalah bersedia untuk memimpin atau dipimpin, bersedia untuk mewakili atau diwakili dan juga bermusyawarah/bermufakat dalam berbagai hal. Dengan demikian sikap otoriter tidak mendapat tempat. Sebaliknya, sikap demokratis dikedepankan. Sedangkan nilai kasih kepada Allah terlihat pada tanggung jawab kepemimpinan. Yang memimpin bukan dengan menggunakan paksaan atau kekerasan melainkan hikmat kebijaksanaan. Artinya, aspek hikmat dan kebijaksanaan mesti dikedepankan. Untuk itu Tuhan sebagai sumber hikmat dan kebijaksanaan mendapat tempat dalam sila ini. Ini wujud nilai kasih kepada Allah.
Terakhir, sila kelima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Sila ini jelas-jelas menunjukkan nilai kasih kepada sesama. Namun ada juga nilai kasih kepada Allah. Wujud kasih kepada Allah dalam sila ini adalah ketika memperlakukan sesama anak bangsa sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan. Bagi orang Kristen, ini merupakan perintah Yesus seperti yang tertulis dalam Injil Matius 7:12 yang berbunyi, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Lalu bagaimana makna kasih menurut Tuhan Yesus? Matius 22:34-40 menolong kita dalam menjawab pertanyaan ini. Berawal dari pertanyaan seorang ahli Taurat, Yesus menyampaikan dua hukum kasih. Yang pertama adalah kasih kepada Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi. Lalu yang kedua adalah kasih kepada sesama seperti diri sendiri. Mari kita melihat tiap-tiap unsur kasih ini.
Kita mulai dengan hati. Mengasihi dengan segenap hati berarti mengasihi dengan kemampuan khusus. Ini merupakan wujud kasih yang melebihi segala bentuk perbuatan baik. Ada kesediaan untuk mengorbankan apapun karena taat pada pribadi yang dikasihi. Dengan demikian mengasihi Allah dengan segenap hati berarti melakukan semua hal yang merupakan kehendak Allah. Semua perintah Tuhan dilaksanakan. Sebaliknya, semua larangan Tuhan dijauhi. Ini dilakukan secara total.
Selanjutnya, jiwa. Jiwa merupakan unsur batiniah manusia. Jiwa dalam bahasa Indonesia memiliki makna roh manusia, nyawa, seluruh kehidupan batin, pikiran, angan-angan, perasaan, sesuatu yang utama. Jadi mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa berarti taat secara total kepada Tuhan dengan melibatkan pikiran, perasaan dan kehendak. Dengan demikian ada kemampuan untuk menguasai, memahami, mempertimbangkan dan membuat keputusan atau pilihan sesuai apa yang berkenan kepada Tuhan.
Berikutnya, akal budi. Akal budi berarti pengertian atau pemahaman. Akal budi meliputi pikiran, wawasan, watak, rasa, dorongan hati dan proses penalaran. Ada unsur intelektual dalam ketaatan kepada Tuhan. Kesempurnaan hidup orang Kristen adalah mengasihi Allah Bapa. Dengan demikian mengasihi Allah dengan akal budi melengkapi hati dan jiwa menunjukkan kasih yang menekankan keseluruhan diri tanpa ada pengecualian.
Kasih kepada Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi ini terdapat dalam Pancasila. Semua yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, termasuk moral, hukum dan peraturan perundang-undangan, kebebasan dan hak asasi warga negara mesti dijiwai oleh kasih ini. Semua orang Indonesia memiliki keyakinan akan adanya sifat ketuhanan. Inilah identitas nasional kita. Nama dari sifat ketuhanan itu dan cara berkeyakinan diatur dalam tiap-tiap agama-agama. Inilah identitas primordial kita. Kedua identitas ini memiliki wilayah masing-masing namun saling mengisi dan melengkapi.
Terakhir, mengasihi sesama seperti diri sendiri. Yesus mengatakan bahwa mengasihi Allah tidak lengkap apabila tidak mengasihi sesama. Itu sebabnya mengasihi sesama juga merupakan hukum yang terutama yang sama dengan mengasihi Allah. Oleh karena itu kita mesti memperlakukan sesama sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Hukum yang kedua ini juga menjelaskan kasih kepada diri sendiri. Karena itu semua tindakan yang membahayakan atau merusak diri sendiri adalah pelanggaran terhadap hukum ini. Mengasihi diri sendiri juga berarti memperhatikan kesejahteraan jiwa dan tubuh dengan semestinya serta menghargai kemuliaan manusia dan sifat-sifatnya dengan layak.
Dalam konteks Pancasila, ajaran untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri sangat relevan. Kasih kepada sesama melampaui batas-batas suku, budaya, ras, agama dan sebagainya. Kasih kepada sesama juga berarti mengasihi musuh. Jika hal ini dilakukan maka tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak dikasihi. Semuanya dikasihi sebagai sesama saudara sebangsa setanah air.
Hukum kasih mesti diimplementasikan sebagai dasar untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila. Ini merupakan nilai utama dalam kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia. Sebab, seperti yang sudah kita lihat, kasih kepada Allah maupun sesama ada dalam semua sila Pancasila.
Dengan demikian orang Kristen yang menerapkan hukum kasih telah mengamalkan Pancasila. Sebaliknya, orang Indonesia yang mengamalkan Pancasila secara konsekuen pasti telah menghayati dan menerapkan kasih tanpa harus menjadi orang Kristen. Tuhan memberkati kita. Amin. ***