www.sinodegmit.or.id, Selama tiga hari, 12-14 Juni 2023, kami sekeluarga berlibur di Labuan Bajo, Flores Barat. Setiap tahun kami usahakan liburan ke kampung di Alor dan TTS pada masa liburan natal. Pernah juga kami ke Pulau Semau di Kabupaten Kupang. Ada banyak tempat menarik di pulau-pulau di NTT yang sangat indah. Setiap lima tahun, kami menabung untuk liburan ke tempat yang kami sekeluarga belum kunjungi. Lima tahun lalu ke Bali. Lima tahun sebelumnya ke Jakarta dan tahun ini ke Labuan Bajo. Anak-anak kami yang mulai dewasa meminta agar selama liburan kami fokus ke liburan dan tidak menggabungkan dengan pekerjaan. Dalam perjalanan pulang dari Labuan Bajo di atas pesawat saya menulis refleksi saya terhadap pengalaman liburan kali ini.
Kenapa Wisata Perlu?
Kenapa kita perlu liburan/wisata? Saya mencatat dua alasan teologis, yaitu pemahaman saya tentang wisata sebagai bagian dari penghayatan iman. Pertama, berkunjung ke tempat-tempat yang indah memungkinkan kita menghayati kebesaran Tuhan dalam ciptaanNya. Bumi menyaksikan kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Dokumen Agape dari Dewan Gereja Sedunia (World Communion of Churches/WCC) menulis: “The world is an icon of God (dunia adalah gambaran Allah)”. Bukan hanya manusia yang merupakan gambar dan rupa Allah. Alam juga menggambarkan keagungan Allah (band. Mazmur 19:2). Kami terpana dengan keindahan Pulau Kelor, Pulau Padar, Pulau Kanawa, Pulau Taka Makassar, dan Pulau Komodo yang terlalu indah. Paket wisata Labuan Bajo itu komplit: gugusan pulau-pulau kecil yang sangat spektakuler, wisata bawah laut, pemandangan dari ketinggian yang membuat kita harus menahan napas untuk mengagumi keindahannya, pantai pink yang terlalu mengagumkan, serta Komodo, binatang purba, yang bertahan hidup liar di alam. Semua itu menyaksikan kebesaran Tuhan yang sangat agung.
Kedua, wisata juga berarti menarik diri dari kesibukan kerja. Dalam hal ini berwisata penting untuk menjaga kesehatan mental. Pekerjaan di MS GMIT berlimpah kebaikan Tuhan, tetapi sekaligus penuh dengan tantangan. Setiap hari ada saja hal yang menyukacitakan, sekaligus tak kurang ketegangan dari berbagai persoalan dan tantangan. Berwisata berarti secara sadar keluar sebentar dari rutinitas yang demikian untuk menyerap energi baru dari alam dan dari cinta kasih keluarga. Kitab-kitab Injil bersaksi bahwa Tuhan Yesus pun menyempatkan diri untuk menarik diri dari kesibukan pelayanan (Lukas 15:16; Matius 14:13). Kadang-kadang dalam saat teduh itu Tuhan dan murid-muridNya diinterupsi oleh orang-orang yang terus datang mencari Dia dan pertolonganNya. Namun jelas bahwa hal menarik diri dan berteduh sejenak Tuhan Yesus lakukan. Manusia butuh beristirahat dari pekerjaannya. Kita bukan mesin. Mesin saja bisa rusak. Kita butuh recharge energi fisik, mental dan spiritual. Keluarga kita pun butuh waktu untuk berpulih bersama: merawat cinta kasih suami isteri serta memperkuat kasih sayang orang tua dan anak.
Prinsip Keadilan dalam Berwisata
Pada saat yang sama kita harus punya prinsip berwisata yang jelas. Wisata kita tidak dimaksudkan untuk mengikuti pola hedonisme: berfoya menghamburkan uang, terpusat pada diri sendiri, dan pamer kemewahan. Kalau kita berwisata kita perlu merencanakan dengan baik agar wisata kita menyumbang bagi keadilan kepada yang lemah dan bagi alam. Kami beruntung dapat berwisata dengan kapal motor kecil yang sederhana tetapi aman. Ada enam orang kru di perahu motor itu. Ada dua kamar tidur untuk kami berempat. Saat kami bertanya apakah usaha mereka mendatangkan keuntungan? Mereka menjelaskan mengenai sistem kerja sama beberapa unit usaha untuk saling mendukung: pemilik kapal kecil itu, guide, pekerja di kapal (kapten, tukang masak, ahli mesin), dan perusahaan kecil yang mengorganisasikan kolaborasi mereka. Kami kemudian berefleksi pentingnya wisata yang saling memberdayakan, tidak mengeksploitasi sesama dan alam lingkungan.
Sangat penting bahwa ketika pariwisata berkembang, kita sebagai pribadi beriman maupun sebagai persekutuan/lembaga gereja memahami bagaimana bisnis pariwisata dikembangkan. Lebih dari itu kita mengerti bagaimana mekanisme-mekanisme dibangun: apakah ada keadilan sosial dan keadilan ekologis dalam pengembangan wisata tersebut atau sebaliknya.
Pemerintah nasional telah menetapkan rencana Indonesia 2045 dengan pengaturan NTT menjadi daerah unggulan wisata dan potensi bahari. Labuan Bajo menjadi tanda dari keseriusan yang demikian, ketika ditetapkan sebagai kawasan wisata premium. Pergi ke Labuan Bajo kali ini kami mendapat kesan bahwa daerah itu sedang bergerak menjadi kawasan wisata besar seperti Pulau Bali. Bisa jadi daerah-daerah lain di NTT akan menyusul. Beberapa hal saya catat sebagai refleksi teologis untuk perkembangan tersebut.
Keadilan Ekonomi
Ketika pariwisata premium dikembangkan siapakah yang paling diuntungkan? Dalam sistem ekonomi neoliberal yang paling diuntungkan adalah kaum bermodal, yang bisa membangun hotel-hotel besar dan menyiapkan fasilitas mewah untuk turis-turis domestik dan internasional. Pertanyaannya sejauh mana keberpihakan semua usaha itu untuk pengembangan ekonomi masyarakat lokal? Siapakah yang akan berdiri dengan masyarakat untuk membela hak-hak masyarakat dan membela hak alam? Langkah-langkah apa yang diambil pemerintah dan pihak-pihak terkait, termasuk gereja, untuk memastikan masyarakat setempat tidak terpinggirkan dalam proyek-proyek besar itu? Posisi teologi gereja mestilah kritis terhadap fair trade yang biasanya menguntungkan pihak pemodal saja. Semestinya negara dan kita semua mendorong justice trade, yang memperjuangkan keadilan bagi semua, termasuk bagi kaum miskin dan bagi alam. Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan melalui pendidikan, latihan, dan pemberian modal agar masyarakat lokal berdaya dalam pengembangan ekonomi wisata di daerah mereka.
Masih terkait hal itu adalah upah yang layak bagi para pekerja wisata. Perlu ada regulasi yang baik untuk melindungi hak-hak para pekerja dan mencegah mereka terjebak dalam praktik-praktik yang mengeksploitasi hak asasi manusia, termasuk melalui pelacuran (eksploitasi seks). Perlu jelas bahwa praktik pengembangan wisata itu turut mendorong kesejahteraan penduduk lokal, termasuk para pekerja wisata.
Untuk hal ini sangat penting bahwa ada studi dan kajian yang dilakukan oleh para peneliti, termasuk oleh badan penelitian gereja dan berbagai perguruan tinggi dalam negeri untuk menolong kita memahami dinamika relasi kuasa sosial, politik, dan ekonomi dalam bisnis pariwisata. Dengan begitu kita memahami kebaikan yang dihasilkan oleh ekonomi wisata, sekaligus kita paham tantangan dan ancaman yang dihadapi kaum miskin dan alam. Dengan basis kajian yang baik, gereja dapat mengembangkan strategi advokasi bagi praktik pariwisata yang berkeadilan.
Menarasikan Kearifan Masyarakat Maritim
Masih terkait dengan hal itu adalah mengenai penghargaan terhadap masyarakat adat maritim dan nilai-nilai kearifan lokal mereka. Tujuan pariwisata adalah menyediakan hospitalitas kepada tamu-tamu yang datang dan mengembangkan kesejahteraan penduduk lokal. Para turis tentu akan senang jika mereka bisa melihat alam yang indah, bersih, dan lestari ketika berkunjung. Juga mereka akan puas kalau masyarakat lokal menyambut mereka dengan ramah. Namun lebih dari itu kita perlu membangun kultur wisata yang bertumpu pada relasi penghargaan timbal-balik. Penduduk lokal bukan jongos. Pengembangan wisata kita harus memungkinkan masyarakat kita percaya diri dan bermartabat dalam hal menjadi ruan puan rumah pariwisata. Mereka menghargai tamu-tamu yang datang, tetapi juga menghargai diri mereka. Sebaliknya pun demikian. Para tamu mesti menghargai penduduk setempat. Bukan karena punya uang lalu bersikap semena terhadap penduduk lokal.
Yang tak kalah pentingnya juga adalah pengembangan wisata budaya yang memampukan para pengunjung dapat belajar dari kearifan lokal masyarakat setempat. Penduduk lokal dapat memberdayakan diri untuk menarasikan dengan baik hikmat yang ada dalam budaya untuk menyumbang bagi spiritualitas global yang menghormati sesama manusia dan alam. Ketika kami tiba di Pulau Komodo, pemandu (ranger) yang mengantar kami berkeliling di bagian tertentu pulau itu adalah penduduk asli di sana. Dia dapat memberi penjelasan dengan sangat fasih mengenai apa yang ada di pulau itu. Ketika kami bertanya, dia juga mampu menjelaskan legenda terkait pulau itu dan maknanya. Hal-hal seperti itu diperkuat agar aspek mindfulness (kearifan) masyarakat lokal dapat dibagikan untuk menjadi kekayaan bersama masyarakat dunia untuk pemeliharaan alam.
Keadilan Bagi Alam
Kami sangat terkesan ketika guide yang menyambut kami di Pelabuhan untuk naik ke kapal yang akan membawa kami berlayar tiga hari dua malam di Labuan Bajo mulai dengan penegasan tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama pelayaran. Kepada kami disampaikan dengan tegas tidak boleh membuang sampah sembarangan di laut maupun di pulau-pulau yang dikunjungi. Kepada kami disampaikan bahwa semua sampah yang dihasilkan harus disimpan pada kantung-kantung yang disiapkan dan dibawa kembali ke kapal untuk nanti didaur ulang. Saya tidak berkesempatan melihat proses daur ulang yang disebutkan. Di banyak tempat kami melihat masih banyak sampah berserakan.
Namun saya sangat terkesan bahwa hal itu telah menjadi komitmen pelaku wisata di sana untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tentu konsistensi turut dipengaruhi penegakan hukum oleh otoritas setempat. Jika pemerintah melakukan pengawasan dan memberi tindakan disiplin bagi yang tidak taat, maka kita harapkan di jangka panjang dapat terbentuk budaya ramah alam di kalangan masyarakat.
Dari perspektif teologis harus juga digarisbawahi pentingnya membangun kesadaran pemeliharaan bumi sebagai tanda cinta dan syukur kepada Allah yang mengasihi segenap ciptaanNya. Kita semua memiliki tugas untuk terlibat dalam karya Allah menciptakan dan memelihara alam. Sekaligus sebagaimana diingatkan oleh Dr. Elia Maggang dalam berbagai kesempatan bahwa alam bukan hanya butuh dipelihara. Lebih dari itu pelayanan gereja harus mendukung peran alam sebagai agen kebaikan Allah untuk terus mendukung kehidupan yang berkelimpahan dalam planet bumi yang Tuhan kasihi ini.
Penguatan Kapasitas Eko-Wisata Lokal
NTT, termasuk wilayah pelayanan GMIT, memiliki kapasitas pariwisata yang sangat kaya. Tentu tidak semua dapat dan tidak perlu berkembang menjadi pariwisata premium. Pemerintah dan masyarakat, termasuk gereja, dapat memfasilitasi dan mengembangkan atau mendukung usaha-usaha pariwisata dalam skala kecil dan menengah. Hal itu misalnya yang kita bisa lihat di Pulau Semau, di Kabupaten Kupang. Keluarga-keluarga di Pulau Semau menyiapkan satu atau dua kamar tidur mereka dengan toilet yang bersih untuk tamu-tamu yang berlibur ke pulau mereka, dengan tarif tertentu. Juga di beberapa tempat yang lain, seperti di Alor, sejumlah orang muda mulai mengembangkan industri wisata.
Tamu di penginapan Ibu Emmy Maro di Mali, Alor, bisa memesan makanan rumahan yang enak dan sehat, dengan harga yang terjangkau. Di penginapan Ibu Emmy kita dapat memesan jagung ketemak campur kacang dan berbagai sayuran khas Alor serta kuah asam ikan segar yang sangat sehat. Berbagi/menjual makanan lokal yang sehat juga menjadi kesaksian mengenai pemeliharaan Allah dalam alam dan tanggung jawab kita mengembangkan kedaulatan pangan. Kita juga bisa belajar pengalaman keluarga Ibu Emmy sekeluarga menanam dan merawat hutan mangrove kecil di depan penginapan mereka. Bisnis wisata dapat menjadi kesaksian mengenai kebaikan Allah dalam alam, sekaligus menjadi cerita iman bagaimana kita terlibat merawat karya Allah yang agung itu.
Bekerja Sungguh-Sungguh, Berlibur pun Sungguh-Sungguh
Kami sangat bersyukur untuk kesempatan berlibur. Di kantor sinode GMIT ketika masa liburan tiba kami saling menyemangati: “Bekerja sungguh-sungguh, liburan pun mesti sungguh-sungguh”.
Puteri saya mengingatkan kesempatan yang kami dapat adalah sebuah keistimewaan. Tak semua keluarga mendapat kesempatan menabung agar bisa berlibur lintas pulau. Kami pulang dengan rasa syukur yang kuat sekaligus dengan energi baru untuk tugas-tugas yang masih menanti.
Kami juga dapat kesempatan untuk merasakan geliat pengembangan wisata premium yang diusahakan pemerintah Indonesia. Kami mendapat dorongan untuk menyelami lebih jauh dinamika pengembangan pariwisata agar kami lebih paham hal-hal sedang terjadi dan mengartikulasikan dengan baik pesan dan tindakan pelayanan gereja yang melayani keadilan Allah di dunia. Supaya dengan begitu kita mendukung upaya-upaya pariwisata yang mengembangkan kesejahteraan semua masyarakat dan kelestarian alam, sekaligus mampu bersuara dan bertindak ketika kaum miskin dirugikan dan alam dieksploitasi.
Ayo berlibur. Teruslah merawat alam. ***