Baptisan Pertama di Sabu – Fransisco de Kr. A. Jacob

Gedung gereja Jemaat Seba tahun 1888. Foto diambil oleh Philip Bieger.

Biselku sayang…

Sudah lama aku tak menulis untukmu. Apa kabarmu di tanah rantau?

Masih ingatkah kau pada Rai Hawu? Pada jalan-jalan kita di ujung Ledewawi?

Di sini aku sendiri, menikmati rindu seperti manisnya Donahu.

Biselku sayang…

Bertahun-tahun sudah berlalu. Aku kini telah memeluk agama baru. Kami menyebutnya sebagai Kristen!

Berbeda dengan jingitiu, agama baru ini menyaksikan bahwa Allah, karena cinta kasih-Nya yang besar, mau datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan umat manusia.

Bisakah kau bayangkan itu? Allah yang suci datang ke dalam dunia yang kotor ini! Allah seperti apakah Dia? Sungguh tak pernah kupirkan sebelumnya.

Aku menulis surat ini kepadamu untuk menceritakan bagaimana pertama kali aku dibaptis dengan harapan bahwa tak lama lagi dirimu juga akan melakukan hal yang sama.

Seperti yang sudah kamu ketahui, sembilan tahun lalu (1862) tuan-tuan pemerintah membuka sekolah di Seba. Aku adalah salah satu murid angkatan kelima dari sekolah tersebut. Ketika awal masuk, kami berjumlah 29 orang, namun tiga tahun kemudian hanya tersisa 22 orang. Di antara teman-temanku yang berhasil lulus adalah Wake, Masari, Mamanu, Matua, Naame, Nabula, Nadope, Nakura, Madoke, Madota dan masih banyak yang tidak mungkin aku tulis di sini.

Guru kami adalah W. Pati, seorang laki-laki asal Ambon. Ia datang ke Sabu atas permintaan Tuan Residen. Sebagai guru, ia sangat tegas dan kaku. Tetapi sebagai teman, ia sangat ramah dan baik. Apabila berada dalam kelas, tak jarang kami dibentaknya. Mistar kayu panjang miliknya sering kali mendarat di tangan atau betis kami. Hahahahhaha.

Terlepas dari apa yang terjadi dalam kelas, suasana menjadi berbeda ketika kami beristirahat. Ia berubah menjadi teman cerita yang baik. Kami biasanya duduk di bawah pohon sambil mendengarnya bercerita tentang Maluku dan kejayaannya pada masa lalu. Katanya dulu orang-orang kulit putih datang ke Nusantara demi mencari rempah-rempah Maluku. Wangi cengkeh dan lada tercium jauh sampai ke Eropa.

Dari guru Pati-lah aku mengenal kekristenan. Setiap hari di dalam kelas, di samping mengajarkan materi-materi yang lain, ia juga selalu mengajarkan kami tentang apa itu iman Kristen. Ia selalu menekankan bahwa Allah begitu mengasihi umat manusia, sehingga ia rela mengorbankan anak-Nya yang Tunggal bagi keselataman manusia. Meski sering kali isi dari pembicaraanya cukup berat, namun penjelasan dan gaya bicaranya yang sederhana membuatku cepat menyerap apa yang ia maksud. Kata-kata dan nasehatnya tidak hanya masuk ke dalam kepala, namun juga ke dalam hatiku.

Awal mulanya aku tak begitu mempedulikan ajaran dan nasihatnya. Bahkan terkadang aku hanya berpura-pura membenarkan apa yang ia katakan. “Dengar saja, nanti pasti ada habisnya”, begitu pikirku. Akan tetapi, lama-kelamaan kata-kata guru Pati semakin membekas dalam ingatanku. Ketika aku menceritakan apa yang aku rasakan kepada teman-temanku, mereka bercanda dan mengatakan “mungkin Roh Kudus sudah mulai bekerja”. Aku sendiri menjadi bingung mengapa bisa begitu. Pernah di suatu siang, beberapa saat sebelum kelas berakhir, ia berpesan kepada kami, “Kalau nanti gelombang menghantam dan perahu hidupmu hampir tenggelam, jangan lupa memanggil nama Yesus”. Waktu itu aku tak begitu mempercayai kata-katanya sampai suatu saat ketika aku hampir mati.

Di suatu waktu pada tahun 1867, sekitar jam 1 atau 2 pagi, aku terjatuh dari pohon tuak yang cukup tinggi. Tulang-tulangku terasa hancur dan bahkan suara pun tak bisa lagi kukeluarkan. Di dalam masa-masa kritis itu aku mengingat kembali kata-kata guru Pati, “Jangan lupa memanggil nama Yesus”. Meski belum terlalu percaya, aku tetap mencoba memanggil nama Yesus. Pikirku kalau Yesus benar-benar mencintaiku seperti yang dikatakan guru Pati, tentu ia tak akan membiarkan aku mati. Tentu Ia akan datang menyelamatkanku atau setidak-tidaknya menyuruh orang lain melakukannya.

Benar saja, sesaat setelah aku mulai memanggil nama-Nya, tiba-tiba suara langkah kaki manusia terdengar. Aku sempat tak mempercayai pendengaranku, tapi lama-kelamaan suara itu semakin besar. Itu adalah Madoke dan Mapi, sepupuku. Mereka kaget dengan apa yang terlihat dan segera menolongku. Di saat mereka datang aku sudah semakin tak berdaya. Satu-satunya yang kuingat sebelum jatuh pingsan adalah aku masih sempat tertawa dalam hati sambil berkata, “Yesus, terima kasih. Selera humorMu memang cukup bagus”.

Biselku sayang…

Setelah kejadian yang hampir merenggut nyawaku itu, aku menjadi semakin tertarik dengan kekristenan. Setiap hari minggu pagi aku mulai menghadiri kebaktian minggu yang diadakan di rumah guru Pati. Keadaan seperti ini berlangsung terus selama dua tahun dan dari waktu ke waktu aku selalu menghadiri kebaktian minggu. Meski demikian, aku belum juga dibaptis hingga tahun 1869. Bukan karena tak menginginkannya, tetapi karena ketiadaan pendeta. Alhasil, aku hanya terus mengikuti kebaktian minggu tanpa dibaptis.

Kemudian di suatu pagi tanggal 13 Agustus 1870, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pagi itu, sekitar jam 5, aku sedang mengiris tuak di pinggir pantai. Di kejauhan dari arah laut terlihat cahaya lampu redup-redup. “Pasti kapal dari Kupang”, begitu kataku dalam hati. Seiring dengan matahari yang semakin bersinar, kapal pun semakin terlihat. Itu adalah kapal uap. Aku tak begitu mempedulikannya dan tetap melanjutkan pekerjaanku hingga jam 9 pagi. Ketika beberapa haikku [Haik = Tempat minum atau tempat menaruh benda cair yang terbuat dari daun pohon lontar] telah penuh, aku bergegas pulang.

Sampai di rumah aku segera beristirahat di kelaga rai [Bagian luar dari rumah tradisional orang Sabu. Biasanya di tempat inilah orang-orang duduk sambil bercerita]sambil menikmati tuak manis yang baru saja aku sadap dan sepiring ikan lawar. Ah, rasanya sungguh nikmat. Dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara Naame memanggilku:

Mabu….

Mabu….

Mabu….

Aku lantas menjawab: Era nya ina? [Ada apa Ina?]

Dengan napas yang masih belum teratur ia memberitahukan kalau guru Pati memanggilku. Ada informasi bahwa seorang pandita baru saja tiba. Aku terkejut, sebab ada pandita yang datang ke Sabu. Tanpa berlama-lama lagi aku segera bergegas ke rumah guru Pati. Setibanya aku, di sana sudah berkumpul bersama tuan pandita beberapa orang, di antaranya adalah guru Pati, tuan Sutherland, Masari, dan Wake. Mereka sedang bercakap-cakap sambil menikmati tuak manis.

Pada kesempatan ini aku berkenalan dengan tuan pandita. Namanya adalah Willhelmus Mattheus Donselaar. Dari hasil perbincangan kami tahu bahwa sebelumnya pada tahun ’40-an tuan Donselaar sudah pernah melayani di Timor, khususnya Jemaat Babau. Ia juga sudah pernah mengunjungi pulau Rote. “Pantas saja ia cukup fasih berbahasa Melayu,” kataku dalam hati.  Percakapan kami berlangsung lama. Kami membahas banyak hal, mulai dari yang receh sampai yang serius.

Di tengah-tengah percakapan, guru Pati melontarkan satu pertanyaan: “kalau boleh tahu, kapan tuan pandita pulang?”

“Oh, terkait itu, besok sekitar jam 4 sore saya akan melanjutkan pelayaran ke Sumba,” begitu jawabnya dengan santai.

Kami semua cukup kaget dengan jawaban tersebut, sebab kami sudah berpikir bahwa tuan Pandita akan lebih lama tinggal di Sabu. Tuan Pandita kemudian kembali menjelaskan bahwa sebenarnya ia sedang dalam pelayaran menuju Sumba. Hanya saja karena kapal yang ditumpanginya harus berhenti selama kurang lebih sehari di Sabu, maka ia tidak memiliki alternatif lain.

Memanfaatkan waktu perkunjungan yang singkat ini, kami segera mengusulkan supaya besok pagi diadakan ibadah pembaptisan. Usul ini diterima dan kami juga bersepakat bahwa pada malam nanti mereka yang ingin dibaptis haruslah berkumpul di rumah tuan Sutherland untuk mendengarkan ceramah dan nasehat tuan pandita.

Segera setelah kesepakatan tercapai, kami menghentikan pembicaraan dan mulai mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Beberapa dari kami berpencar ke rumah-rumah warga memberitahukan rencana ini. Di rumah-rumah yang saya kunjungi, orang-orang menyambut berita ini dengan sangat senang. Beberapa orang tua yang sudah lama menanti pembaptisan mereka bahkan menangis tersedu-sedu. Ketika aku bertanya mengapa mereka menangis, salah seorang tua menjawab, “Karena tahu kalau nanti meninggal, aku akan meninggal sebagai milik Yesus”.

Malam hari (13 Agustus 1870) orang-orang mulai berkumpul di rumah tuan Sutherland. Jumlah kami mencapai seratus orang, terdiri dari laki-laki, perempuan, orang tua, pemuda, dan anak-anak. Kami kemudian mulai mendengarkan ceramah tuan Pandita selama kurang lebih tiga jam. Meski cukup lama, tapi banyak di antara kami yang tetap antusias, sebab tuan Pandita berbicara dengan sangat sederhana. Pokok-pokok seperti penebusan dosa, keselamatan karena iman, baptisan, dan pertobatan, semuanya dijelaskan dengan sangat baik.

Di ujung ceramahnya ia menanyai kami satu persatu apakah kami sungguh-sungguh percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Pertanyaan ini membawa haru, terutama untuk diriku. Sesaat sebelum menjawab, aku teringat akan peristiwa beberapa tahun lalu ketika aku pertama kali memanggil nama Yesus. Ketika Ia menarikku dari lorong kematian meski aku belum terlalu mempercayai-Nya. Tanpa sadar air mataku menetes dan aku menjawab, “Da’i ya ta pedute Yesus tade lo’do namimi”. [Saya Mau Ikut Yesus sampai selama-lamanya]. Melihat kesungguhanku, tuan Pandita hanya tersenyum ramah.

Setelah ceramah selesai, masing-masing kami pulang ke rumah. Dalam perjalanan aku masih mendengar sejumlah teman menceritakan kembali pengalaman mereka. Aku pun pulang dengan sangat senang. Malam itu aku tak bisa tertidur karena memikirkan apa yang akan terjadi esok hari.

Pada pagi hari (14 Agustus 1870) aku sudah bersiap-siap. Kebaktian biasanya dimulai pada pukul sembilan pagi, tetapi karena terlalu bersemangat, aku sudah ada di rumah tuan Pati satu setengah jam sebelum kebaktian berlangsung. Tepat jam 9 kebaktian dimulai.

Dalam kebaktian tuan Pandita berkhotbah tentang apa arti baptisan dan tugas serta tanggung jawab sebagai orang Kristen. Kami terus mendengarnya dengan saksama walau ada beberapa orang tua yang belum terlalu mengerti bahasa Melayu. Setelah itu masing-masing kami dipersilahkan maju dan dibaptis. Total kami yang dibaptis adalah seratus orang, terdiri dari laki-laki, perempuan, anak-anak, pemuda, dan orang dewasa.

Biselku…

Dalam pembaptisan kami diberi nama baru. Kata Pandita kami wajib mengganti nama kami dengan nama Kristen. Menurutnya, nama Kristen lebih baik dibandingkan dengan nama sebelumnya. Aku dibaptis dengan nama Daniel, sosok pemuda yang tetap mencintai Allah meski berada dalam bahaya. Sementara Madoti yang berdiri di sampingku dinamai Karel. Katanya Karel merupakan nama orang Belanda yang berarti “kuat”.

Terlepas dari nama baru tersebut, aku lebih suka menggunakan nama yang lama. Nama Mabu lebih cocok untukku. Lagi pula sejak dahulu kamu sudah mengenalku sebagai Mabu. Karena itu, aku tetap ingin dikenal dan dicintai olehmu sebagai Mabu.

Ketika ibadah sudah hampir selesai, tuan Pandita menegaskan bahwa baptisan yang terjadi hari itu merupakan peristiwa besar bagi Sabu. Peristiwa ini menandai fondasi pertama dari jemaat Protestan di Sabu. “Seratus bahkan dua ratus tahun ke depan anak-cucu kita akan mengingat dan merayakan peristiwa ini sebagai hari lahirnya jemaat Protestan di Sabu”, demikianlah ungkap tuan pandita dengan semangat. Aku tak tahu apa yang akan benar-benar terjadi, tapi semoga saja generasi-generasi pendatang tak melupakan peristiwa ini.

Biselku sayang…

Aku sangat berbahagia karena mendapat kesempatan untuk dibaptis. Bagiku ini melebihi emas dan perak. Betapa manisnya ketika Yesus memanggilku dengan lembut. Sungguh lebih manis dari due dan donahu [Due = Tuak dan Donahu = Gula]. Kebahagiaanku ini akan menjadi semakin sempurna jika engkau memilih jalan yang sama denganku.

Biselku sayang!

Masih terlalu banyak hal yang ingin aku tulis, tapi adalah lebih baik bila aku bertemu denganmu secara langsung. Jangan terlalu berlama-lama di sana. Bergegaslah pulang dan hidup bersama denganku. Kalau pun nanti kita mengalami kesusahan, jangan kuatir. Ingat pesan dari guru Pati, “Jangan lupa memanggil nama Yesus”. Aku selalu merindukanmu.

Mehara, 25 Juli 1871

Mabu

[Catatan: Baptisan yang terjadi tanggal 14 Agustus 1870 menandai lahirnya jemaat Protestan pertama di Sabu. Saat ini jemaat tersebut dikenal sebagai Jemaat GMIT Yeruel Seba Kota]

Daftar Pustaka

Nederlandsch Zendelinggenootschap, Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendelinggenootschap1844.Rotterdam: M. Wyt & Zonen, 1844. h. 193-194

Nederlandsch Zendelinggenootschap, Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendelinggenootschap1845.Rotterdam: M. Wyt & Zonen, 1845. h. 105-111.

Nederlandsch Zendelinggenootschap, Mededeelingen van wege het Nederlandsch Zendelinggenootschap1871.Rotterdam: M. Wyt & Zonen, 1871. h. 102-114.

Genevieve Duggan dan Hans Hagerdal, Savu: history and oral tradition on an island of Indonesia.Singapore: NUS Press, 2018. h. 334-335.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *