Peran Gereja-Gereja Mitra di ASEAN dan Australia Menghadapi Perubahan Iklim (Catatan Workshop SEARO-Uniting World 2024) – Pdt. Semuel B. Pandie

Peserta workshop SEARO-Uniting World di Bali, 22-26 April 2024.

BALI, www.sinodegmit.or.id, South East Asia Region (SEARO) Uniting World Australia mengadakan lokakarya tentang Perubahan Iklim dan dampaknya bagi Gereja-gereja Mitra di Asean dan Australia. Uniting Worldadalah badan misi Uniting Church in Australia. Lembaga ini fokus menangani kemiskinan, ketidakadilan dan kekerasan di kawasan Gereja-gereja mitra.

Kegiatan ini berlangsung di Wisma Nangun Kerti (WNK) Sukasada, Kabupaten Buleleng-Bali,  Senin-Jumat, (22-26/4).

Peserta yang hadir sebanyak 40 orang yang berasal dari pemimpin Sinode GKPB (Bali), GMIT (NTT), GPM (Maluku), IPTL (Timor Leste), GMIH (Halmahera), GMIM (Sulawesi Utara), GKI-TP (Papua), UCC-NLI (Filipina), GKI Jawa Barat, Manajer Program dan Staff Lembaga dari Fosuna, TLM Kupang, Sagu Salempeng Foundation, MBM dan P3W GKI-TP.

Peserta disambut oleh Ketua Program Uniting World, Peter Keegan. Ibadah pembukaan dipadukan dengan Perjamuan Kudus. Para pelayan liturgi berasal dari latar belakang gereja yang berbeda. Liturgos oleh Rev. Eddy Cahyana, dari GKPB, sedangkan Perjamuan Kudus dipimpin oleh Bishop I Nyoman Agustinus, Ketua Sinode GKPB.

Saya memimpin khotbah berdasarkan Yohanes 21:5, 9-13. Saya menyampaikan refleksi tentang kisah penampakan Yesus di Pantai Danau Tiberias. Penampakan itu mengejutkan para murid, sebab mereka dihidangkan ikan bakar dan roti bakar. Dua menu yang memiliki pesan simbolik yang kuat. Ikan berkaitan dengan panggilan pengutusan Injil yakni dari penjala ikan menjadi penjala manusia. Sedangkan roti sebagai kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi.

Dengan memberi perhatian pada perubahan iklim dan ekologi, maka refleksi ini mengantar gereja untuk menemukan kembali pergumulan holistik Injil pada keadilan ekologi dan kesetaraan dalam mengelola bumi. Ada tiga hal yang merupakan panggilan bagi gereja yakni: Earth care (memelihara bumi), People care (merawat individu dan komunitas), dan Fair share (pembagian yang adil).

Satu hal yang menarik ialah materi tentang Perubahan Iklim, yang disampaikan oleh Putu Bawa, seorang spesialis permakultur. Istilah permakultur merupakan rancangan sistem kehidupan yang berkelanjutan, yang membuat kegiatan bertani menjadi mudah dan hemat sebab diadaptasi dari kearifan lokal masing-masing daerah. Suatu sistem pertanian yang dirancang secara sadar, yang mampu menirukan pola dan interaksi yang ada di alam, sembari menghasilkan makanan, serat, dan energi untuk pemenuhan kebutuhan (masyarakat) lokal.

Permakultur menggunakan sumber daya lokal, perencanaan tanaman yang beragam, dan menggunakan pupuk non-kimiawi. Sistem pertanian yang demikian membuat tanaman dapat hidup lebih lama dan sehat sehingga menjadikan produksi pertanian sangat efisien. Sistim permakultur juga menjaga kualitas lahan dan mengurangi resiko bencana. Karena itu sistim ini dapat diadaptasi dan dikembangkan di wilayah pelayanan kita.

Dalam diskusi, saya berbagi informasi tentang dampak dan resiko perubahan iklim di GMIT, terutama dampak sosial dan ekonomi seperti kesehatan, ketahanan pangan, ketersediaan air, migrasi, terutama pihak-pihak yang paling rentan yakni perempuan, anak dan orang dengan disabilitas. Selain itu informasi tentang kerja sama dengan TLM untuk mengembangkan pertanian dalam menghadapi perubahan iklim di wilayah pelayanan GMIT.  Diperlukan komitmen gereja untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Lokakarya ini merupakan kesempatan bagi GMIT untuk membangun, menguatkan kemitraan, dan kolaborasi dalam pelayanan dan pengembangan pertanian, bersama mitra SEARO dan Uniting World. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *