Waingapu-Sumba Timur, www.sinodegmit.or.id, Dalam PA ini, saya awali dengan sebuah aktivitas:
Catatan Awal
Pertanyaan: Dapatkah anda mengasihi dan merangkul orang lain sebagai saudara sementara upaya segregasi* sosial secara ideologis, agama, suku, ras, atau kelompok sedang marak akhir-akhir ini? Faktor-faktor apa saja yang menghalangi anda untuk mengasihi dan merangkul sesama dan dunia ini?
Nas 2 Petrus 1:1-11 menolong kita untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Akan tetapi, sebelum nas ini dibahas maka penting sekali diuraikan: pertama, latar belakang nas (5′); kedua, survei eksegetis (2′); ketiga, Tafsiran Teks 2 Petrus 2:1-11 (8′); keempat, Belajar dari Suku Abui dan Komunitas Islam Ilawe (5′); kelima, Beberapa Pertanyaan untuk Diskusi; keenam, Kesimpulan; ketujuh, Rencana Tindak Lanjut (RTL) (5′).
- Latar belakang
International Bible Society menyatakan Penulis 2 Petrus sebagai Simon Petrus (1: 1). Sang Penulis menggunakan kata ganti orang pertama tunggal dalam suatu bagian yang sangat pribadi (1: 12-15) dan mengklaim sebagai saksi mata dari transfigurasi (1: 16–18; bnd. Mat 17: 1– 5). Simon Petrus menegaskan bahwa ini adalah surat keduanya kepada para pembaca (3: 1) dan menyebut Paulus sebagai “saudara kita yang terkasih” (3:15). Singkatnya, surat itu mengklaim sebagai milik Petrus. (https://www.biblica.com/resources/scholar-notes/niv-study-bible/intro-to-2-peter/). Daniel B. Wallace, Proesor PB di Dallas Theological Seminary,[1] juga menyatakan Simon Petrus (1:1) adalah penulis surat 2 Petrus (bnd. Donald Guthrie, dkk. 1990:867).

Norman Perrin dan Dennis C. Duling, dalam The New Testament An Introduction, menyatakan bahwa penulis 2 Petrus bukanlah rasul Petrus sendiri (Perrin dan Duling 1974:381). Selanjutnya, Alkitab Edisi Studi yang diterbitkan LAI pada 2011 memberi catatan, bahwa penulis surat 2 Petrus adalah salah satu murid Petrus. Dia menyematkan nama Petrus sebagai penghormatan bagi sang guru dan semua ajarannya (LAI 2011:2021). Penghormatan ini tentunya terkait dengan kedudukan, pengaruh, ajaran sang rasul sebelumnya yang diduga kuat menjadi referensi untuk menguatkan iman dan harapan pembaca/jemaat terhadap parousia (kedatangan Kristus).[2]
Terlepas dari siapakah yang menulis surat 2 Petrus, bahwa tampak ada ikhtiar penulis surat 2 Petrus untuk meyakinkan para pembacanya. Pembaca/jemaat itu tidak boleh kehilangan harapan akan kedatangan Kristus. Bahkan pembaca/jemaat tidak boleh ragu-ragu apalagi terombang-ambing dengan berita-berita bohong yang disampaikan oleh guru-guru palsu (2 Petrus 1:16).
- Survei Eksegetis
1:1-2, Salam (salutation). Pernyataan salam ini mencirikan sebuah surat yang biasanya ditulis kepada jemaat-jemaat pada abad permulaan. Di sini juga ditekankan mengenai iman yang diyakini oleh sang rasul tersedia dan diwariskan kepada pada pembaca surat.
1:3-11 Nasihat (exhortation). Nasihat untuk tumbuh dalam nilai-nilai Kristiani.
1:3-4, Pemberdayaan Ilahi. Ajaran Gnostisisme yang menekankan dunia ini fana dan karena itu harus dibinasakan. Pandangan ini sangat berbahaya dan ajaran ini harus dielakkan. Pengelakkan ini sebagai syarat untuk kuat dan tangguh di dalam kodrat ilahi (the divine nature).
1:5-7, Panggilan untuk tumbuh dalam iman yang mengandung kebajikan: pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, kasih akan saudara-saudara, dan kasih akan semua orang.
1:8-11, Makna dari pertumbuhan iman yang mengandung kebajikan: giat dan berhasil dalam pengenalan akan Yesus (1:8) … masuk Kerajaan kekal (1:11).
- Tafsiran Teks 2 Petrus 2:1-11
Perrin dan Duling menyatakan bahwa keadaan jemaat/pembaca 2 Petrus, sekitar tahun 140 M, sangat dipengaruhi oleh orang-orang Kristen Gnostik, yang menekankan peran penting dunia yang ideal (pleroma) dan merendahkah dunia bawah berupa fenomena (kenoma) hidup sehari-hari; atau peran penting roh ketimbang tubuh manusia itu sendiri. Karena itu perhatian kepada roh (divine spark) dianggap lebih penting ketimbang persoalan yang dihadapi sehari-hari seperti sakit-penyakit, rendahnya mutu pendidikan, kurangnya lapangan pekerjaan, lemahnya hukum yang melindungi HAM, perambahan hutan, eksploitasi SDA yang berlebihan, dan pemanasan global. Selanjutnya beredar pandangan, bahwa tubuh manusia atau dunia dengan segala problematikanya hanyalah penjara dan karena itu jahat. Keduanya tidak diciptakan oleh Allah yang maha tinggi, tetapi oleh ilah yang lebih rendah. Tubuh manusia atau dunia hanyalah rumah yang buruk bagi roh (divine spark). Karena itu rumah semacam itu harus dielakkan atau dihancurkan saja. Agar bisa selamat, maka roh itu dibebaskan oleh gnosis (pengetahuan spiritual) dan kemudian kembali kepada sang Terang Abadi (lihat Perrin dan Duling 1974:12-13;381).
Segregasi* penciptaan ala Gnostisisme tentunya berpengaruh pada rendahnya penghargaan orang atas tubuhnya sendiri atau tubuh sesamanya dan dunia di mana dia hidup. Jelas, menurut Penulis 2 Petrus, hal ini karena faktor kebodohan, tidak mampu menguasai diri, tidak tekun, tidak saleh, tidak mengasihi keluarga, dan tidak mengasihi orang lain. Orang yang berada di dalam keadaan ini memiliki kerinduan terhadap kegelimangan surga dan tekad untuk segera meraihnya. Karena itu bunuh diri, membunuh orang lain, dan menghancurkan dunia ini bagai pemandangan yang biasa saja. Ini pandangan dan tindakan yang berbahaya! Karena itu penulis surat 2 Petrus menasihati agar pembaca/jemaat tetap teguh pada iman akan janji-janji berharga untuk mengambil bagian di dalam kodrat ilahi (the divine nature), “Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia,” (1:4).
Mengambil bagian di dalam kodrat ilahi, bagi penulis 2 Petrus, berpengaruh positif pada tingkat penghargaan terhadap kehidupan dan dunia layaknya rasa nyaman di rumah sendiri (home[3]). Hal ini terhubung dengan frasa kasih akan saudara-saudara, dan kasih akan semua orang (7). Kalimat ini mengandaikan, bahwa setiap orang selain mengasihi saudara-saudari yang ada di dalam rumah sendiri, juga mengasihi dan merangkul orang-orang yang berada di luar rumah. bagi penulis surat 2 Petrus, harus dijiwai dan diamalkan secara konkret oleh para pembaca/jemaat. Makin menjiwai dan makin mengamalkan nilai kasih, maka kita makin mengenal dan mendalami Yesus, sang Sumber Kasih (8). Pengenalan dan pendalaman iman kita di dalam Yesus membuat kita tidak tersandung dalam berbagai pengaruh dan ajaran yang menyesatkan (10).
Jikalau keadaan rumah (home) Israel dijadikan referensi pembangunan rumah Kristiani, maka nasihat sang penulis surat 2 Petrus untuk mengasihi orang lain di luar rumah menjadi sesuatu yang sedikit aneh. Dalam sastra Israel kuno, ada tiga konsep rumah, masing-masing bêt ’āb: rumah bapak; mišpāḥâ: keluarga besar/klan; dan šēbeṭ atau matteh: suku. Untuk mengikat solidaritas kekeluargaan dan ikatan perkawinan, bêt ’āb, mišpāḥâ, dan šēbeṭ atau matteh dihubungkan dengan bahasa, kerja sama ekonomi, tradisi-tradisi hukum dan kebiasaan bersama, cerita-cerita leluhur, dan sebuah agama bersama (Johanna S. Talupun, Resensi Buku dalam Jurnal GEMA TEOLOGIKA Vol. 2 No. 1, April 2017:102). Di luar daripada keluarga, klan, suku, maka siapapun patut diwaspadai keberadaannya. Mereka berpotensi mengganggu ikatan-ikatan dalam bêt ’āb, mišpāḥâ, dan šēbeṭ atau matteh.
Menariknya, nasihat penulis 2 Petrus kepada orang-orang Kristiani untuk mengasihi tidak hanya kepada anggota-anggota di dalam rumah (saudara/kerabat) saja, tetapi juga kepada semua orang (7). Sang penulis menghendaki pembacanya untuk membuka ruang-ruang relasi dan komunikasi kemanusiaan yang penuh kasih dan berdaya rangkul kuat melewati batas keluarga, klan, suku, adat-istiadat, bisnis, dan agama. Membuka pintu-pintu perbatasan ini pertanda iman anda makin dewasa. Jikalau iman ini terus tumbuh dan bergairah oleh karena pengenalan kepada Yesus yang makin dalam, maka para pembaca surat 2 Petrus akan dianugerahi hak penuh untuk masuk ke dalam Kerajaan Tuhan (11).
- Belajar dari Suku Abui dan Komunitas Islam Ilawe
Sikap orang Kristiani harus mengasihi dan merangkul sesama yang lain di luar rumahnya, sebagaimana nasihat Penulis 2 Petrus, berkelindang tepat dengan apa yang dihayati dan diamalkan oleh masyarakat Abui dan Ilawe, dua komunitas lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT). Fakta, bahwa masyarakat lokal menyediakan bahan-bahan kearifan lokal yang tidak mustahil berkontribusi bagi pendewasaan iman di satu pihak dan keutuhan NKRI di pihak lain.
Masyarakat NTT juga memiliki tiga jenis rumah yaitu: rumah (dibaca: keluarga batih), kampung, dan suku (Fredrik Doeka dalam Bertolomeus Bolong dan Fredrik Doeka 2014:134). Anggota-anggota dalam tiga jenis rumah ini diikat oleh relasi genealogis, perkawinan, bahasa, adat-istiadat, agama, dan rasa kemanusiaan. Relasi ini mempersatukan masing-masing invidu, keluarga, dan orang-orang yang lahir di NTT sebagai orang-orang serumah (Fredrik Doeka dalam Bertolomeus Bolong dan Fredrik Doeka 2014:135).
- Suku Abui
Abui adalah suku tertua di Kabupaten Alor. Suku ini berada di Alor Barat Daya dan Alor Selatan, NTT. Budaya Abui memperlihatkan rumah, kampung, dan suku dalam struktur dan makna simbolis yang unik. Tiap kampung memiliki satu hingga tujuh tempat tarian “lego-lego”. Jumlah ini bergantung pada jumlah rumah (rumpun keluarga) yang didasarkan pada garis keturunan patrilinial (hieta). Pada tiap tempat lego-lego dibangun sekurang-kurangnya satu rumah adat (kadang).
Yang menarik ialah ada lokasi yang kemudian dibangun rumah bagi para pendatang (neng tofa), yang diterima sebagai orang-orang sekampung. Para pendatang pun dilindungi oleh, ulenai, dewa pelindung kampung (Cora Du Bois 1944:19, dst). Meskipun ada batas-batas yang mengikat keluarga, kampung, dan suku/tanah kelahiran, tetapi suku Abui selalu memberi ruang bagi orang/orang-orang di luar rumah, kampung, atau suku, yang awalnya tinggal di neng fala (pesanggrahan), untuk kemudian masuk dan menjadi orang/orang-orang serumah. Mereka ini diterima secara adat dan dianggap sebagai adik/adik-adik sendiri oleh finghiata (sulung dalam kampung). Contoh: Marga Rilmabi dari Kampung Bagalbui kemudian diterima oleh penghuni Kampung Ayaklei setelah memenuhi prosedur adat di rumah/kampung mereka yang baru. Marga Rilmabi kemudian diberi tanah dan dibangun rumah sebagai tempat tinggal mereka di samping, aramang fala, rumah suku (Marthen Madjeni, 70 tahun, wawancara, Kalabahi: 15 Oktober 2019). Merangkul orang/orang-orang asing menjadi keluarga sendiri dengan penuh kasih dan kemudian mereka merasa in di rumah baru menunjukkan dimensi kemanusiaan orang Abui yang kuat. Kemanusiaan ini menjadi unsur penting dalam the divine nature, yang oleh penulis surat 2 Petrus, dinasihatkan kepada orang-orang Kristiani.
- Komunitas Muslim Ilawe
Ada satu kampung di Alor Barat Laut bernama Ilawe. Ini adalah Kampung Islam. Di sana lazim terdengar dua kata yaitu: manggariang (baku piara) dan tomnu (satu hati). Term manggariang menunjuk pada sikap saling memelihara antara kerabat dekat dan jauh. Sedangkan tomnu berarti satu hati dalam melakukan berbagai aktivitas sosial secara bersama-sama.
Suatu pemandangan umum di Alor-Pantar ialah bahwa ketika membangun masjid, maka jemaat Kristiani datang dengan tenaga kerja dan bahan bangunan untuk membangun tempat ibadah tersebut. Demikian pula ketika membangun gereja, maka saudara-saudari Muslim datang dengan membawa semen, besi dan tukang-tukang bangunan, yang tidak mau menerima bayaran.
Dalam semangat manggariang dan tomnu, masyarakat Muslim Ilawe tidak hanya menyediakan bahan bangunan, dan tukang untuk membangun gedung gereja, Lebih dari perbuatan ini, mereka juga menyumbang warga Muslim untuk menjadi anggota Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Sumbangan ini dirasakan sangat berharga bagi jemaat GMIT di situ. Sebab syarat jumlah Kepala Keluarga (KK) bagi pembentukan sebuah mata jemaat di lingkungan GMIT terpenuhi dengan tambahan beberapa KK baru. Sebagai tanda terima kasih gereja ini diberi nama GMIT Ismael.
Sebagai pendeta GMIT, saya merasa heran dengan sikap kaum Muslim Ilawe. Tetapi lagi-lagi: “Aku yang mengasihi dan merangkul” bukan hanya slogan kosong. Frasa ini sudah lama menjadi a common sense dalam membangun relasi dan komunikasi komunitas Muslim dengan saudara-saudarinya yang beragama Kristen. Karena itu saya takjub akan nasihat Usman Mautang (70 tahun), seorang tokoh Islam lokal Ilawe: “Lebih baik orang Alor memberi perhatian serius kepada persoalan kemanusiaan saja ketimbang agama yang menciderai persekutuan,” (Fredrik Y. A. Doeka dalam Philipus Tule, Fredrik Y. A. Doeka, Ahmad Atang 2015:179). Sikap dan tindakan komunitas Islam Ilawe menunjukkan kepada kita, bahwa segregasi* sosial tidak berdaya apa-apa saat kasih dan rangkulan persaudaraan menjadi keadaban sehari-hari.
* Segregasi adalah pemisahan kelompok ras, etnis, ideologis, atau agama secara paksa. Segregasi merupakan bentuk pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam struktur sosial (https://www.google.com/arti+segregasi).
Beberapa Pertanyaan untuk Diskusi
Maraknya aksi kekerasan, terorisme, radikalisme, persekusi, hoaks, pelanggaran HAM dan eksploitasi alam secara berlebihan adalah fakta yang tidak dapat dibantah akhir-akhir ini. Apakah sikap/tindakan yang seharusnya dilakukan oleh warga PGI sebagai orang-orang serumah NKRI terhadap orang-orang yang melakukan aksi-aksi tersebut?
Belajar dari pikiran dan tindakan teologis-kemanusiaan Suku Abui dan Komunitas Islam Ilawe, apa pikiran dan tindakan konkret warga PGI dalam membangun rumah bersama NKRI yang demokratis, adil, dan sejahtera? Uraikan!
Jelaskan nasihat 2 Petrus 1:1-11 yang sangat penting bagi usaha mengatasi segregasi sosial yang berpotensi kuat untuk menghancurkan rumah bersama NKRI. Selanjutnya apa proyek konkret yang bisa mengatasi tindakan segregasi yang marak akhir-akhir ini?
Kesimpulan
Segregasi sosial adalah fakta yang tidak dapat dihindari. Fakta ini hanya bisa dihadapi dengan kedewasaan iman. Kedewasaan iman, menurut Penulis 2 Petrus 1:1-11, adalah dorongan menyatakan kasih dan rangkulan persaudaraan kuat bagi siapapun. Kasih yang melampaui batas-batas kepentingan keluarga, klan, suku, adat-istiadat, bisnis, dan agama merupakan divine nature yang telah dinyatakan oleh Yesus Kristus. Kasih ini dibutuhkan oleh rumah NKRI hari ini. Warga gereja dipanggil untuk mewujudkan kasih yang demikian di dalam rumah bersama NKRI.
Rekomendasi
Salah satu proyek contoh: Pengembangan Sekolah Multikultural sebagai salah satu rekomendasi untuk menciptakan generasi penuh kasih dan berdaya rangkul persaudaraan dalam rumah bersama NKRI sebagai wujud implementasi nasihat 2 Petrus 1:1-11.
Bibliografi
- Du Bois, Cora, The People of Alor, Minneapolis: The University of Minnesota Press 1944.
- Doeka, Fredrik, “Nilai-nilai Demokrasi dalam Kearifan Lokal Taramiti Tominuku Orang Alor”, dalam Bertolomeus Bolong dan Fredrik Doeka, Demokrasi Pribumi; Membangun Sistem Demokrasi Berbasis Kearifan Lokal”, Kupang: Bonet Pinggupir 2014
- Doeka, Fredrik Y. A. “Islam Alor di Bawah Bayang-Bayang Adat” dalam Philipus Tule, Fredrik Y. A. Doeka, dan Ahmad Atang, Wacana Identitas Islam di NTT, Maumere: Ledalero 2015.
- Guthrie, Donald, dkk., Tafsiran Alkitab Masa Kini Matius – Wahyu 3, Jakarta: Bina Kasih 1990
- LAI, Alkitab Edisi Studi, Jakarta: LAI 2011.
- Perrin, Norman; Dennis C. Duling, The New Testament An Introduction, London: HBJ 1974.
- International Bible Society, https://www.biblica.com/resources/scholar-notes/niv-study-bible/intro-to-2-peter/,
- Wallace, Daniel B., Second Peter: Introduction, Argument, and Outline 2003; https://web.archive.org/web/20031209164253/http://www.bible.org/docs/soapbox/2petotl.htm. Diakses pada 22 Oktober 2019.
- Talupun, Johanna S. Resensi Buku dalam Jurnal GEMA TEOLOGIKA Vol. 2 No. 1, April 2017:97-107.
[1] Daniel B. Wallace, Second Peter: Introduction, Argument, and Outline 2003; https://web.archive.org/web/20031209164253/http://www.bible.org/docs/soapbox/2petotl.htm. Diakses pada 22 Oktober 2019.
[2] Perjanjian Baru (PB) memberi perhatian pada parousia sebagai keadaan di mana seluruh hidup manusia (tubuh dan roh) berada di bawah pemerintahan dan kendali Allah. Dalam kendali Allah, akan terjadi kebangkitan orang mati (1 Tesalonika 4.16) dan tubuh manusia diubah serupa dengan tubuh Kristus (1 Kor 15.51), bahkan tubuh yang diubah oleh Kristus dapat menaklukkan segala sesuatu (Filipi 3:21). Dengan kata lain, PB hendak menekankan pentingnya Kristus yang telah mengajarkan kebenaran sehingga orang yang percaya kepada-Nya pun harus benar hidupnya.
[3] rumah (home) berarti tempat di mana seseorang tinggal secara permanen, terutama sebagai anggota keluarga atau rumah tangga dan merasa nyaman di sana.
*Pdt. Dr. Fredrik Y. A. Doeka, Dosen PPs Universitas Kristen Artha Wacana Kupang
**Bahan PA ini disampaikan dalam ibadah pagi Sidang Raya XVII PGI, Rabu, 13/11-2019 di Waingapu-Sumba Timur