
KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Belajar dari pengalaman bencana Siklon Seroja yang merusak ribuan rumah di NTT awal April 2021, Majelis Sinode GMIT melalui Tim Tanggap Siklon Seroja mengadakan pelatihan untuk 200 tukang bangunan di teritori Alor, Sabu, Rote dan Kabupaten Kupang.
Output dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dasar para tukang tentang cara membangun rumah tahan bencana sekaligus ramah alam.
Untuk kegiatan ini, Majelis Sinode GMIT bekerja sama dengan Fakultas Teknik (FT-Unwira) dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi NTT. Kedua lembaga ini mengutus tenaga ahli teknik sipil dan arsitek untuk melatih para tukang di empat teritori pelayanan GMIT tersebut di atas dalam hal survey lokasi terdampak bencana, analisa kerusakan, rekomendasi, narasumber pelatihan, desain bangunan tahan bencana, pengawasan, dll.
Pelatihan ini dilakukan secara online dan offline diikuti oleh 200 peserta yang berasal dari sejumlah jemaat khususnya yang akan dibangun rumah pastori dan gedung gereja contoh tahan bencana.

Ir. Rani Hendrikus, MS., staf dosen FT Unwira mengatakan pihaknya sangat senang dengan kerjasama ini.
“Ini moment yang sangat baik bagi kami sebagai lembaga pendidikan karena melalui moment pelatihan ini diharapkan pengetahuan minimal ini bisa menular dari satu tukang ke tukang lain atau dari satu generasi ke generasi lain sehingga suatu saat masyarakat NTT tahan terhadap ancaman bencana baik gempa maupun Seroja,” ungkap Hendrikus, ahli struktur dan mitigasi bencana.
Sementara itu Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Pengkajian IAI Provinsi NTT, Budi Lili, MT., usai melakukan survey di sejumlah lokasi bangunan gereja yang rusak akibat Siklon Seroja menilai bahwa logika-logika dasar pembangunan gedung gereja oleh para tukang di kampung-kampung sebenarnya sudah nampak hanya saja masih kurang pada sejumlah hal teknis dan standarisasi.
“Kekurangan utama tukang-tukang kita adalah mereka hanya mengandalkan dan meneruskan pengalaman sebelumnya. Padahal setiap lokasi bangunan tidak sama. Jenis tanah dan lingkungan sekitar juga beda sehingga faktor risiko juga beda. Jadi tidak boleh dibuat sama. Contoh seperti di Sabu. Kedalaman fondasi cakar ayam minimal 1 meter tapi dibuat hanya 30 centimeter saja padahal besi yang digunakan sudah memenuhi standar. Jadi dalam pelatihan ini, hal-hal seperti itu yang kami beri penegasan.”

Menurut Sepri Sina (36), warga jemaat Ekklesia Mokdale, pengetahuan mereka mengenai bangunan sangat terbatas sebab semata-mata berasal dari pengalaman belajar dengan sesama tukang di kampung. Oleh karena itu, ia menilai pelatihan ini sangat bermanfaat.
“Kami dapat banyak ilmu seperti cara ikat besi, behel, sambungan kayu, cakar ayam dan lain-lain. Selama ini kita taruh-taruh saja yang penting jadi. Jadi setelah kami ikut pelatihan online melalui video, kami bilang, kalau besok lusa ada projek pemerintah di desa, kami siap kerja dan bila perlu kami ikut tender,” ujar Sepri yang saat ini menjabat kepala desa Daeurendale, kecamatan Landu Leko-Rote Timur.
Semangat belajar yang sama juga diungkapkan oleh Marten Luther Blegur Wabang, peserta dari Pantar Timur-Alor.
“Kami sangat berterima kasih kepada Sinode GMIT dan Bapak-Bapak dosen dari Unwira yang sudah kasi kami ilmu baru yang selama menjadi tukang kami belum dapat. Ini program yang bagus sekali.”
Pelatihan Tukang GMIT online ini telah dilaksanakan pada 11-12 Oktober 2021 sedangkan offline atau tatap muka akan dilaksanakan pada bulan November mendatang.
Usai pelatihan ini para tukang terlatih ini akan dilibatkan dalam pembangunan rumah pastori dan gedung gereja contoh tahan bencana di Klasis Sabu Barat, Sabu Timur, Rote Barat Daya, Amarasi Barat, Rote Timur dan Alor. ***