
Pengantar
www.sinodegmit.or.id, Solidaritas adalah sebuah istilah yang dipakai oleh kelompok pembaharuan di Polandia yang dipimpin oleh Lech Walesa, untuk menggelorakan para buruh galangan perkapalan di Gdanks, Polandia, yang menggulingkan pemerintahan militer ala Komunis di sana. Akibat jatuhnya Polandia, maka satu persatu Negara Komunis juga tumbang di Eropa Timur dan Area Baltik. Paus John Paul II yang berasal dari Polandia itu juga memakai istilah solidaritas dalam kampanye awal masa klerikalnya. Beberapa analis sejarah bahkan menyebutkan, Paus John Paul II adalah orang yang menggaungkan istilah solidaritas untuk menumbangkan supremasi militer dan komunis di dunia. Solidaritas ternyata adalah sebuah kekuatan menyatukan manusia untuk mencapai tujuan bersama.
Di era Milenilal ini kita melihat sebuah kekuatan menggalang kekuatan manusia yang berbeda. Hadirnya industry musik Korea telah melahirkan kelompok fans yang sangat militan. Sebut saja fans dari Group band Super Junior bernama Elf, atau Army yang menjadi fandom dari Group BTS. Kekuatan para fans tersebut telah menaikkan pamor industri kreatif Korea menjadi Negara penyedia budaya K-Pop yang menghasilkan triliunan dollar dalam setahun.
Di Indonesia kita mengenal fandom Slankers dari Group Slank dan Smashblast, fandom dari Group Band Smash yang telah menaikkan pamor kualitas music rock dan group dance ke ajang yang luar biasa. Kekuatan para pecinta music/fandom/fans itu telah menjadi sebuah gabungan manusia yang menggerakkan ekonomi, melahirkan ide-ide dan bahkan memenangkan Pemilu. Inilah satu model solidaritas di era millennium, dimana kekuatan para fans / fandom menjadi sesuatu yang patut diperhitungkan.
Istilah “solidaritas” adalah perasaan setia kawan yang dibangun di atas dasar suatu kepercayaan/ide, rasa senasib, persamaan yang kemudian mendorong semua orang yang berpikir dan memegang nilai-nilai yang sama itu untuk menggalang kebersamaan dalam aksi dan sikap untuk mencapai tujuan bersama. Definisi ini menyiratkan adanya kemauan semua orang yang memiliki tujuan dan cita-cita bersama dalam gerakan solidaritas hidup. Solidaritas adalah identitas manusia. Solidaritas juga adalah panggilan sejati makhluk social. Gereja sebagai sebuah persekutuan dan komunitas yang melayani Allah juga adalah sebuah wadah solidaritas. Semua orang diterima dan dilayani, dan semua orang yang terlibat dalam gereja adalah bagian dari solidaritas.
Emile Durkheim, membagi teori solidaritas dalam dua bagian, yakni:
Pertama, Solidaritas Mekanik. Muncul karena ada aktivitas yang sama dan dalam komunitas homogen. Solidaritas tipe ini lahir karena kesadaran sebagai manusia yang setara walau beda status sosial, sama-sama anak bangsa, sama-sama warga gereja, sama-sama umat yang berdosa dll. Solidaritas tipe ini terbaca ketika muncul rasa simpati dari sebuah komunitas atas peristiwa bencana, dimana orang saling bergotong royong tanpa mengenal pembagian kerja. Solidaritas tipe ini juga sangat rentan dengan persoalan sebab tidak ada ketegasan hukum yang mengikat siapapun yang mau terlibat. Contohnya: solidaritas karena merasa sama-sama orang Alor yang merantau terhadap bencana banjir di Kanaikai, perasaan sama-sama. Karena merasa sama dan setara, maka solidaritas ini juga sangat kuat dalam tipe masyarakat tertentu.
Kedua, Solidaritas Organik. Muncul karena perbedaan aktivitas atau pembagian kerja. Solidaritas model ini lahir karena kesadaran bahwa setiap orang memiliki kapasitas berbeda dan saling membutuhkan. Rasa saling membutuhkan itulah yang menggerakkan orang untuk membangun relasi dan bersinergi dengan sesamanya. Pembagian peran sangat tinggi dalam solidaritas tipe ini. Meskipun tidak mencari kepentingan dan menonjolkan diri, namun dalam solidaritas tipe ini individualitas manusia diberikan ruang sesuai peran dan talentanya.
Solidaritas organik biasanya muncul dalam masyarakat heterogen, dengan pembagian kerja dan peran yang berbeda. Karena perbendaan peran, talenta dan rasa saling membutuhkan itu maka solidaritas ini menjadi sangat kuat.
Penjelasan teks
Kebiasaan pembaptisan (Yun. bapto: menenggelamkan diri) untuk menyucikan tubuh dalam ritus tertentu sudah dikenal oleh beberapa Komunitas sebelum Kristus. Kebiasaan melakukan baptisan dalam masyarakat Qumran adalah sebuah ritus penyucian diri untuk terlibat dalam sebuah komunitas spiritual. Namun Injil mencatat sebuah keunikan mengenai baptisan Yohanes. Yohanes Pembaptis sebagai salah satu keturunan imam mengambil peran penyucian itu di tepi Sungai Yordan, sebuah sungai yang secara simbolis menjadi pembatas negara Israel dengan Edom dan negara lainnya. Sungai Yordan itu dipilih Yohanes Pembaptis untuk menjadi tempat pembaptisan. Tindakan pembaptisan Yohanes yang dilakukan jauh dari Bait Allah Yerusalem telah menarik banyak orang antara lain:
- Orang banyak yaitu masyarakat kecil yang ingin mendapatkan pemulihan dengan Allah tanpa melalui pembakaran korban yang tidak bisa dijangkau orang-orang kecil dan tak berduit. Mahalnya harga hewan kurban sering menjadi penghalang bagi orang-orang miskin mencari alternativ penyucian dosa.
- Para pemungut cukai, sebuah kelompok elit yang menggerakkan ekonomi, namun dianggap sebagai pengkhianat negara karena mereka dianggap pemeras bangsa sendiri bagi kepentingan penjajah. Stigma kepada pemungut cukai kadang membuat keluarga para pemungut cukai dijauhkan dari kehidupan beriman.
- Para prajurit, yaitu kelompok tertentu yang karena pekerjaan mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak nasionalis.
- Injl Matius juga menyebutkan bahwa di padang Yudea itu datang juga para petinggi Yerusalem sendiri yaitu Kaum Saduki dan Farisi (kelompok fanatik Yahudi). Meskipun mereka adalah kelompok elit karena status imamat yang mereka punyai dan kebiasaan hidup yang radikal menurut Taurat yang mereka jalani ternyata membuat mereka juga mengalami keterpisahan dengan sesamanya.
Tampilnya Yohanes di daerah Yordan, di padang gurun Yudea dengan penampilan ala Nabi Elia (jubah bulu unta,ikan pinggang kulit hewan, makan madu dan minum dari madu hutan yang liar), menjadikan Yohanes begitu eksentrik. Jika para imam kebanyakan tampil untuk mengajarkan tentang ritus-ritus agama Yahudi, maka Yohanes, Anak Zakaria, anak seorang imam, justru berbeda. Seruan pertobatan Yohanes itu menyentak banyak orang. “Bertobatlah, ubahlah jalan hidup dan cara berpikirmu, berilah dirimu dibaptiskan dan Allah akan mengampuni dosa-dosamu.”
Pembaptisan Yohanes adalah pembaptisan yang didasarkan pada pertobatan dan pengakuan dosa-dosa. Karena itu ketika orang-orang berbondong-bondong datang di bawah teriknya padang gurun Yudea, Yohanes memberikan nasihat-nasihat yang ekstrim mengenai jalur hidup pertobatan. Hidup saling berbagi, tidak menagih lebih dari ketentuan, tidak merampas dan memeras, hidup sesuai penghasilan, bahkan Yohanes berani menegur Herodes, Raja wilayah Galilea yang hidup dalam perzinahan dengan istri saudara kandungnya.
Pemberitaan dan nasihat keras ini menyentak juga rasa nasionalisme dari bangsa itu. Namun bukannya mereka menghindar, justru para pengikut Yohanes diingatkan pada penantian panjang Israel akan datangnya Mesias/urapan dari Tuhan. Berita pertobatan itu telah menggalang sebuah kekuatan solidaritas dari banyak orang berdosa akan datangnya sebuah pemulihan Kerajaan Daud. Para pengikutnya bertanya, “Apakah Yohanes ini adalah Mesias?”
Namun seperti para nabi, Yohanes secara tegas menolak asumsi tersebut. Yohanes menyebut pembaptisannya hanyalah dengan air, Mesias sesungguhnya akan membaptiskan dengan Roh Kudus dan dengan api. Yohanes merendahkan dirinya dan berkata untuk membuka kasut Mesias itu saja ia tidak akan layak. Mesias itu akan membersihkan umat Allah seperti kebiasaaan para petani di masa panen, yaitu menampi atau menapis, hingga membakar sisa-sisa jerami akan dibakar sampai tidak bersisa.
Pada saat itulah Yesus tampil, meminta Yohanes sepupunya untuk membaptiskanNya. (bandingkan Matius 3:13-15) tindakan Yohanes untuk membaptiskan dan Yesus yang meminta untuk dibaptiskan adalah untuk menggenapkan seluruh kehendak Allah.
Inilah sikap solidaritas dari Tuhan ketika Ia datang ke dunia dan masuk dalam daging. Yesus, Anak Allah dan Anak Manusia Sejati menundukkan diriNya kepada baptisan Yohanes. Meskpun baptisan Yohanes ditujukan kepada orang berdosa yang mau bertobat, namun penaklukan diri Anak Manusia Sejati kepada baptisan pertobatan merupakan sebuah tindakan menyatu dengan manusia. Dia rela menyatukan diriNya seperti para petobat yang mencari keselamatan dan pengampunan dosa-dosa.
Demikian pula, meskipun Tuhan Yesus lebih berkuasa dari pada Yohanes, namun ia rela menundukkan diriNya kepada Yohanes untuk dibaptiskan. Tindakan ini semata-mata dilakukan karena dengan penundukkan diri ke bawah hukum manusia itu, Allah benar-benar menjadi nyata manusia sejati. Kristus menundukkan diri pada otoritas para nabi dan otoritas Taurat yang diwakili oleh Yohanes. Sebagai Anak Sang Bapa Sorgawi, Dia menjadi setara dengan saudara-saudaranya manusia.
Atas penundukkan DiriNya kepada baptisan pertobatan dan kuasa Taurat serta para nabi, Allah Sang Bapa mengumumkan proklamasi yang luar biasa “inilah Anak-Ku yang Kukasihi”. Pengumuman langsung dari Sorga itu menegaskan sekali lagi, bahwa meskipun Yesus Kristus telah menjadi manusia, merendah dan menjadi hamba, DIA TETAPLAH ANAK YANG DICINTAI DAN DIPERKENANKAN. Gema suara Sang Bapa itu juga dikonfirmasikan dengan turunnya Roh Kudus dalam wujud yang terlihat. Kristus adalah Anak Sang Bapa, Kristus adalah Allah sejati, Kristus adalah Allah yang menjadi manusia.
Meskipun selanjutnya orang-orang Kristen mempraktekkan baptisan yang berbeda atas perintah Yesus, namun bukan berarti baptisan Kristen tidak dilandaskan pada solidaritas dan pertobatan. Justru baptisan Kristen mempertegas kehidupan baru sebagai pengikut Kristus, sebagai orang-orang yang harus selalu mengalami pertobatan, dan menunjukkan solidaritas sebagai bagian persekutuan dengan Allah dan sesama. Nilai-nilai pembaptisan Kristen juga masih melekat kepada pertobatan/metanoia (perubahan cara pikir) sebagai progres dalam kehidupan beriman dan solidaritas sebagai sesama pewaris Kerajaan Allah.
Dalam nas ini, semua pelaku utama menunjukkan sikap solidaritas / berbela rasa seorang terhadap yang lain. Beberapa sikap solidaritas yang ditemukan dalam bacaan ini antara lain :
- Solidaritas Yohanes yang menerima para pendosa untuk dibaptiskan. Orang-orang miskin, pemungut cukai, prajurit, Farisi dan Saduki semuanya diterima untuk mendapatkan baptisan pertobatan itu. Inilah solidaritas yang lahir karena merasa semua orang adalah setara dan sama. Meskipun jabatan dan gaya hidup semua orang berbeda, namun dihadapan Allah perbedaan itu tidak boleh dijadikan alasan untuk melupakan jati diri sebagai sesama manusia. Kaya, miskin, berpangkat, difabel, dll, semuanya sama-sama manusia. Pertobatan itu haruslah dialami oleh semua orang tanpa terkecuali.
- Solidaritas Yesus bersama para pendosa yang dibaptiskan bersama-sama dengan Dia, Ia menggabungkan diri dalam kerumunan orang berdosa itu, masuk ke dalam sungai yang sama, dibaptiskan oleh pembaptis yang sama. Tindakan ini adalah tindakan penyerahan diri Anak Allah untuk tunduk kepada kuasa Taurat dan nubuat para nabi. Inilah Solidaritas Allah yang penuh misteri. Allah berinisiatif untuk menjadi serupa manusia, mengalami dan merasakan kehidupan fana yang penuh tantangan dan penolakan. Dia-lah Kristus.
- Solidaritas Yohanes terhadap Yesus. Yohanes yang memiliki otoritas sebagai imam dan nabi, justru merendahkan dirinya sehingga merasa tidak layak untuk membuka tali kasut Sang Mesias yaitu Kristus. Solidaritas ini telah menjadikan Yohanes menjadi yang terbesar di antara semua nabi.
- Solidaritas dari Allah melalui theophani turunnya Roh Kudus (Yun: katabenai to pneuma to Hagio somatiko eiei hos peristeran ep auton. Ingg: descended the Holy Spirit in a bodily form as a dove upon Him = Turunlah Roh kudus dalam wujud kelihatan seperti merpati yang menaungi Dia.) Inilah Solidaritas Allah. Dia berkenan kepada Kristus, tetapi Dia juga berkenan kepada siapapun yang ada di dalam Kristus. Di dalam Kristus Allah berkenan kepada manusia, di dalam Kristus manusia dimungkinkan untuk mencapai perkenanan Allah. Sebagai perantara Allah dan manusia, Kristus telah menunjukkan sebuah teladan kerendahan hati dan penundukkan diriNya.
- Proklamasi Sang Bapa terhadap Anak ketika terdengar suara dari Sorga sebagai Proklamasi Allah kepada semua orang “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, Yun: En soi edokesa = Didalam Engkau Aku berkenan”. Inilah Proklamasi Allah atas identitas diri Putera-Nya yang sehakikat, sederajat, dengan Sang Bapa meskipun Dia hadir dalam Rupa manusia yang rapuh dan terhitung di antara orang-orang berdosa. Perkenanan Allah jauh melebihi batas keberdosaan manusia dan kerapuhan manusia. Di dalam Kristus Allah menyatakan kasih sayang kepada dunia ini, kasih yang mau merelakan Sang Putera untuk tunduk kepada perhambaan Taurat dan kegelapan.
- Dengan hadirnya Kristus dalam dunia, Allah Bapa juga bersolidaritas kepada orang-orang berdosa yang datang untuk bertobat. Di dalam Kristus Allah telah berkenan kepada manusia. Di dalam Kristus Allah Bapa berkenan menerima kerapuhan manusia. Di dalam Kristus, Sang Roh menaungi manusia yang rapuh untuk berjalan dalam perkenanan Allah. Inilah solidaritas yang memberdayakan siapapun untuk bertindak sesuai kemampuan dan talenta yang berbeda-beda. Pertobatan telah memungkinkan setiap orang untuk menjalani hidupnya sebagai orang yang taat, setia dan teguh dalam pendirian. Roh Kudus memampukan siapa saja untuk mengampuni karena ia telah diampuni. Inilah kekuatan dari solidaritas, yaitu kasih yang mampu menerima, mengampuni dan mengangkat orang berdosa melalui pertobatan atau perubahan-perubahan hidup.
Sebagai gereja, kita berhadapan dengan krisis identitas warga gereja yang telah dibaptiskan, sebab baptisan kadang hanya dianggap sebagai ritus kekristenan semata. Pembaptisan adalah sebuah garis start kehidupan kristiani yang ditandai dengan pengampunan, perubahan cara berpikir, gaya hidup baru yang dipimpin oleh Allah. Pengakuan Iman Nicea Constantinopel menegaskan bahwa kita mengaku satu baptisan untuk pengampunan dosa-dosa. Itu artinya, pembaptisan adalah langkah awal dari kehidupan untuk saling mengampuni dan mengalami terus menerus pertobatan sepanjang kehidupan. Pertobatan yang membuat orang mengalami pengampunan, dan pengampunan untuk membuat orang mampu mengampuni. Melalui Pengampunan itulah kita menyatakan solidaritas kepada siapapun yang dihadirkan sebagai sesama manusia.
Baptisan dalam nama Tritunggal juga adalah sebuah panggilan solidaritas bagi gereja untuk menerima siapa pun sebagai bagian orang percaya. Itu berarti gereja bukanlah sekedar orang-orang yang setuju, like dan subscribe dengan postingan-postingan Youtube, atau para fans pendeta tertentu yang sering khotbah online, gereja adalah orang yang mengalami pertobatan, dan menjalani kehidupannya sebagai orang yang telah dibaptisakan dengan cara hidup solidaritas dengan sesama manusia.
Jika para fandom bernama Army, Elf, Slanker saja mampu menjalani hidup mereka dengan gaya khusus, apa lagi kehidupan orang yang telah diampuni, dibaptiskan dan mengalami pertobatan? Bukanlah kehidupan kita harusnya lebih radik, dalam arti mempraktekkan nilai-nilai kekristenan dengan lebih serius? Mengapa orang Kristen sulit menjadi orang yang mengasihi, mengampuni dan berbuat kasih secara radikal? Apakah mereka belum bertobat, belum dibaptis ataukah mereka hanya menjalani hidup baptisannya sebagai kulit luar. Ingat, Allah pun dapat membuat anak-anak Abraham dari batu, namun jika kita hanya hidup seperti sebuah batu yang tidak berbuat apa-apa bahkan manusia berhati batu, maka bukan itu tujuan Ia menciptakan dan menyelamatkan kita.
Dalam Dokumen keesaan Gereja, Dokumen yang diakui dan disetujui oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), kita telah menyetujui untuk mengakhiri semua sengketa tentang baptisan di kalangan gereja-gereja dengan pengakuan bahwa baptisan dengan cara memercik, menenggelamkan atau menyiram bukanlah hal yang patut diperdebatkan. Itu hanya tata cara dengan teologinya masing-masing. Dokumen ini mengajarkan bahwa baptisan itu bukanlah sekedar sebuah tindakan memercikkan air atau menenggelamkan seseorang kedalam air, namun yang paling penting adalah memasukkan seseorang dalam identitas baru sebagai anak-anak Allah dan pewaris kehidupan kekal, yang hidup dalam Iman kepada Kristus dan mengalami pertumbuhan rohani oleh Roh Kudus.
Karena itu gereja sebagai pelaku pembaptisan wajib menjalankan tanggungjawab ini dengan serius secara bersama-sama sebagai kesaksian gereja di Indonesia. Itu berarti jika kita sudah berdiri membaptiskan anak-anak, menjadi bapa ani dan mama ani, jadilah saksi yang benar. Jemaat sebagai saksi baptisan, juga harus jadi jemaat yang missioner, jemaat yang mampu hidup bersama. Kekuatan solidaritas dengan Allah dan sesama itulah yang membuat kesakisan kita sebagai anak-anak Allah dalam solidaritas dengan dunia ini. Amin. ***