BELAJAR DARI YUSUF (Matius 1:18-25)

Belajar Dari Yusuf

(Pdt. Yahya Millu/Penerjemah)

Perkenalkan, nama saya Yusuf, penduduk Nazaret. Saya tidak lagi jomblo, karena sudah bertunangan dengan wanita idaman saya. Namanya Maria. Dia adalah wanita yang sangat cantik di Nazaret kala itu. Paling tidak menurut versi saya. Saya sangat bahagia bisa bertunangan dengannya dan kami sedang menanti saat yang terbaik untuk menikah.Seturut tradisi kami, pasangan yang menikah akan melalui dua tahap. Tahap pertama dikenal sebagai kiddushin atau erusin. Saya dan Maria telah melewati tahapan tersebut. Ini setara dengan pertunangan sekarang di mana orang tua mempelai pria melamar dan membuat perjanjian pernikahan dengan orangtua wanita.

Selama periode ini, wanita secara hukum adalah istri pria dan bahwa perjanjian ini tidak dapat digugurkan kecuali melalui proses hukum perceraian. Meski ikatan pertunangan demikian kuat, kami tidak dapat berkencan seperti gaya anak-anak muda sekarang. Maria masih tinggal di rumah ayahnya. Kesempatan duduk berduaan juga susah setengah mati. Itupun harus diawasi oleh orangtua atau keluarga.

Pasangan yang bertunangan biasanya baru menikah beberapa bulan kemudian hingga setahun atau lebih. Tahap kedua ini dikenal sebagai nissu’in atau huppah. Ketika calon suami sudah menyiapkan rumah untuk mempelai perempuannya, dia akan pergi menjemput pengantinnya. Orangtuanya akan mengadakan festival pernikahan. Dalam kasus-kasus tertentu, festival ini biasanya berlangsung selama tujuh hari. Jadi itu urusan yang cukup rumit dan menghabiskan banyak biaya, karena merupakan acara sosial besar yang dihadiri banyak orang.

Tiba-tiba sesuatu yang dahsyat mengancam hubungan saya dan Maria. Tunanganku itu menjelaskan bahwa dia hamil. Dia memberi tahu saya bahwa malaikat Gabriel telah mengatakan kepadanya, bahwa kehamilan itu terjadi secara ajaib dari Roh Kudus dan anak itu ditakdirkan untuk menjadi Raja Israel. Saya hancur oleh pengakuannya. Saya tentu tidak mudah menerima pengakuannya. Bisa jadi ia membuat informasi palsu untuk menutupi aibnya. Saya tidak tahu bagaimana dia hamil, tetapi itu tidak melibatkan saya!

Ketika mengetahui bahwa Maria yang saya cintai hamil, itu akan menyebabkan stigma sosial yang berat. saya menghadapi dua kemungkinan: (1) gugatan publik yang akan mencemarkan nama baik Maria karena ketidaksetiaan selama pertunangan; disini saya punya hak untuk membawanya ke hadapan para imam dan menuduhnya dengan perzinahan, dosa yang bisa dihukum mati; atau (2) perceraian, menurut hukum yang berlaku untuk pertunangan. Sebagai pria yang saleh, saya memilih yang terakhir (Matius 1:19). Saya tidak punya keinginan untuk menyakiti atau mempermalukan Maria secara terbuka. Sejujurnya, saya mencintainya. Jadi saya menyarankan padanya agar kita bercerai. Itu adalah satu-satunya cara agar pertunangan kami bisa berakhir dan itu akan menyelamatkannya dari aib publik yang seharusnya ia terima.

Berita kehamilan yang disampaikan Maria adalah percakapan paling menyakitkan yang pernah saya alami, sehingga memberi kami berdua waktu untuk memulihkan diri. Dia meninggalkan Nazaret untuk berkunjung dengan sepupunya, Elizabeth (yang mengandung seorang putra di usia tuanya, yang akan disebut Yohanes Pembaptis). Suatu malam ketika dia pergi, seorang malaikat Tuhan menampakkan diri kepadaku dalam mimpi, membenarkan apa yang dikatakan Maria. Ayah dari anak ini di rahim Maria bukanlah seorang kekasih yang terlarang. Paternitas ini dicapai melalui aktivitas supernatural dari Roh Kudus. Malaikat juga mengatakan bahwa kehamilan itu adalah perwujudan dari nubuatan para nabi sebelumnya. Berdasarkan mimpi itu, segera setelah Maria kembali saya mengatakan padanya bahwa saya tidak akan meninggalkannya. Saya kemudian menikahinya dan memindahkannya ke rumah yang sudah saya bangun untuk kami.

Ketika hampir tiba waktunya bagi Maria untuk melahirkan, sesuatu yang sulit terjadi. Kami harus berkemas menuju ke Betlehem, daerah asal semua keturunan Raja Daud untuk mendaftarkan diri dalam sensus yang diminta Kaisar Romawi. Karena kehamilan Maria, kami butuh sepuluh hari perjalanan untuk sampai di sana, dari yang seharusnya empat hari. Maria menaiki keledai kecil sementara saya berjalan kaki disisinya. Betapa tidak nyamannya dia selama perjalanan itu karena kehamilannya.

Kami tiba di Bethlehem dan berusaha mencari kerabat untuk menginap di kota itu. Rumah keluarga Yahudi biasanya memiliki ruang tamu (atau ruang atas – LAI menerjemahkan “rumah penginapan”) yang diperuntukkan bagi peziarah. Ternyata semua sudah terisi atau telah dijanjikan kepada orang lain. Tidak ada yang dapat menampung kami. Sementara istriku Maria merasa hendak melahirkan! Tepat ketika saya pikir kami telah kehabisan semua kemungkinan, seorang kerabat merasa kasihan pada kami dan menawarkan tempat di mana kami setidaknya bisa terhindar dari udara malam yang dingin. Sesuai dengan bentuk-bentuk rumah orang Yahudi pada masa itu, satu-satunya kemungkinan adalah menempatkan kami di ruangan bawah. Tak ada pilihan lain. Sekalipun itu bukan ruang tamu (kataluma), sekalipun di sanalah mereka biasa menjaga ternak mereka di waktu malam (dan karena itulah terdapat palungan).”

Di tempat yang sederhana itulah saya menyaksikan istri saya yang cantik melahirkan, hanya beralaskan bongkahan-bongkahan jerami. Saya menyaksikan keajaiban kehidupan terungkap dalam cara yang paling unik yang pernah terjadi dalam sejarah. Istriku melahirkan Anak Allah. Kami berbahagia karena Ia lahir dalam pangkuan cinta kami sebagai anak sulung. Saat Dia lahir, saya bertanya kepada Tuhan, “Mengapa di tempat hewan?” Tuhan berkata, “Di mana engkau mengharapkan Anak Domba dilahirkan?”

Biasanya di Israel kelahiran putra sulung adalah sebuah acara yang disertai dengan perayaan besar. Para ayah menyewa musisi untuk bernyanyi dan menari di jalan-jalan memberitakan kabar baik. Tapi kami hampir 70 mil dari rumah dan saya terlalu miskin untuk membeli musisi. Bapa di Sorga mengetahui kondisi kami. Ia membuka Surga. Menyuruh para malaikat bernyanyi dan memberitakan Kabar Baik kelahiran anak kami!

Saya percaya Allah yang sama juga akan menyediakannya bagi tiap keluarga yang setia kepadaNya. Mungkin kita tidak mampu menyiapkan hal-hal terbaik bagi anak-anak kita karena bekerja di ladang Tuhan. Tapi Bapa di Surga tahu apa yang kita butuhkan. Ia akan menyediakan hal-hal terbaik bagi anak-anak kita.

Saat Yesus lahir, kami mendapat kunjungan dari para gembala. Mereka mengaku mendapatkan informasi kelahiran anak kami dari para malaikat. Saat sedang mengembalakan ternak di padang Efrata, malaikat menampakkan diri kepada mereka dan menyampaikan kabar baik ini. Saya merenung. Kunjungan para gembala itu bisa bermakna ganda. Disatu sisi, padang Efrata dulunya milik nenek moyang kami, Boaz dan Ruth. Bagaimana Allah menyediakan rahmat bagi Rut, wanita Moab yang mengalami banyak kemalangan. Tapi imannya luar biasa, sebagaimana terkenal dalam ungkapannya: “Bangsamulah bangsaku, Allahmulah Allahku.” Perempuan asing inilah yang dipilih Allah menjadi nenek moyang raja Daud.

Sekali lagi saya belajar bahwa rahmat Allah demikian besar, bukan hanya bagi bangsa kami, tapi juga semua bangsa.

Di sisi lain, makna kehadiran gembala mempertegas status ganda Yesus sebagai Anak Domba sekaligus Gembala Agung. Para gembala ini memelihara domba yang khusus digunakan sebagai hewan kurban, yang akan dijual kepada para peziarah yang datang ke Yerusalem untuk Hari-hari Kudus. Ini adalah anak-anak domba yang dilahirkan untuk mati bagi dosa-dosa manusia. Ketika para gembala itu datang untuk berkumpul di sekeliling kita, perbandingan domba-domba mereka dengan bayi laki-laki kami sangat mencolok. Inilah Anak Domba Allah, yang dilahirkan untuk mati bagi dosa-dosa manusia. Kehadiran para gembala ini juga menunjukkan peran Yesus sebagai Gembala Agung. Ia akan memelihara domba-dombanya dengan tuntunan yang melampaui apa yang bisa disediakan gembala manusia.

Kunjungan terhadap anak kami juga datang dari imam-imam Persia yang dikenal sebagai orang Majus. Mereka tiba di Yerusalem, mengikuti bintang yang muncul di langit di atas Israel. Berabad-abad sebelumnya, Nabi Daniel yang tinggal di Persia sudah menubuatkan hal ini. Nubuatannya tidak hanya menjadi koleksi iman Israel, tapi juga Persia. Itu sebabnya orang Majus mengenal tanda kelahiran-Nya, dan itu akhirnya muncul. Setelah tiba, mereka bertemu Raja Herodes, memberi tahu dia bahwa seseorang yang “akan menjadi Raja Orang Yahudi” telah dilahirkan. Mereka bertanya di mana anak itu berada.

Rombongan orang Majus menyebabkan kehebohan di istana Herodes dan di seluruh Yerusalem. Secara tradisional Imamat Persia memainkan peran Kingmaker, di negeri tetangga juga di negara mereka sendiri. Mereka telah menjadi begitu kuat sehingga tidak ada Raja di wilayah itu yang dapat memerintah lama tanpa restu mereka. Nubuatan mereka tentang jatuh bangunnya sebuah kerajaan beserta pemerintahannya sangat manjur.

Sebagai jawaban atas pertanyaan mereka, Herodes memanggil para imam kepala yang membaca dari gulungan Nabi Mikha (Mikha 5:1) bahwa Mesias akan lahir di Betlehem, di tanah Yehuda. Informasi inilah yang menyebabkan orang Majus dapat menemukan kami di sana dan memberikan hadiah emas, kemenyan, dan mur untuk Yesus. Kemudian dalam kontras yang luar biasa dengan perlakuan yang Yesus terima di sini sejak datang ke bumi, orang Majus yang kuat ini dan seluruh rombongan mereka membungkuk rendah dan menyembah putra kami.

Nubuatan nabi Mikha yang disampaikan para majus membuat saya mencoba menelusuri garis keturunan Yehuda dari saya dan Maria. Saya bukan hanya dari suku Yehuda, tetapi keturunan Raja Daud, dalam garis kerajaan suksesi tahta melalui Raja Salomo. Jadi, meskipun seorang tukang kayu yang miskin dari Nazaret, secara teknis saya seorang Pangeran Israel, sebaris untuk menjadi Raja.

Tetapi Tuhan telah mengutuk garis keturunan kerajaan, seperti yang disebut, pada masa Raja Yoyakin (juga disebut Jeconiah) 600 tahun sebelumnya. Dia begitu jahat sehingga dalam kemarahan Allah menyatakan bahwa tidak ada keturunannya yang akan memerintah lagi di Israel (Yeremia 22: 28-30). Jadi meskipun Allah telah berjanji kepada Raja Daud bahwa hanya keturunan langsung dari putranya, Salomo, yang bisa menjadi raja di Israel, garis kerajaan sekarang dikutuk. Menjadi keturunan dari Salomo, saya adalah bagian dari garis itu sehingga baik saya, maupun keturunan darah saya, tak bisa menjadi raja karena kutukan.

Maria juga berasal dari Suku Yehuda, dan keturunan langsung Raja Daud juga, tetapi melalui Nathan, saudara laki-laki Salomo. Garis darah Nathan tidak dikutuk. Itu sebabnya secara biologis Yesus tidak boleh terkait darah dengan siapa pun dalam garis keturunan kerajaan, karena dia akan mewarisi kutukan.

Tentu saja Tuhan, yang tahu Awal dan Akhir, tidak melanggar janji-Nya kepada Raja Daud dengan mengutuk garis kerajaan. Dia tahu bagaimana akan menyelesaikan masalah. Pada saat yang tepat, Dia akan mengatur agar seorang perawan dari keturunan Daud dapat menikah dengan seorang pria di garis keturunan suksesi dan kemudian memiliki anak laki-laki tanpa partisipasi suaminya.

Jadi sekarang saya mengerti mengapa putra kami disebut “berasal dari keluarga dan keturunan Daud” (Lukas 2:4). Melalui ibu-Nya Ia diturunkan dari Raja Daud, seorang anggota “keluarganya.” Karena Ia secara hukum anak saya, Dia mewarisi garis keturunan kerajaan, tetapi karena kami tidak berhubungan secara biologis, dia mengesampingkan kutukannya. Hal ini membuat putra kami satu-satunya orang di Israel yang memenuhi syarat untuk menjadi Raja orang Yahudi.

Seorang malaikat memperingatkan saya dalam mimpi bahwa Raja Herodes berencana untuk membunuh Yesus, melihat bayi kami sebagai ancaman terhadap pemerintahannya, dan mengatakan kepada saya untuk membawa Dia dan ibu-Nya ke Mesir segera. Persembahan para majus menjadi modal kami untuk melarikan diri dan tinggal di Mesir sampai malaikat memberi tahu kami bahwa Herodes telah meninggal dan kami sudah bisa kembali ke rumah. Kemudian kami mengetahui bahwa setelah kami meninggalkan Betlehem, tentara Herodes telah membunuh semua anak laki-laki di sana di bawah usia dua tahun dalam upaya yang mengerikan untuk membunuh Yesus. Ini telah dinubuatkan oleh Yeremia 31:15, dan tentu amat menyakitkan bagi semua ibu yang putranya dibunuh secara brutal pada waktu itu. Akhirnya, setelah absen beberapa tahun, kami kembali ke Nazaret dan memulai kehidupan yang lebih normal bersama sebagai satu keluarga. Kami memutuskan untuk membangun keluarga kami dan akhirnya memiliki empat putra lagi.

Hidup serumah dengan Yesus bukanlah sesuatu yang mudah. Bagaimana memelihara dan mendidik Anak Allah dalam rumah kami, sambil pada saat bersamaan harus sujud di hadapan-Nya sebagai Raja Alam Semesta? Tetapi kami bersyukur, Yesus membuatnya semudah mungkin bagi kami.

Catatan redaksi:
*Cerita dari sudut pandang Yusuf, orang pertama tunggal. Sejujurnya saya bukan penulis asli cerita ini, hanya menerjemahkan karya orang lain. Mohon maaf kepada penulis asli sebab saya kehilangan jejak pustakanya.
**Yusuf juga berhasil dalam pendidikan keluarganya sehingga Yakobus dan Yudas, saudara Yesus, melakukan pekerjaan yang luar biasa atas nama-Nya. Bahkan mereka menyumbang harta yang amat berharga bagi semua pengikut Yesus sepanjang masa, yakni surat Yakobus dan Yudas yang diakui sebagai tulisan suci dalam PB.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *