Cerita Pdt. Niko Selan Tentang Kronologi Bencana di Pido-Alor: Jemaat Berlinang Air Mata Membaca Mazmur 23

Rumah warga Pido yang diterjang banjir. Foto: Pdt. Niko Selan

ALOR, www.sinodegmit.or.id, Pido, salah satu kampung di Alor Timur Laut, kehilangan 17 warga akibat Siklon Seroja.  13 rumah hanyut. 5 warga terkubur longsor telah ditemukan. 12 korban hilang sampai hari ini.

Bencana itu amat memilukan. Trauma yang sangat dalam masih dirasakan. Namun, warga tak kehilangan iman dan harapan.  

Pendeta Niko Selan, Ketua Majelis Jemaat GMIT Ebenhaezer Pido, mengisahkan kronologi peristiwa tragis itu demikian:

Kamis tanggal 1 April, hujan turun dengan intensitas sedang. Puncak hujan lebat disertai angin kencang terjadi pada Minggu tengah malam hingga Senin dini hari tanggal 5 April.

Sabtu, Jam 11:30 malam, di tengah angin dan hujan deras saya keluar melihat keadaan sekaligus membangunkan warga untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi karena banjir makin tinggi dan longsoran mulai runtuh. Rumah saya hanya berjarak hanya kurang lebih 10 meter dari kali (sungai) yang sedang meluap. Saya menuju jembatan yang menghubungkan warga RW 1 dan RW 2. Di situ ada 4 orang dewasa juga sudah menunggu hendak menyeberang namun banjir sudah mencapai jalan di atas jembatan. Cepat-cepat kami minta warga segera mengungsi.

Minggu Jam 2.00 dini hari, terdengar bunyi gemuruh air yang dasyat sekali. Kami lari ke jembatan untuk memastikan keadaan. Kami tidak bisa lari ke kampung lain, karena kampung Pido dikelilingi pegunungan. Warga tinggal di bawah lereng yang berbentuk cekungan seperti wajan/kuali dengan kali di tengahnya.   

Jam 4.12 subuh, jembatan putus akibat luapan banjir. Warga berkumpul di ujung jembatan sambil menyaksikan dengan mata kepala longsoran yang mengalirkan lumpur, batu dan pepohonan menimpa apa saja termasuk rumah-rumah mereka.

Jam 5:30, saya berlari menuju rumah Mama Yunita Lande, bendahara gereja kami. Rumahnya tepat di lereng yang mulai longsor dari atas dan banjir yang naik dari bawah dan sudah masuk ke dalam rumah. Saya berusaha membantu mereka memindahkan barang-barang sebisa mungkin dan setelah itu kami lari ke tempat yang aman. Hanya berselang 10 menit kemudian rumah Mama Yunita hanyut terseret banjir dan longsor. Puji Tuhan, kami bersyukur 5 anggota keluarganya selamat. Kami menyaksikan peristiwa naas itu dengan airmata berderai.

Tidak hanya rumah ibu Yunita, 8 rumah di pinggir kali Liwapangua juga ikut hanyut.

Karena Minggu pagi itu adalah Hari Paskah, warga jemaat yang telah kehilangan rumah dan harta benda lainnya meminta saya untuk kami beribadah di gereja yang hanya beberapa meter dari lokasi longsor.

Jam 09.00 pagi kami mulai kebaktian Paskah yang dihadiri 14 orang. 8 perempuan dewasa, 4 laki-laki dewasa dan 2 orang anak. Saya memilih nas pembimbing dari Mazmur 23 “Tuhan Gembalaku Yang Baik”. Kami semua membaca nas itu sambil menangis.

Waktu doa syafaat, saya turun dari mimbar dan mengajak semua yang hadir berlutut di bawah mimbar dan kami sama-sama mengucapkan doa yang diajarkan Tuhan Yesus, “Doa Bapa Kami”. Kami merenungkan bacaan Firman Tuhan dari Injil Yohanes 20:14-16 yang bertema “Berpaling Kepada Sang Hidup”.

Setelah kebaktian, kami mengunjungi pos-pos pengungsian di empat titik. Kami mendoakan Mama Yunita yang sangat sedih. Dengan air mata ia memeluk kami satu per satu. Kunjungan berlangsung sampai jam 11.00

Tiba-tiba kami dengar bunyi gemuruh seperti gempa. Perbukitan di sebelah kali yang hanya berjarak 15-20 meter dari tempat kami berdiri longsor. Kami mulai gentar. Saya mengajak warga menuju sebuah salib di dekat kantor desa lalu kami berdoa minta pertolongan Tuhan di situ.

Mama Nila Letde Maure, korban longsor pertama yang berhasil ditemukan. Foto: Pdt. Niko Selan

Sore itu kami mendengar kabar 17 warga RW 2 di seberang kali hilang. Mereka ada warga Gereja Bethel Indonesia (GBI) Ileba.  

Senin, 5 April, kami kebaktian syukur Paskah. 10 orang jemaat yang hadir.

Rabu, 7 April, saya mengajak warga mencari korban yang hilang. Jemaat melarang saya karena longsor sangat berbahaya tapi saya bertekad kami harus cari. Saya gemetar karena takut tapi kami berdoa dan memulai pencarian. Puji Tuhan kami berhasil menemukan Mama Nila Letde Maure (48 tahun) yang terkubur lumpur sekitar 10 kilometer dari lokasi bencana. 4 korban meninggal lainnya juga berhasil ditemukan di Taramana, sekitar 25 kilometer dari lokasi bencana. Sisanya 12 orang masih hilang sampai sekarang. Salah satunya adalah anak perempuan dari mama Nila, yang bekerja sebagai guru di SD GMIT Pido.

Kami bersyukur tanggal 5 April, 2 anggota TNI datang membantu kami evakuasi warga.

7 April, Petugas kesehatan tiba dan mengobati para korban luka.

8 April, Yayasan Tribuana, Dinsos dan lain-lain tiba. Mereka datang dengan motor trail karena akses jalan tidak bisa dilewati mobil.  

Kami berterima kasih kepada Tuhan dan juga kepada semua sesama saudara lintas agama, suku dan negara, gereja, pemerintah, LSM dan semua orang yang mengingat kami dalam doa-doa di mana saja berada dan juga mengulurkan tangan membantu kami. Tuhan menyertai kita. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *