Iman dan Bencana – Pdt. Emr. Semuel Victor Nitti

KUPANG, www.sinodegmit.or.id,Virus corona menyebar dan menular cepat dan cepat pula membunuh. Seluruh negara telah didatanginya. Banyak orang terpapar dan sebahagian meninggal. Rumah sakit – rumah sakit tidak siap menangani para korban virus ini karena tidak ada obatnya, fasilitas khusus untuk ini pun tidak cukup serta kurangnya petugas kesehatan.

Disadari bahwa virus ini amat mudah menular dari orang ke orang, apalagi dalam kerumunan atau perkumpulan banyak orang. Maka pemerintah setiap negara menghimbau (ada yang memaksa) seluruh komponen bangsa, seluruh kelompok masyarakat, untuk ikut bekerja keras mencegah penyebaran dan penularan virus tersebut. Salah satu bentuk usaha itu adalah menghindari keramaian dan tidak mengadakan acara yang menghadirkan banyak orang.

Salah satu esensi hidup menggereja adalah berkumpulnya banyak orang, bisa ratusan bahkan ribuan orang, pada hari tertentu untuk beribadah bersama, baik pada hari minggu mau pun pada hari-hari lain sesuai kebutuhan hidup menggereja. Lalu bagaimana sikap gereja: tetap berkumpul dan beribadah seperti biasa karena itulah tanda iman kepada tuhan sambil percaya bahwa tuhan berkuasa untuk mencegah terjadinya penularan virus atau meninjau ulang cara beribadahnya agar tidak menjadi sarana penularan virus corona. Dengan kata lain: beribadah seperti sediakala dan yakin akan kuasa tuhan dan kesiapan untuk menerima dengan iman terjadinya penulara, atau meninjau ulang cara beribadahnya menjadi cara beribadah yang membela kehidupan manusia di dalam dan di luar gereja, sekaligus cara melawan “kuasa jahat” (dalam wujud virus) yang mengintai untuk merusak dan membunuh manusia.

Di sini pembacaan teks-teks alkitab dan penafsiran serta implikasinya bagi gereja untuk menentukan cara beribadahnya di masa krisis ini harus dilakukan dengan hati-hati. Dalam alkitab ada teks yang menyaksikan tentang orang-orang percaya siap menyongsong kematian karena mempertahankan iman dan praktek beribadahnya. Misalnya Sadrak, Mesakh dan Abednego, dalam kitab Daniel pasal 3, yang tetap mempertahankan iman dan cara beribadahnya dan dengan tabah menerima hukuman dibakar dalam perapian yang bernyala-nyala.

Kisah ini hendak dijadikan pola bagi gereja menghadapi virus corona yaitu: “baiklah gereja dan orang percaya tetap mempertahankan cara beribadahnya, siap menghadapi kemungkinan tertular virus corona dengan yakin bahwa tuhan sanggup (berkuasa) menjinakkan virus corona. Padahal kisah Daniel 3 berbeda dengan virus corona. Sadrak dan teman-temannya menghadapi kuasa paksa yang menuntut mereka untuk meninggalkan iman mereka agar mereka tetap hidup atau setia pada iman mereka dan menerima hukuman mati dari kuasa paksa tersebut. Sementara virus corona bukan kuasa paksa yang bisa memaksa semua orang untuk menerima penularan. Virus corona itu ancaman yang netral, tanpa kuasa paksa. Gereja dan warga gereja punya pilihan untuk menghindari virus corona sekaligus menyumbang untuk mencegah penularannya. Maka menata ulang cara beribadah minggu dan ibadah lain untuk menjadi ibadah yang menghindari penularan virus sekaligus menjadi ibadah yang mencegah penularan virus corona adalah tindakan iman, bukan tanda iman kurang. (Ada banyak teks lain yang tidak dapat saya bahas di sini).

Biarlah gereja tetap menjadi gereja yang menafsir teks-teks alkitab dengan saksama dan hati-hati untuk membimbing umatnya menjadi orang percaya yang kreatif hidup, beribadah, bekerja dan melayani bagi membela dan merawat kemanusiaan dari berbagi macam ancaman. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *