Kedaulatan ada di Tangan Rakyat atau Partai?

Kupang, www.sinodegmit.or.id, 17 April 2019 ini, Indonesia telah menggelar 11 kali Pemilihan Umum. Orang menyebut perhelatan politik ini sebagai pesta demokrasi. Demokrasi secara harafiah berarti kekuasaan atau kedaulatan ada di tangan rakyat. Kita patut bertanya, apakah rakyat sungguh-sungguh berdaulat dalam pesta demokrasi itu atau jangan-jangan bukan rakyat tapi di tangan partai politik.

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dalam Pokok-Pokok Eklesiologinya menyadari bahwa politik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan gereja. Karena itu pada bulan April 2019 ini, Majelis Sinode GMIT menggelar seminar politik dalam rangka mempersiapkan modul pendidikan politik warga.

Salah satu pembicara dalam seminar ini adalah Pdt. Dr. John Campbell-Nelson. Beliau adalah utusan United Church of Christ (UCC) dari Amerika Serikat yang sudah bekerja di GMIT 36 tahun. Catatan di bawah ini merupakan ringkasan materi lisan yang ia sampaikan pada kegiatan tersebut.

Demokrasi Republikan, Liberal dan Deliberatif

Pdt. Dr. John Campbell-Nelson,.

Saya diberi tugas bicara mengenai diversifikasi politik anggota GMIT. Saya perlu terangkan bahwa saya akan membicarakannya dalam kerangka demokrasi. Saya lebih suka bicara mengenai demokrasi daripada politik secara umum karena demokrasi memberi kerangka moral yang di dalamnya kita mempunyai patokan untuk menilai politik macam apa yang sedang dijalani, apalagi untuk warga gereja, demokrasi menjadi salah satu cita-cita yang akan selalu mewarnai keterlibatan kita dalam politik.

Ada tiga model demokrasi yang diajukan oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas yang cukup menolong kita memahami apa yang sedang terjadi dengan demokrasi di Indoensia. Ada 3 model yaitu: Republikan, liberal dan deliberativ.

Pertama, Republikan, yang paling tua. Kata ini berasal bahasa Latin res dan publica, artinya urusan umum. Kalau anda ingat cerita demokrasi di Atena kuno, pola ini berfungsi paling baik dalam sebuah masyarakat yang relatif homogen; tidak terlalu banyak orang dan tidak terlalu banyak berbeda satu dengan yang lain. Sehingga masih memungkinkan untuk mencapai konsensus tentang apa yang mau dibuat dengan sumber daya publik untuk mengelola kehidupan bersama bagi kebaikan dan kepentingan bersama. Itu yang paling dominan dari pola republikan. Di kemudian hari banyak disebut republik, tapi belum tentu dia mengelola demokrasi dengan cara begini. Di kampung, pola seperti ini tampak dalam musyawarah mufakat sejauh kampungnya masih homogen. Kalau desa-desa di sekitar Kupang makin sulit dikelola dengan cara begini karena sudah mulai sangat heterogen.

Kedua: Liberal. Model ini terkenal dari revolusi Amerika dan konstitusi yang mendirikan Amerika sebagai sebuah demokrasi yang sifatnya liberal. Mengutamakan hak dan kebebasan warga. Apalagi kalau orang membentuk demokrasi setelah sebuah revolusi melawan kuasa yang dianggap menindas, nilai-nilai untuk melindungi kemerdekaan dan hak asasi dari anggota sangat terasa penting. Di sana tujuan dari demokrasi liberal adalah untuk melindungi kemerdekaan orang banyak yang berarti harus ada proses negosiasi yang mana kebebasan saya jangan menindas kebebasan anda; kepentingan satu kelompok jangan membatalkan kepentingan kelompok yang lain. Jadi demokrasi liberal sifatnya semacam tawar menawar di antara kepentingan-kepentingan. Dan itu dianggap wajar supaya masing-masing pihak bisa ikut kemauannya. Pola seperti itu paling cocok di dalam masyarakat majemuk.

Kegita: Demokrasi deliberativ. Deliberasi artinya sebuah diskusi, dialog, perdebatan, untuk mencapai sebuah keputusan.  Demokrasi liberativ mengutamakan mutu komunikasi dan partisipasi politik. Tidak mengandalkan bentuk masyarakat tertentu tapi dia mau menyediakan sebuah forum di mana semua warga bisa menyatakan kehendaknya dan suaranya bisa terdengar. Dalam kondisi seperti itu kita bisa memilih dalam hal mana kita mau berlaku seperti sebuah republik, di mana kita mengatur bersama, dalam hal mana kita mau jalan masing-masing dan bagaimana kita membagi sumber daya publik utuk mencapai tujuan-tujuan itu.

Contoh: Kalau kita mau bangun jalan, lebih baik kerja bersama-sama atau sendiri-sendiri. Masing-masing tangani 30 meter di depan rumah atau kita gabung dan setuju bikin sama-sama. Kalau kerja sama-sama itu Itu gaya republik. Gaya liberal, kalau buat sendiri-sendiri. Saya kaget di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), mereka pakai gaya liberal untuk bangun jalan. Tidak bisa sepakat bangun jalan aspal lewat jalur mana. Oenlasi sampi So’e, atau Kapan sampai So’e. Mereka tidak bisa setuju, jadi setiap desa dapat satu kilo aspal. Dan dampaknya sangat terasa. Kalau kita jalan-jalan di pedalaman TTS sebentar kita jalan setengah mati di batu-batu, sebentar kita dapat satu kilo aspal yang bagus. Tapi tidak sambung dengan apa-apa. Itu contoh solusi masalah liberal yang sebetulnya republik. Pertanyaan berikut apakah kita mau investasi besar-besaran untuk transportasi umum atau kita lebih senang masing-masing dengan motor, mobil dan sebagainya. Jelas orang lebih memilih kalau dia ada kendaraan sendiri. Itu solusi liberal untuk soal transportasi.

Bagaimana dengan demokrasi deliberative? Demokarasi deliberativ memungkinkan kita memilih hal mana yang kita buat bersama dan mana yang kita buat sendiri-sendiri. Untuk sebuah masyakat seperti Indonesia sekarang, di mana ikatan lokal sangat kuat tapi perbedaan juga sangat luas dari daerah ke daerah maka republikan mungkin tidak terlalu cocok, tapi liberal juga tidak cocok dengan sendirinya. Karena itu rasanya kita butuh sebuah proses deliberasi yang menentukan pada saat mana kita pakai solusi bersama atau solusi sendiri-sendiri. Itu yang lebih cocok. Jadi saya lagi menjual model demokrasi yanag disebut deliberativ.

Nah, apa yang terjadi di Indonesia? Pada masa orde baru kita pakai model republikan dengan jargon: demi persatuan dan kesatuan bangsa, musyawarah-mufakat, gotong-royong bahu-membahu, serentak dan seragam. Walaupun ada banyak kepentingan, perbedaan pendapat dan lain-lain, tapi dengan tangan kuat, paling sedikit ada sebuah topeng demokrasi republikan. Tidak banyak partai. Hanya ada 3 partai, namun pada dasarnya hanya satu yang berfungsi. Seolah-olah kita semua benar-benar bersatu.

Selanjutnya masa reformasi kita beralih pada model demokrasi liberal. Masuk akal bahwa keanekaragaman Indonesia makin disadari lewat mobilitas yang lebih tinggi, komunikasi yang lebih lancar dan kita makin menyadari perbedaan dari daerah ke daerah. Kita makin menuntut penghargaan terhadap hak asasi manusia. Kita makin beraneka ragam dalam gaya hidup dan cita-cita. Dampak globalisasi membuat kita sadar bahwa dunia ini luas sekali, beraneka ragam budaya, gaya, selera dsb. Apalagi kita cape dengan tekanan dari pihak penguasa pada jaman orde baru. Wajar saja kalalu kita beralih pada demokrasi liberal. Wujudnya adalah jumlah partai membludak. Otonomi daerah memberi lebih banyak ruang untuk kabupaten dan sebagian. Politik menjadi pasar bebas. Masyarakat jadi bingung.

Saya tidak pernah lupa, pemilu 1999 di mana-mana di TTS orang datang dan bisik-bisik, “Dong bilang boleh pilih partai lain selain Golkar. Betul ko Pak? Jangan-jangan ini jebakan?” Mereka ingat peristiwa 1965. Berani salah arah nanti ditangkap.

Masih butuh tahun 2004 baru orang memilih sendiri. Dalam pasar bebas partai-partai, bukan hanya soal jumlah yang membludak tapi semuanya dengan tujuan masing-masing yang jelas. Itu baik. Tapi kurang ada landasan yang jelas untuk sebagian besar partai. Jati diri ideologisnya masih bisa dipertanyakan, kecuali satu atau dua partai Islam yang agak lebih terang. Dulu ada sejumlah partai Kristen, tapi ternyata partai Kristen yang terakhir yang saya kenal hanya kumpul duit. Terpilih atau tidak terpilih itu urusan mereka, yang penting dia sudah kumpul uang. Untung, partai itu tidak bertahan terlalu lama.

Setiap partai hampir ada pemiliknya. Kita hampir bisa sebut demokrat, SBY punya, Hanura Wiranto punya, Gerindra-Prabowo punya. Nasdem, Surya Paloh. Mereka ini manusia, bukan ideologi. Bukan nilai-nilai, juga bukan filsafat politik. Ini orang yang punya kepentingan masing-masing.

Di tengah kekosongan makna dari sebuah partai, dia butuh sebuah kendaraan yang bisa ditumpangi siapa saja dan bisa bayar tiket. Kita bisa hitung sekarang berapa politikus yang kita kenal pindah dari satu partai ke partai lain selama masih ada kursi untuk dia. Masalah dengan pola seperti itu kita rasakan secara lokal bahwa karena tidak ada alasan untuk pilih partai ini daripada partai itu maka kita pilih berdasarkan apakah kita punya orang ada di situ?

Si A kita pilih karena dia kita pung orang, bukan karena kita punya ideologi, bukan kita punya filsafat politik, tapi semata-mata karena dia “kita punya orang”. Dan menurut saya itu wajar, bukan hal yang salah oleh masyarakat kita. Saya tahu, tetangga kami di Noelbaki, omong-omong mau pilih siapa dalam pemilu, mereka hitung bukan partainya. Bisa saja mereka garuk kepala baru mereka ingat dia pung nama partai. O… beta kenal dia dari dulu, o… dulu beta sekolah dengan dia punya adik, o…dia beta punya bapak saksi, dan seterusnya. Itulah relasi. Karena hanya melalui relasi kita dapat manfaat dari terpilihnya seseorang. Semua politik identitas berperan di situ.

Relasi itulah yang lebih menentukan dan membuat gereja terbawa. Jadi, bukan gereja sengaja bikin tapi gereja terbawa oleh perkembangan politik di negara kita. Akibatnya, hanya ada dua pilihan sampai sekarang, dua-duanya jelek. Pilih pertama; tenggang rasa. Tidak usah omong politik di gereja. Nanti orang berkelahi. Atau ada yang pakai kedudukannya sebagai pendeta atau penatua dalam jemaat untuk mempengaruhi suara dari anggota. Terjadi konflik, jemaat bisa pecah, majelis jemaat yang satu mungkin tidak omong dengan yang lain dan butuh pastoral kuat-kuat setelah pemilu baru bisa damai. Ada jemaat yang pecah gara-gara pemilihan kepala desa. Berulang kali itu terjadi. Itu perkembangan dari model republikan paksa, pada model liberal pasar bebas. Gereja terlilit dan termasuk dalam kebingungan itu.

Alternatif yang saya tawarkan bagi kita adalah kita mulai membangun demokrasi deliberativ. Kita mulai mengutamakan mutu komunikasi dan partisipasi politik. Jemaat jangan diam-diam tapi juga jangan pengaruh-mempengaruhi. Jemaat membuat forum untuk bicarakan cita-cita politik bersama seperti apa secara terbuka. Dan cita-cita itu bukan dalam bentuk orang ini dan orang itu, toh sama saja. Partai ini atau itu, sama saja, tapi kebijakan apa, isu apa, masalah sosial apa yang kita mau ditangani, sehingga siapa pun yang terpilih dia melaksanakan apa yang kita pesan sebagai kebutuhan dan kepentingan rakyat.

Saya tidak peduli siapa yang menduduki kursi. Asal dia kerja apa yang dibutuhkan rakyat. Dengan demikian fokus kita bukan pada soal kalah dan menang, tapi pada soal siapa yang akan mengatur pekerjaan kita bersama. Kita fokus pada isu bukan pada orang atau partai. Pada akhirnya kita juga bukan fokus pada siapa yang bisa kumpul jumlah suara paling banyak tapi siapa yang punya suara terbaik dalam mengungkapkan, merumuskan dan memahami pergumulan masyarakat. Dan saya kira peran seperti itu tepat bagi gereja. Kita bisa menemukan cara yang baru untuk berpolitik. Nanti kalau membuahkan hasil partai-partai dong baru ikut dari belakang.

Kedaulatan di Tangan Siapa?

Dalam sesi diskusi, seorang peserta seminar bertanya mengenai perbedaan demokrasi di Amerika dan di Indonesia. Berikut penjelasan Pdt. John Campbell-Nelson.

Mengenai perbedaan politik Amerika dan Indonesia, bukan Amerika lebih baik, tapi Amerika lebih lama. Tetapi akhir-akhir ini Amerika bermasalah dengan demokrasinya juga.

Kesehatan sebuah demokrasi bukan hanya pada hukumnya atau prosedurnya tapi pada rakyatnya. Kalau rakyat sakit, demokrasinya juga sakit. Dan rakyat Amerika lagi sakit. Ada setengah lebih warga negara Amerika berkulit putih seperti saya, keturunan Eropa. Sisanya 40-an% berasal dari mancanegara, seperti Amerika Latin, Afrika, Asia dan sebagainya. Kelompok itu makin meningkat.

Bagi orang kulit putih yang anggap warna kulit bukan hal yang istimewa, perbedaan itu patut disyukuri. Tapi bagi orang kulit putih yang kampungan betul-betul, dong takut. Persis seperti orang di Timor yang lihat saya kulit putih, dong takut. Di Amerika, orang kulit putih lihat orang kulit hitam dong takut.

Nah, baru-baru mereka yang takut itu kumpul lalu pilih Donald Trump jadi presiden. Dan sejak waktu itu mereka cari jalan untuk membatasi demokrasi, karena mereka tahu bahwa lama-kelamaan mereka jadi minoritas. Kasihanilah mereka.

Tapi satu berbedaan di mana Amerika masih agak lebih maju dari Indonesia dan perlu diperjuangankan, akan tapi akan sulit diperjuangkan di Indonesia adalah: kalau di Amerika wakil yang tidak ikut kemauan rakyat, rakyat bisa bikin re-call dan bisa kasi turun dia dari kursinya, karena kekuasaan atau kedaulatan ada di tangan rakyat yang memilih dia. Sedangkan di Indonesisa wakil yang dipilih mewakili partainya. Kalau dia tidak ikut kemauan partai, partai bisa kasi keluar dia.

Nah, konsekuensi kita di Indonesia, demokrasi bukan milik kita. Dia milik partai politik dan bagaimana merebut demokrasi dari tangan partai politik? Ini tidak akan gampang karena partai sudah pegang. Itu tantangan perkembangan demokrasi yang berikut di Indonesia. Apabila tantangan itu berhasil direbut oleh rakyat, barulah kita bisa mengharapkan sebuah demokrasi yang memang layak disebut demokrasi. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *