Lokakarya Teologi Inklusif di Sabu

BOLOU-SABU TIMUR, www.sinodegmit.or.id, Melaksanakan salah satu amanat Haluan Kebijaksanaan Umum Pelayanan (HKUP) tentang pengembangan teologi inklusif, Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Teologi Majelis Sinode GMIT menggelar Lokakarya Teologi Inklusif dengan tema “Berteologi PascakolonialDalam Menanggapi Masalah-masalah Sosial dan Ekologi di Nusa Tenggara Timur.”

Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari sejak Selasa-Kamis (16-18/10) di Jemaat Bethesda Bolou, Klasis Sabu Timur melibatkan 50 peserta dari 9 klasis yang berada di teritori Kupang Daratan, Semau, Rote dan Sabu.

Pdt. Nikolas Lumba Kaana, M.Th, sekretaris bidang UPP Pengembangan Teologi, menjelaskan kegiatan ini bertujuan membangun pemahaman dan keterampilan berteologi pasca kolonial dan menciptakan ruang interaksi komunitas lintas iman terkait tanggung jawab agama-agama terhadap berbagai masalah sosial dan ekologi.

Mengacu pada cerita “Perjumpaan Yesus Dengan Perempuan Sirofenesia” dalam Markus 7:24-30, Pdt. Niko mengatakan, ruang-ruang perjumpaan lintas iman dibutuhkan dalam rangka membangun perspektif yang saling memperkaya. Sebagaimana Yesus belajar dari iman perempuan yang berbeda etnis dan agama demikian juga komunitas lintas iman masa kini saling berjumpa, mengisi dan membangun keadilan, kesetaraan dan perdamaian bagi sesama dan alam.

Tiga narasumber dan topik yang dibahas pada lokakarya ini antara lain; Pdt. Ira Mangililo, Ph.D, “Pengenalan tentang Teologi Pascakolonial – Teori, Istilah, Wacana Pascakolonial” dan “Berteologi Poskolonial di dalam Menanggapi Masalah-masalah Sosial dan Ekologis”, Pdt. Dr. John Campbell-Nelson, “Eklesiologi Pascakolonial–Kolonialisme dan Pascakolonialisme dalam Sejarah dan Praksis Bergereja Hingga Kini” dan Dr. Mery Kolimon, “Teologi Poskolonial Agama-agama terhadap Isu-isu Sosial dan Ekologis–Definisi Agama/Aliran Kepercayaan, Pengaruh Sejarah Kolonial terhadap Relasi antar-Agama”.

“Lokakarya ini sangat bermanfaat. Di kampus dulu, kita belajar teologi dari Eropa tanpa menggali sungguh-sungguh hegemoni budaya yang mungkin terselip di dalamnya dan terus mewaris dalam praktik bergereja kita hingga sekarang. Lokakarya ini menolong kita mengkritisi pandangan-pandangan itu. Manfaat berikutnya, memberi pencerahan supaya kita tidak serta merta mengklaim bahwa sesuatu yang lokal itu rendah mutunya. Padahal teologi lokal itu bila digali bisa memperkaya khasah berteologi kita,” ungkap Pdt. Yapi Niap peserta dari Klasis Amarasi Timur.

Ia berharap lokakarya semacam ini diadopsi dilingkup klasis sehingga semakin banyak peserta baik pendeta maupun penatua, diaken terlibat.

Rabu, (17/10) peserta dijadwalkan akan mengadakan kunjungan dan diskusi bersama komunitas lintas iman dengan agama suku Jingitiu, Islam dan Katolik di Sabu Timur dan Sabu Barat.

Sebelumnya lokakarya yang sama dengan tema berbeda dilaksanakan di Teritori Alor, TTU, dan Kota Kupang. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *