MAHASISWA FAKULTAS TEOLOGI KUNJUNGI RUMAH IBADAH LINTAS AGAMA

KUPANG,www.sinodegmit.or.id, Sebanyak 71 orang mahasiswa semester VI Fakultas Teologi-UKAW Kupang, Minggu 18/06-2017 mengadakan kunjungan ke beberapa rumah ibadah di kota Kupang. Didampingi Pdt. Dr. Fredriek Doeka, dosen pengasuh mata kuliah teologi agama-agama, para mahasiswa sejak pukul 05:30 wita berkumpul di kampus UKAW menuju Biara Claret-Penfui dan mengikuti misa pagi pukul 06:00 wita bersama para frater dan suster setempat.

Usai mengikuti misa di kapela Biara Claret yang dipimpin pater Sintus, para mahasiswa diundang sarapan pagi bersama para frater. Suasana akrab tampak terasa di antara para mahasiswa dan frater yang makan bersama sambil mengobrol.

Pdt. Dr. Fredriek Doeka dalam sambutannya menuturkan bahwa kunjungan ke biara Claret ini merupakan pertama kali baginya dan bagi para mahasiswa. Perkunjungan ini bermaksud menjalin dialog silahturahmi antar komunitas Claret dan mahasiswa teologi. Ia berharap di masa mendatang dua komunitas calon pemimpin umat ini akan bertemu di medan layan masing-masing dalam suasana persahabatan.

“Saya bayangkan sekitar 15 tahun akan datang, akan ada pastor dari seminari ini dan pendeta yang duduk sama-sama saat ini bertemu di lapangan. Perjumpaan pagi ini menentukan apa yang nanti dikerjakan di medan pelayanan masing-masing,” ujarnya disambut applause.

Pater Sintus menyatakan perasaan senangnya dengan kunjungan ini. Ia bahkan mengapresiasi para pemuda gereja Protestan yang lebih banyak mengadakan kegiatan di biara Claret ketimbang pemuda Katolik sendiri. Dalam kesempatan ini, kedua komunitas mahasiswa saling bertukar pikiran tentang keunikan-keunikan dalam gereja Katolik termasuk pembaruan-pembaruan pasca konsili Vatikan II.

Sekitar pukul 10:00 wita dialog berakhir yang ditutup dengan menyanyikan lagu ”Sungguh Alangkah Baik”. Meski perjumpaan berlangsung singkat namun para mahasiswa dan para frater tampak gembira menikmati suasana kebersamaan perdana ini.

NUANSA BALI DI PURA OEBANANTA

Dari biara Claret kunjungan dilanjutkan ke tempat ibadah umat Hindu, Pura Oebananta yang terletak di belakang pasar Oeba-Kupang. Memasuki lokasi Pura, nuansa adat Bali sangat terasa. Sesajen, bunga kamboja, aroma kemenyan, ukiran dan busana adat khas Bali, dst, memberi kesan yang berbeda. Rombongan mahasiswa diterima oleh 5 orang pengurus Pura. Usai menyampaikan tujuan kedatangan oleh Pdt. Dr. Fredriek Doeka, para mahasiswa diberi kesempatan untuk berdialog dengan pengurus yang ada. Pertanyaan terkait kerukunan, adat-istiadat suku Bali, konsep-konsep teologi agama Hindu seperti nirwana, karma, reinkarnasi, patung, menjadi topik perbincangan hangat selama kurang lebih 2 jam.

Yoga, salah satu pengurus pura menjelaskan keunikan-keunikan dalam agama Hindu yang juga punya kesamaan dengan ajaran Kristen seperti anti kekerasan (ahimsa) yang telah dicontohkan oleh Mahatma Gandhi, Yesus Kristus, Marthin Luther King.Jr, Bunda Teresa, Nelson Mandela, dll. Belajar dari tokoh-tokoh tersebut terutama ajaran dari kitab suci masing-masing, menurutnya, seseorang tidak perlu menjadi Hindu yang baik untuk menjadi Kristen yang baik atau pun sebaliknya.

Selepas diskusi, para mahasiswa diajak untuk melihat-lihat bangunan-bangunan suci dalam kawasan pura sambil bersoal jawab terkait perlengkapan ritual seperti sesajen hingga bunga kamboja.

MESJID RAYA SIMBOL KERUKUNAN UMAT ISLAM-KRISTEN

Mesjid Raya-Kupang yang terletak di kelurahan Fontein, menjadi tujuan terakhir kunjungan para mahasiswa. Haji Muhammad Djafar, imam mesjid, menerima mahasiswa di aula yang terletak di belakang mesjid. Dalam perbincangan yang berlangsung selama satu jam terungkap betapa kehadiran mesjid ini tak lepas dari sumbangsih umat Kristen yang tinggal di sekitar mesjid.

Menurut haji Djafar, tanah bangunan mesjid merupakan pemberian dari Bupati Kupang W. C. H. Oematan pada tahun 1962. Awalnya, pemerintah menunjuk lokasi di samping Gereja Kota Kupang namun dibatalkan karena terlalu dekat dengan gereja. Sebagai ganti ditunjuklah lokasi yang sekarang berdiri gedung Bank Indonesia. Namun oleh umat Muslim dianggap jauh dari pemukiman mereka di Selam, sehingga lokasi sekarang inilah yang dulunya merupakan rawa-rawa menjadi pilihan terakhir.

“Dulu tempat ini rawa-rawa namun atas bantuan warga Fontein, waktu itu kepala desa Pak Kornelis Dima, beliau orang yang luar biasa ikut membantu warga  muslim membangun mesjid ini. Ini saya cerita dengan maksud untuk menjelaskan begitu bagusnya hubungan antara orang muslim dan kristen saat itu. Ini juga ditulis dalam sejarah mesjid ini, supaya menjadi teladan bagi generasi sekarang,” ungkapnya.

Haji Djafar juga mengungkapkan kedekatannya dengan beberapa tokoh pimpinan Gereja Protestan. “Saya akrab dengan Pdt. Niko Woly almarhum, kalau saya idulfitri dia datang ke rumah saya dan natal saya kunjungi beliau. Tapi sebelumnya saya juga dekat dengan Pdt. Fobia, juga dengan Pdt. Thobias Messakh. Termasuk juga dengan ketua sinode GMIT sekarang Pdt. Dr. Mery Kolimon,”ujarnya.

Pada kesempatan ini para mahasiswa dan pengurus mesjid berdialog menyangkut konsep Islam terkait relasi dengan agama-agama lain dan radikalisme yang belakangan menjadi isu nasional. Sholat Ashar pada pukul 15:00 wita mengakhiri seluruh kegiatan mahasiswa.

Richard Menno, salah satu mahasiswa, mengaku senang dengan kegiatan anjangsana ini karena terlibat langsung dalam perjumpaan dengan teman-teman dari komunitas yang beda agama. “Di ruang kelas kami belajar teori tapi melalui kegiatan ini kami belajar langsung dari konsep-konsep teologis yang tidak kami pelajari di kelas,” ungkapnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *