Merayakan Cinta di Sabu: Kisah Cinta Misionaris Jan Kornelis Wijngaarden dan Dina Berg – Fransisco de Kr. A. Jacob[1]

Keterangan Foto: Gedung Gereja di Seba oleh Philip Bieger sekitar tahun 1888

www.sinodegmit.or.id, Kalau kepada saya diberikan lagi satu kesempatan untuk memilih seorang perempuan untuk dibawa ke hadapan altar, maka saya akan kembali memilih perempuan yang sekarang menjadi istriku dan saya juga akan kembali memilih untuk menjadi pekerja di ladang misi.[2]

Demikianlah pengakuan Krayer van Aalst – Pendeta Protestan Pertama di Wilayah Mollo – mengenai istrinya, Nyonya Soesman. Pernyataan tersebut menunjukkan cinta kasih yang sangat besar dari sang suami kepada sang istri.

Dalam sejarah gereja Protestan, khususnya di Keresidenan Timor, sejatinya terdapat banyak kisah asmara antara misionaris dan istrinya. Sayang sekali, harus diakui bahwa dalam berbagai dokumen yang tersedia saat ini mengenai Sejarah Gereja Protestan di Keresidenan Timor, hampir tidak ada perhatian terhadap kisah cinta para misionaris. Padahal jika kita mempelajari kisah cinta para misionaris, kita akan menemukan banyak sekali cerita-cerita yang kaya akan nilai-nilai kehidupan.

Kisah cinta para misionaris adalah sesuatu yang kompleks. Kisah cinta para misionaris adalah cerita sukacita, penghormatan, penerimaan, pengorbanan, kasih sayang, dan perjuangan. Akan tetapi di lain sisi, kisah cinta para misionaris juga dipenuhi dengan luka, kesedihan, kehilangan, penantian, dan air mata. Kompleksitas tersebutlah yang akan diangkat dalam kesempatan ini. Secara khusus, tulisan ini akan menceritakan kisah cinta antara Jan Kornelis Wijngaarden – seorang misionaris Nedernlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang melayani di Sabu pada tahun 1889 hingga 1892 – dengan kekasih hatinya, Dina Berg.

Jan Kornelis Wijngaarden, lahir di Stiens di Friesland pada tanggal 14 Agustus 1865 di Desa Steins, Provinsi Friesland, Belanda. Sejak muda Wijngaarden sudah bercita-cita menjadi seorang guru. Sayangnya, keinginan tersebut tidak dapat tercapai, sebab ia gagal dalam ujian masuk pada Sekolah Guru di Maastricht. Kemudian karena didorong oleh Pendeta Brugsma, maka Wijngaarden pun memutuskan menjadi seorang misionaris. Dalam rangka mewujudkan niatnya sebagai misionaris, maka selama enam bulan sebelum ujian masuk dilaksanakan, Wijnggarden terlebih dahulu mendapat pengajaran dari Pendeta Brugsma[3]

Usaha dan kerja keras Wijngaarden selama enam bulan membuahkan hasil yang baik. Pada tahun 1881 – ketika baru berumur 16 tahun – ia diterima sebagai salah satu murid pada sekolah Misionaris NZG di Rotterdam. Ia lalu menempuh pendidikan misionarisnya selama enam tahun dan kemudian dinyatakan lulus pada Februari 1888 setelah diuji dihadapan sejumlah pendeta.[4]

Pada tahun yang sama juga (1888), Jan Cornelis Wijngarden memutuskan untuk melamar kekasih hatinya, Dina Berg. Sejauh ini tidak ada dokumen yang menjelaskan kapan dan bagaimana keduanya bisa bertemu. Akan tetapi, besar kemungkinan keduanya bertemu di Rotterdam ketika Wijngaarden sementara menempuh pendidikannya.[5]

Kekuatan cinta pasangan muda ini segera diuji selang beberapa bulan setelah pertunangan keduanya terjadi. Wijngaarden sudah harus meninggalkan Dina untuk pergi melayani di Sabu. Sebelum berangkat pada 29 September 1888, Wijnggarden mengunjungi rumah orang tuanya di Friesland di mana Dina juga berada di sana: Ah, perpisahan itu pasti menyedihkan![6]

Kepergian Wijngaarden menjadi peristiwa yang menyedihkan bagi pasangan muda ini. Sekalipun keduanya tahu bahwa Wijngaarden pergi untuk memberitakan Kristus kepada bangsa-bangsa yang lain, tetapi perasaan tak pernah berbohong; keduanya merasa sedih. Baik Dina maupun Wijngarden adalah insan yang merindu. Dina harus membiarkan Wijngaarden pergi: mengarungi samudera yang tak pernah ia arungi sebelumnya, bertarung dengan kematian yang mungkin saja menanti disepanjang pelayaran, atau bahkan menemukan cinta yang lain di seberang lautan. Sebaliknya, Wijngaarden pun harus merelakan Dina untuk menunggu. Mungkinkah Dina setia? Mungkinkah Dia menunggu? Apa yang akan terjadi dengan hubungan yang terpisah oleh benua dan samudera? Pertanyaan-pertanyaan ini sudah pasti muncul dalam benak Wijngaarden. Adakah Wijngaarden merindukan Dina ketika melihat bintang-bintang malam disepanjang pelayarannya melalui Samudera Hindia? Adakah Dina mengingat Wijngaarden ketika berjalan melalui lorong-lorong di Rotterdam? Dalam tulisannya mengenai Wijngaarden, L. Bodaan menulis demikian: “Wijngaarden akan meninggalkan masa depannya (Dina Berg) di sini (Belanda) untuk sementara waktu”.[7] Perkara cinta memang memusingkan.

Wijngarden tiba di Jawa pada November 1888 dan menetap di sana – di Mojo-warno – selama lima bulan untuk menempuh studi singkat mengenai pengobatan di bawah bimbingan A. Kruijt. Setelah menempuh pendidikannya, Wijngaarden akhirnya berangkat ke Sabu dan tiba di sana pada tanggal 6 Agustus 1889. Berselang beberapa bulan sejak ia tiba di Sabu, Wijngaarden mendapat kabar bahwa Dinanya yang tercinta telah memutuskan untuk mengikutinya ke Savoe: Sungguh kabar yang menggembirakan![8]

Pada September 1889 Wijngarden kembali ke Mojo-Warno untuk menjemput Dina Berg dan sekaligus menyelesaikan studinya kesehatannya. Pertemuan keduanya diwarnai kebahagiaan. Rindu yang menumpuk selama berbulan-bulan pun akhirnya dapat terbayarkan. Tanpa menunggu lebih lama, pada bulan yang sama Wijngaarden dan Dina Berg memutuskan untuk mengikat janji suci mereka dihadapan Tuhan. Pernikahan keduanya terjadi pada tanggal 10 November. Keduanya diberkati oleh Pendeta Arie Kruyt dan disaksikan oleh jemaat Mojo-Warno. Mereka bukan lagi dua melainkan satu di dalam Kristus.[9]

Setelah menikah, keduanya memutuskan kembali ke Sabu di mana mereka tiba sana pada pada pertengahan Desember 1889. Berikut ini adalah kutipan laporan NZG pada tahun 1890 mengenai kehidupan awal Wijngaarden dan Dina di Sabu.

Sekitar pertengahan desember, pasangan muda ini tiba di Sabu dan mereka mulai melengkapi rumah mereka serta segera mulai bekerja untuk jemaat. Wijngaarden mengunjungi jemaat, menginspeksi sekolah, dan memberikan pengobatan gratis. Sedangkan istrinya mengajak beberapa gadis ke rumanya yang kemudian ia ajar tentang menjahit. Keduanya melakukan banyak pekerjaan dan mereka bersyukur karena hal itu.[10]

Di Sabu, Wijngaarden selalu disibukan dengan pekerjaannya sebagai seorang misionaris: memberitakan injil, merawat orang sakit, mengunjungi daerah-daerah terpencil, mengajar, dll. Dalam suratnya pada tahun 1890, Wijngarden memberitahukan secara rinci aktivitasnya sehari-hari dalam beberapa bulan awal ketika ada di Sabu.

Izinkan saya mengatakan sesuatu tentang aktivitas saya sehari-hari. Hari saya dimulai pukul 6 pagi. Pertama saya mengabdikan diri untuk merawat orang sakit. Ini biasanya berlangsung selama setengah yakni dari pukul 10 hingga 10:30. Orang-orang sakit akan dengan senang hati mendatangi rumah saya untuk mendapatkan pengobatan. Mereka datang dari berbagai tempat. Pada akhir September (1890) saya dikunjungi 40 hingga 50 orang setiap harinya untuk mendapatkan perawatan. Pada pukul 11 siang saya berangkat ke sekolah dan saya mengajar di sana hingga jam pukul 13.30.[11] Selain itu, pada masa-masa awal, saya sering pergi ke kampung-kampung (di luar Seba) untuk mengunjungi orang sakit. Melalui perkunjungan ini saya semakin mengenal kebiasaan dan adat istiadat masyarakat Sabu. Perkunjungan adalah bagian penting dari pekerjaan misionaris sebab orang-orang senang apabila pendeta datang dan berbicara di rumah mereka. Dengan cara seperti ini seseorang akan mempelajari banyak hal. Empat kali dalam seminggu diadakan katekasasi dan perkumpulan keagamaan yang berlangsung mulai dari jam 7 malam.[12]

Sama seperti suaminya, pekerjaan Dina juga tidak kalah berat dan hebatnya. Sejak tiba di Sabu, Dina sangat bersemangat untuk mengumpulkan perempuan-perempuan agar dapat ia didik di rumahnya. Mereka ini diajari berbagai macam keterampilan seperti menjahit, memasak, dan membersihkan rumah. Kendati demikian, tujuan Dina yang sesungguhnya bukanlah agar mereka mampu menjahit ataupun memasak. Tujuan Dina yang sesunguhnya adalah membangun relasi dengan perempuan-perempuan muda ini dan mengajari mereka tentang Injil. Menjahit dan memasak hanyalah sarana yang digunakan Dina untuk memberitakan Kristus kepada perempuan-perempuan muda ini. Dalam laporan NZG tahun 1891 disebutkan demikian:

Meskipun pekerjaan mereka (Wijngaarden dan Dina) memiliki banyak sekali tantangan yang serius, namun mereka tetap mengabdikan diri dengan keberanian dan hasrat yang kuat, terutama saudari kami (Dina) yang telah berhasil mengajak beberapa gadis. Dia memang layak untuk mengajari mereka. Dia adalah orang yang tepat untuk melatih mereka menjadi ibu rumah tangga yang tekun dan saleh. Dia adalah seorang Kristen yang manis dan taat, yang sejak awal telah belajar untuk mencari Tuhan.[13]

Selain mengumpulkan beberapa perempuan muda Sabu di rumahnya, Dina juga terlibat aktif dalam berbagai upaya untuk memperluas kekristenan. Bersama suaminya, ia sering kali pergi mengunjungi berbagai tempat di Sabu. Melewati panas terik, jalanan yang berbatu, dan udara yang berdebu, semuana itu Dina lakukan. Bahkan ganasnya lautan yang memisahkan pulau Sabu dan Raijua sudah ia taklukan. Dina juga selalu bersama-sama dengan Wijngaarden merawat orang-orang sakit yang datang ke rumah mereka. Bahkan dalam banyak kesempatan, Dina-lah yang pergi mengobati mereka di rumah mereka sendiri. Perawatan ini Dina lakukan, baik kepada mereka yang sudah menjadi Kristen maupun yang masih menganut kepercayaan tradisional Sabu. Dina juga sering kali membantu Wijngaarden dalam pekerjaannya memajukan pendidikan di Pulau Sabu. Tentu semua pekerjaan ini bukanlah yang mudah, apalagi iklim di Sabu dan Eropa sangatlah jauh berbeda. Kendati demikian, semua ini tetap Dina lakukan. Ya, demi cintanya yang besar terhadap pekerjaan pekabaran Injil, perempuan Eropa yang muda ini rela melakukan semua itu.[14]

Seorang penasihat yang ramah, penolong yang mengambil bagian dalam segala pekerjaan suaminya, seorag ibu rumah tangga yang menjaga ketertiban dan disipllin dalam rumah, dan seseorang yang mengunjungi orang sakit. Seperti itulah kehidupan seorang istri misionaris. Saudari Dina Wijngaarden-Berg melalukan hal-hal di atas terhadap suaminya, rumahnya, dan kepada jemaat di Sabu. Suaminya dan semua yang mengenal dia di Sabu menjadi sangat bahagia dan menyadari bahwa dia sangat dibutuhkan dalam pekerjaan pekabaran Injil.[15]

Dalam laporan NZG tahun 1894, tergambar jelas kisah cinta kedua pasangan muda ini. Dina selalu menjadi penyemangat bagi Wijngaarden melalui saat-saat tersulitnya di Sabu, begitu pula Wijnggarden yang menjadi tempat Dina membagi resahnya. Tentu saja kisah keduanya juga dipenuhi perselisihan dan kesalahpahaman, tapi begitulah cinta, ia selalu menemukan cara untuk mendamaikan hati yang berseteru. Ketika Wijngaarden kembali ke rumah pada sore atau malam hari dalam keadaan lelah, Dina ada di sana menunggunya. Sebaliknya, ketika Dina membutuhkan orang untuk berbagi cerita, Wijngaarden ada di sana untuk mendengarnya.[16]

Ah, tetapi betapa kehidupan manusia sangat singkat! Pada 6 Oktober 1890 kematian memisahkan Wijngaarden dari Dina. Ia telah pergi, sekali untuk selamanya. Peristiwa ini tidak hanya memilukan Wijngaarden, tetapi juga seluruh masyarakat Sabu dan pengurus NZG di Belanda. Apalagi pada tanggal 24 April (6 bulan sebelum kematian), Wijngaarden masih menginformasikan bahwa ia dan Dina dalam keadaan yang sehat: “Kami melakukan pekerjaan kami dengan baik di sini. Kami tidak memiliki keluhan tentang kesehatan kami. Dina juga baik-baik saja”.[17] Selanjutnya, dalam laporan NZG tahun 1891 hanya disebutkan bahwa Dina hanya mengalami sakit ringan, kendati demikian kenyataan berkata lain.[18] Dalam hal ini tepatlah apa yang dikatakan pemazmur dalam Mazmur 103:15-16: “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.”

Kini semua mimpi bersama telah sirna, tak ada lagi Dina yang menemani Wijngaarden melalui setapak-setapak berbatu di Sabu, tak ada lagi Dina yang menunggu Wijnggarden di depan pintu rumah sembari tersenyum. Ibadah pemakaman itu pun pasti menjadi ibadah duka cita. Dengan air mata dan kesedihan yang mendalam, Wijngaarden melepas kekasih hatinya tercinta menjadi satu dengan tanah Sabu. Dina sudah tiada! Perempuan muda Eropa itu telah meninggalkan tulang-belulangnya di Sabu.[19]

Kehidupan Wijngaarden menjadi semakin sulit setelah kepergian Dina. Dalam suratnya tertanggal 29 Desember 1890, Wijngaarden menulis demikian kepada pengurus NZG:

Sudah hampir 3 bulan sejak istriku diambil dariku. Betapa sulitnya aku menjalani hidup tanpa dia sebab kami telah menjadi satu dalam segala hal: satu hati dan jiwa, satu pikiran, satu perasaan, satu keinginan, dan satu dalam tujuan yang kami kerjakan. Hampir tidak mungkin melanjutkan jalan kehidupan sendirian. “Untuk berdiri sendiri atas pekerjaan yang telah kami lakukan bersama dan yang telah berkembang pesat sejauh ini, sungguh sangat sulit. Saya hancur: keberanian dan hasrat saya telah hilang. Ada banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan di sini, namun dukungan dan penyemangat saya telah diambil dari saya. Dengan keberanian pada masa muda saya mengambil tugas ini. pPekerjaan ini adalah suatu kesenangan bagi saya. Tetapi sekarang apa yang terjadi? Apa yang dapat dikeluhkan? Tuhanlah yang memerintah dan semua yang Ia lakukan adalah baik adanya. Oleh karena itu, saya bersyukur bisa memikul salib yang Tuhan taruh di atas saya walaupun itu membawa kesedihan… “Hari-hari Natal itu suram dan menyedihkan bagi saya. Kami telah membayangkan begitu banyak tentang Natal. Pikiran yang menyedihkan memenuhi diriku, dan tidak mudah untuk membangkitkan suasana hati yang riang dan gembira, serta bersyukur kepada Tuhan.[20]

Dina memanglah seorang penolong yang sejati bagi Wijngaarden. Ia tidak hanya menjadi seorang istri, tetapi juga rekan kerja yang baik dalam pekerjaan pekabaran Injil. Hal ini terbukti, ketika Dina telah tiada, Wijngaarden berulang kali mengeluhkan betapa sangat sulit baginya untuk memikul beban pelayanan ini seorang diri. Bahkan setelah kepergian sang penolong, Wijngaarden berulang kali jatuh sakit karena kelelahan yang ia alami. Memang terdapat guru-guru pribumi serta orang-orang Kristen yang selalu bersedia membantu Wijngaarden. Namun semua itu sangat tidak mungkin bisa menggantikan posisi Dina. Pengeluhan Wijngaarden ini terlihat dalam laporan NZG tahun 1891 yang berbunyi demikian:

Saudara kami yang malang, Wijngaarden, menulis kepada kami dari kesepiannya di Savoe, di mana dia duduk “tanpa bantuan atau perhatian” di rumahnya yang sepi… Wijngaarden sekarang sendirian. Dia bersandar pada kehendak Tuhan; tetapi dia merasa sulit untuk memenuhi tugasnya dengan ceria.[21]

Selain itu, surat Wijngaarden kepada pengurus NZG tahun 1891 juga secara jelas memperlihatkan betapa ia harus menanggung banyak pekerjaan setelah kematian Dina.

Dalam surat sebelumnya saya memberi tahu anda bahwa saya baik-baik saja di Sabu. Tetapi sejak menulis surat ini kondisi saya telah berubah. Saya mengalami sakit dan akibatnya saya harus meninggalkan Sabu untuk mencari pengobatan dan memulihkan diri saya ke tempat lain. Saya pergi ke Modjo-Warno di Jawa, ke tempat tinggal seorang sahabat, yaitu Kruijt. Sebenarnya saya ingin tetap tinggal di Sabu. Tidak mudah bagi saya pergi dari Sabu sebab tempat itu sudah sangat melekat dengan saya. Akan tetapi kepergian ini sangat diperlukan untuk memulihkan kesehatan saya. Seandainya saya memilih tetap tinggal di Sabu, maka saya yakin akan mengalami sakit yang lebih parah. Selama bulan Juli 1891 saya mengalami sakit. Seluruh tubuh saya kesatikan dan saya juga mengalami batuk dan demam. Oleh karenanya itu, ketika kapal tiba di Sabu, saya memutuskan untuk berangkat ke Jawa. Di sini saya telah dirawat oleh dokter yang menyatakan bahwa saya menderita influenza. Saya sangat berharap segera sembuh dan dapat kembali ke Sabu, tempat dimana hati saya berada… Menurut pendapat saya, sakit yang saya alami juga berkaitan dengan sebagian besar tekanan berlebihan yang saya dapatkan. Akhir-akhir ini banyak hal yang harus saya lakukan sendiri. Aktivitas saya lebih banyak dari biasanya.[22]

Pulau Sabu telah menjadi saksi kisah cinta dan perjuangan Jan Kornelis Wijnggarden dan Dina Berg. Pada jalan berbatu dari Seba ke Mesara, pada lautan biru yang memisahkan Sabu dan Raijua, atau pada pohon-pohon lontar di sepanjang jalan Liae-Timu; pada tempat-tempat inilah Dina dan Wijngaarden menitipkan kisah mereka. Oh, betapa kedua pasangan ini saling mencintai. Percintaan ini menjadi semakin mulia sebab kisah cinta ini bukan hanya tentang mereka berdua, tetapi juga tentang kecintaan terhadap Sabu dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Kisah cinta mereka adalah juga tentnag kisah cinta Kristus kepada jemaat-Nya di Sabu.

KEPUSTAKAAN

Kipp, Rita Smith. (1993). The Early Years of a Dutch Colonial Mission: The Karo Field. Ann Arbor: The University of Michigan Press.

Kruijf, E. F. (1894). Geschiedenis van het Nederlandsche Zendelinggenootschap en Zijne Zendingposten. Groningen: Bij J. B. Wolters.

L, Bodaan. (1907). J. K. Wingaarden, zijn leven en werken. (Kota Penerbit Tidak Teridentifikasi): Bredde.

Nederlansch Zendeling Genootschap. (1890). Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, betrekkelijk de Uitbreiding van het Christendom, bijzonder onder de heidenen jaar 1890. Rotterdam: NZG.

Nederlansch Zendeling Genootschap. (1891). Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, betrekkelijk de Uitbreiding van het Christendom, bijzonder onder de heidenen jaar 1891. Rotterdam: NZG.

Nederlansch Zendeling Genootschap. (1892). Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, betrekkelijk de Uitbreiding van het Christendom, bijzonder onder de heidenen jaar 1892. Rotterdam: NZG.

Nederlansch Zendeling Genootschap. (1894). Maandberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlandsch Zendeling-genootschap, betrekkelijk de Uitbreiding van het Christendom, bijzonder onder de heidenen jaar 1894. Rotterdam: NZG.


[1]     Penulis adalah peneliti sekaligus Koordinator Pusat Studi Sejarah dan Pengarsipan Kebudayaan NTT pada lembaga Timor Indikator.

[2]     Kutipan ini diambil dari majalah De Timor-Bode sebagaimana telah diterjemahkan oleh Ebenhaizer Nuban Timo dalam Surat-surat dari Kapan (Salatiga, 2016), h. 16.

[3]     Rita Smith Kipp, The Early Years of a Dutch Colonial Mission: The Karo Field (Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1993) h.100.

[4]     Kipp, The Early, h. 100.

[5]     Kemungkinan ini didasarkan pada perbedaan umur Wijngaarden dan Dina, serta pada usia ketika Wijngaarden memasuki sekolah misionaris. Perbedaan usia Wijngaarden dan Dina terpaut dua tahun. Artinya ketika Wijngarden memasuki sekolah misionaris pada umur 16 tahun, maka umur Dina masih 14 tahun. Keduanya, terutama Dina, masih tergolong sangat muda dan dengan demikian sulit untuk beranggapan bahwa keduanya telah menjalin hubungan asrama sebelum tahun Wijngaarden menempuh studi.

[6]     Bodaan, L, J. K. Wingaarden, zijn leven en werken (Kota penerbit tidak teridentifikasi: Bredde, 1907), h. 8; Kipp, The Early, h. 101-102.

[7]     Bodaan, Wijngaarden, h. 8.  

[8]     Nederlandsch Zendeling-Genootschap, Maanberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlansch Zendeling-Genootschap 1890 (Rotterdam: NZG, 1890), h. 130; Kipp, The Early, h. 102.

[9]     Pada waktu pemberkatan nikah Wijngaarden berusia 24 tahun dan Dina 22 tahun.

[10]  Genootschap, Maandberigten 1890, h. 130.

[11]   Dalam laporan Wijngaarden pada tahun yang sama pula disebutkan bahwa jumlah murid yang terdaftar di sekolah (Seba) adalah sebanyak 80 orang. Dari total ini hanya 70 orang yang sangat aktif mengikuti pelajaran. Lih. Genootschap, Maandberigten 1890, h. 159.

[12]   Genootschap, Maandberigten 1890, h. 56.

[13]   Nederlandsch Zendeling-Genootschap, Maanberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlansch Zendeling-Genootschap 1891 (Rotterdam: NZG, 1891), h. 58.

[14]   E. F. Kruijf, Geschiedenis van het Nederlandsche Zendelinggenootschap en Zijne Zendingposten (Groningen: Bij J. B. Wolters, 1894), h. 206-207.

[15]   Genootschap, Maandberigten jaar 1891, hl. 133.

[16]   Nederlandsch Zendeling-Genootschap, Maanberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlansch Zendeling-Genootschap 1894 (Rotterdam: NZG, 1894), h. 176.

[17]   Genootschap, Maandberigten 1890, h. 158.

[18]   Genootschap, Maandberigten 1891, h. 58.

[19]   Kuburan Dina Berg masih dapat dijumpai hingga hari ini di Sabu

[20]   Genootschap, Maandberigten 1891, h. 58-59.

[21]   Genootschap, Maandberigten 1891, h. 83 & 133.

[22] Nederlandsch Zendeling-Genootschap, Maanberigten voorgelezen op de maandelijksche bedestonden van het Nederlansch Zendeling-Genootschap 1894 (Rotterdam: NZG, 1894), h. 12.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *