Penderitaan Yesus Memutus Rantai Kekerasan (Lukas 23:26 – 43) – Pdt. Yulian Widodo

“… Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (ay. 34)

Pendahuluan

Tanggal 6 April 2022 lalu, UPP Kemitraan MS. GMIT melakukan kegiatan Safeguarding Policy bagi Pendeta dan Karyawan non Pendeta di Hotel Neo Kupang. Kegiatan itu sangat menarik, dan memang belum banyak orang yang paham apa itu Safeguarding Policy.Hal penting yang patut dicatat adalah bahwa siapa saja rentan terhadap pelecehan, penelantaran dan tindakan kekerasan lainnya. Siapa saja dapat menjadi korban terlebih anak-anak, remaja dan orang dewasa serta orang-orang dalam kelompok disabilitas. Pada dasarnya Safeguarding Policy mencakup pencegahan perlakuan buruk, penganiayaan fisik, seksual dan emosional yang dilakukan oleh karyawan dan siapa pun di bawah tanggung jawab perusahaan, mitra, pengunjung atau sukarelawan.

Hal ini sejalan dengan prinsip teologis yang dianut gereja bahwa semua orang mempunyai derajat dan martabat yang sama karena mereka diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Jika ini dipahami dengan sungguh-sungguh maka mestinya kekerasan dalam segala bentuknya harusnya tidak ada dalam lingkungan kerja/pelayanan gereja.

Yesus adalah salah satu tokoh yang dikenal mengajarkan tindakan-tindakan tanpa kekerasan. Jika dalam undang-undang Hammurabi mengajarkan tentang lex talionisatau “hukum balas dendam” seperti yang dipraktikkan dalam Perjanjian Lama maka Yesus selalu mengajarkan dan bersikap mengedepankan nilai kasih dan pengampunan.

Hukum Hammurabi merupakanprinsip sakral yang harus dipatuhi seluruh rakyat Babelonia. Tak boleh dipertanyakan, harus dijalankan dengan taklid (taklid =ikut saja tanpa tahu alasannya. Hukum itu berisi 280 ketentuan yang diukir di tiang yang tinggi untuk memberitahu semua rakyat tentang hak-hak mereka.

Salah satu prinsip utama dalam undang-undang Hammurabi adalah prinsip pembalasan bagi mereka yang mempunyai status sosial yang sama. Jika seorang anak memukul ayahnya maka tangan si anak akan dipotong begitu juga jika seorang bangsawan mematahkan tulang sesama bangsawan maka tulangnya juga akan dipatahkan. Namun jika seorang bangsawan mematahkan tulang seorang rakyat biasa maka kepada bangsawan hanya akan didenda satu mina perak saja.

Penjelasan Teks

Ayat 26: Simon dari Kirene. Kehadiran Simon dari Kirene dalam arak-arak penyaliban Yesus adalah sesuatu yang tak terencana. Perannya memikul salib Yesus merupakan permintaan para prajurit karena kondisi Yesus yang lemah setelah mengalami kekerasan fisik.

Ayat 27 – 32:  Para perempuan menangis dan meratap. Biasanya perempuan-perempuan yang menangis tersebut akan menangis sambil “memukul payudara” (beat his breast) dan meratap. 

Kita ingat bagaimana perempuan Mollo melakukan hal yang kurang lebih sama ketika mereka memperjuangkan hak-hak mereka yang terancam karena penambangan marmer. Ibu Aletha Baun dan sejumlah perempuan pemberani lainnya menjadi saksi sejarah bagaimana perempuan berjuang demi kehidupan dan keberlangsungan hidup keluarganya.

Tindakan “memukul payudara” ini dilakukan untuk membangkitkan kekuatan pada diri mereka untuk memanggil Tuhan. Namun Yesus berkata kepada perempuan-perempuan ini agar jangan menangisiNYA, sebab fokus penderitaan Yesus bukanlah diriNYA melainkan manusia. Yesus meminta mereka untuk menangisi diri mereka sendiri dan juga anak-anak mereka. Hal ini senada dengan pepatah tentang kayu hidup dan kayu kering bahwa jika orang yang tak bersalah saja mengalami hal yang buruk apalagi orang yang memang bersalah.

Ayat 33: Bukit tengkorak adalah saksi bisu kekerasan yang dipertontonkan kepada umat manusia. Masyarakat kita cenderung memahami kata tengkorak dalam hubungannya dengan kematian dan kejahatan. Di bukit tengkorak inilah Yesus bersama dua orang penjahat disalibkan.

Ayat 34: ini merupakan perkataan pertama dari tujuh perkataan Yesus di atas kayu salib. Ucapan ini adalah ucapan pengampunan. Bahwa kekerasan yang Yesus alami adalah tindakan yang dilakukan tanpa sadar dan lahir karena kecenderungan hati yang dikuasai oleh si jahat. Namun Yesus memberi ganjaran atas “ketidaktahuan” mereka yakni pengampunan.

Ayat 35: Menggambarkan bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh para pemimpin agama dan para prajurit. Mereka mempersoalkan tentang kemesiasan Yesus dan menunggu Yesus menggunakan kekuatanNya untuk menyelamatkan diri. Namun untuk kesekian kalinya mereka gagal memahami kemesiasan Yesus. Para prajurit juga mengolok-olok Yesus dengan mempersembahkan anggur kepadaNya. Anggur yang diberikan kepada Yesus mungkin telah dicampur dengan sejenis tanaman yang pahit dan beracun yang bertujuan untuk mempercepat proses kematian Yesus dan mengurangi rasa sakit mereka yang tersalib. Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai “anggur asam” adalah oxos yang mengacu pada anggur asam yang murah dan mudah didapat karenanya tidak dibeli oleh orang kaya.

Ayat 38: Jika mengikuti kebiasaan pada saat itu maka tulisan itu merupakan informasi tentang kejahatan yang telah dituduhkan kepada orang yang tersalib. Tulisan pada puncak kayu salib Yesus merupakan tanda bahwa IA adalah korban sebuah konspirasi. Tulisan itu dibuat karena para penguasa saat itu tidak menemukan kesalahan dalam diri Yesus. Namun mengapa Yesus mengalami kekerasan dan dihukum mati?

Robert Paul Wolff, yang pendapatnya dikutip oleh Lucien van Liere, dalam bukunya “Memutus Rantai Kekerasan” mengatakan bahwa kekerasan hanya dapat didefinisikan sebagai sebuah aktifitas anti negara. Jadi sebuah pembunuhan di jalan dapat dipahami sebagai kekerasan, tetapi sebuah eksekusi (hukuman mati) bukanlah kekerasan. Jadi saya menduga provokasi yang dilakukan oleh pemimpin agama dan para prajurit yang berdemo hendak menggiring opini bahwa Yesus sedang melakukan upaya melawan penguasa saat itu dan dengan demikian maka hukuman mati yang dialami oleh Yesus dapat diterima pada zaman itu sebagai sebuah kewajaran dan bukan kekerasan.

Ayat 39 – 43: Percakapan dengan para penjahat menggambarkan dua cara pandang tentang Yesus. Cara pandang yang pertama diwakili oleh penjahat yang tidak mengakui dosa-dosanya. Sekalipun dia menyadari keberadaannya sebagai orang berdosa namun ia tidak berbalik dari dosa-dosanya. Sedangkan cara pandang yang kedua terwakili oleh penjahat yang padanya Yesus janjikan Firdaus sebagai tempat bagi orang-orang beriman yang telah mati untuk menunggu hari penghakiman.

Pesan Teks

  1. Menangisi kekerasan. Setiap kekerasan melahirkan kesedihan dan air mata. Para korban dapat mengalami trauma dan penderitaan disepanjang hidupnya. Kekerasan dapat menjadi sebuah lingkaran yang membuat kekerasan dapat terulang kapan dan di mana saja serta dapat menimpa siapa saja. Perjuangan melawan kekerasan berhubungan dengan upaya menegakkan keadilan. Sebab jika keadilan menjadi timpang maka kekerasan menjadi rentan kepada siapa saja. Perlu kesadaran bersama agar kekerasan tidak boleh lagi melahirkan air mata terlebih bagi perempuan dan anak-anak.
  2. Mengampuni. Yesus memperingatkan bahwa perjuangan untuk melawan kekerasan bukanlah dengan membalasnya dengan kekerasan yang sama. Sekalipun Ia mengalami sejumlah kekerasan baik verbal maupun nonverbal dan menghajar Yesus secara fisik dan telah menempatkan Yesus menjadi tanpa harga di mata para penguasa saat itu. Namun Yesus menyerukan sebuah pengampunan. Dalam penderitaan dan kesengsaraan karena kekerasan yang dialamiNya, Ia menunjukan teladan melalui seruan untuk meneladani kasih Allah yang sejak awal pelayanannya ditujukan kepada semua orang agar rantai kekerasan dapat diputuskan.

Aplikasi

  1. Meneladani Kristus. Pengampunan di atas kayu salib akan menjadi percuma manakala orang percaya tidak meneladani Kristus. Kegagalan terbesar dalam relasi manusia adalah ketika keinginan untuk membalas dendam menguasai kehidupannya.  Siklus kekerasan hanya bisa dipatahkan ketika kita tidak memberi diri menjadi pelaku kekerasan sebab membalas kekerasan dengan  kekerasan akan melahirkan kekerasan yang lebih besar lagi. Mengedepankan kasih persaudaran dan kekeluargaan serta kasih sebagai sesama manusia hendaknya model bagi para pengikut Yesus untuk memutus rantai kekerasan. Namun penting untuk kita ingat bahwa menawarkan pengampunan tidak sama dengan rekonsiliasi. Banyak orang berjuang untuk menemukan keseimbangan antara menunjukkan belas kasihan dan semua kemungkinan orang yang berbahaya untuk terus menyakitinya. Kita harus rela mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kita, sama seperti Yesus mengampuni kita. Tetapi, ketika seseorang terus menerus melanggar batasan orang lain tanpa penyesalan, maka kita mesti belajar bersikap tegas untuk menetapkan batasan yang lebih jelas. Jika seorang pelaku kekerasan telah berulang kali menyakiti maka kita dapat memaafkannya tetapi kita tetap berdiri dalam “jarak” sampai dia membuktikan bahwa dia telah berubah.
  2. Gereja melawan kekerasan. Posisi teologis gereja adalah semua manusia berkewajiban menghormati sesama dalam kesetaraan (imago dei). Karena itu, salah satu tugas gereja adalah menjadi yang terdepan dalam mencegah dan melawan berbagai upaya merendahkan harkat dan martabat manusia. Perdagangan orang, KDRT, kekerasan terhadap perempuan dan anak bahkan kekerasan terhadap alam adalah pergumulan gereja hari ini khususnya di NTT. Kita ingat para korban penyintas peristiwa tahun 1965. Mereka yang mendapat stigma sebagai bagian dari organisasi terlarang dan membuat hidup mereka dalam lingkaran kekerasan. Gereja mesti bersuara dan menggalang jaringan lintas gereja dan agama untuk memutus mata rantai kekerasan dan menolong para korban/penyintas kekerasan agar mereka kembali berpulih dari keterpurukan hidup. Dan pada saat yang sama gereja juga perlu bersikap tegas terhadap pelaku dengan segala konsekuensi hukum yang harus mereka jalani namun tetap membuka ruang pengampunan dengan memberikan kesempatan kedua untuk berpulih dan menata kembali kehidupannya.

Penutup

Memberi seseorang kesempatan kedua bertujuan ada kesempatan lagi baginya untuk mendapatkan kepercayaan kita. Namun itu tidak berarti semua pengalaman pahit yang terjadi serta merta kita lupakan. Kepercayaan harus didapatkan seiring perjalanan waktu sampai pelaku kekerasan mendapati dirinya dalam penyesalan yang sesungguhnya. Karena itu sikap yang bijak adalah jika tidak memberikan kepercayaan sebelum waktunya.

Mari belajar dari ajaran dan tindakan Yesus yang menekankan kasih sebagai gaya hidup. Bahkan penderitaan dan kesengsaraanNya merupakan teladan agar setiap orang tidak melakukan kekerasan lagi kepada sesamanya. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *