
KUPANG, www.sinodegmit.or.id, Suara perempuan berusia 87 tahun itu bergetar nyaring ketika ia memekik, “Merdeka, merdeka, merdeka.” Tangan kanannya dikepal, meninju ke langit. Wajahnya yang keriput memancarkan semangat perjuangan, mengenang hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Saat itu usianya 10 tahun.
Migelina Antonetha Markus, itulah namanya. Senin, (22/8), Majelis Sinode (MS) GMIT, mengundangnya bersama 13 orang penyintas korban ‘65 dan korban perdagangan orang menghadiri ibadah syukur Hari Kemerdekaan Indonesia.
Pada kesempatan itu, ia menyinggung sosok ayahnya, Mikhael Markus, yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Timor. Tahun 1957, ayahnya terpilih menjadi anggota DPRD NTT yang membidangi pendidikan dan kesehatan.
Namun, pada tahun 1965, ayah dan kakaknya menjadi korban pembantaian tragedi berdarah G30S/PKI.
Pada moment ibadah yang berlangsung di taman kantor MS GMIT itu, Oma Neth -sapaan akrab Migelina-, membaca puisi karangannya yang berisi getir perjalanan hidupnya sebagai korban penyintas tragedi ’65.
Tuhan, di suatu hari aku duduk termenung, …
Ingin rasanya mau menangis
Tetapi air mata tidak sanggup mengalir,
Ayah dan kakakku pergi, tanpa sebuah harapan,
Di mana kami harus mencari,
Di mana kami harus mendapatkan keadilan …
Tuhan, kuatkanlah kami menghadapi tragedi ‘65 yang sampai saat ini belum ada keterbukaan. …
Melalui puisi tersebut, mantan penyiar RRI Kupang generasi pertama ini, hendak menyaksikan kasih setia Tuhan atas hidup mereka, dalam melewati masa-masa sulit sekaligus menggugah dan menagih komiten pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Harapan akan perhatian pemerintah itu juga diungkap oleh Neta Kitu Mira (85 thn.). Oma Neta menutur, peristiwa ’65 merenggut suaminya yang saat itu berprofesi guru. Pasca kematian sang suami, ia susah-payah berjuang menafkahi empat orang anaknya yang berusia masing-masing, 7 tahun, 5 tahun, 1 tahun, dan 4 bulan.
“Suami saya dieksekusi. Saya dipaksa kerja rodi dari jam tujuh pagi sampai jam 3 sore. Saya kasi tinggal anak-anak. Entah apa yang terjadi dengan mereka. Kadang-kadang mereka hanya minum air kosong. Saya tahu air itu apa. Air itu: Allah, Isa dan Roh Kudus. Dengan air itulah, anak saya empat orang, minum dan hidup,” kenangnya dengan rasa haru.
Di perayaan hari kemerdekaan tahun 2022 ini, Oma Neta dan belasan sesama penyintas lainnya, terus menanti pengungkapan keadilan dan kebenaran, serta pengakuan negara atas kejahatan kemanusiaan yang mereka alami.

Bersyukur, melalui Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), sebuah LSM yang mendampingi korban penyintas ’65 dan korban perdagangan orang di NTT, -dalam kerja sama dengan Komnas HAM- mereka mendapat akses bantuan kesehatan dari pemerintah melalui Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK).
Ketua Majelis Sinode GMIT, Pdt. Mery Kolimon, pada kesempatan tersebut menegaskan bahwa pelibatan para korban penyintas tragedi ’65 dalam ibadah bersama ini merupakan tindak lanjut dari keputusan dan komitmen GMIT untuk melayani para korban pelanggaran HAM.
“Rencana kita untuk berkumpul seperti ini sebenarnya sudah dimulai sejak Agustus 2018, pada sidang Majelis Sinode di jemaat Pniel [Sikumana], menuju ke Sidang Sinode 2019. Waktu itu ada keputusan bahwa Majelis Sinode bekerja sama dengan JPIT untuk mendampingi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu khususnya tragedi ‘65, ‘66. Tetapi setelah itu kita ditimpa pandemi. Tuhan sayang kita semua, pandemi mulai mereda dan di Majelis Sinode kita bicara bahwa perayaan kali ini kita bersama-sama dengan opa-oma semua.”
Ketua MS GMIT berharap, pelayanan gereja yang melibatkan para korban pelanggaran HAM berat, baik itu tragedi ’65 maupun korban perdagangan orang menjadi bagian dari perjalanan GMIT dalam arak-arakan perjuangan bangsa untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan beradab.
Atas komitmen pelayanan GMIT tersebut, opa-oma penyintas dan keluarga yang diwakili John Leba menyampaikan terima kasih kepada GMIT dan JPIT yang bersama-sama telah memberikan pendampingan sejak tahun 2009
Ibadah syukur ini dipimpin Pdt. Paoina Bara Pa, Ketua Unit Pembantu Pelayanan (UPP) Tanggap Bencana Alam dan Kemanusiaan (TBAK) MS GMIT. ***