Perjuangan Untuk Menjadi Doktor Teologi (4)

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

www.sinodegmit.or.id, Sebelum saya melanjutkan ceritera tentang kembalinya saya ke Belanda untuk studi doktor, ada baiknya saya ceriterakan sedikit episode kerja di jemaat Zwolle.

Seperti umumnya masyarakat yang terkena pengaruh proses sekularisasi, demikian juga halnya dengan jemaat ini. Perkunjungan rumah misalnya tidak mudah. Maksud saya karena kesibukan mereka yang luar biasa tidak mudah kita diizinkan masuk ke dalam apartemen mereka. Bisa dibayangkan, kita sudah setengah mati bersepeda di cuaca yang dingin, lalu belum ada kepastian apakah kita diizinkan masuk atau tidak. Kebanyakan anggota jemaat yang dikunjungi berdiam di apartemen-apartemen. Pintunya biasanya bisa dibuka dengan cara jarak jauh.

Pernah saya mengunjungi satu keluarga suami-istri yang tinggal sendiri. Saya menekan bel pintu.

Terdengar jawaban: “Siapa?”

Saya: “Ini Domine” (pendeta).

Jawaban: “Nee, kami tidak butuh pendeta.”

Saya: “Tetapi ini bukan pendeta biasa. Ini pendeta dari Sumba.”

Treek! Pintu terbuka. Saya boleh masuk.

Rupanya “Sumba” masih cukup ampuh. Ini karena jemaat-jemaat di provensi itu (Drenthe) dulu bertanggungjawab bagi pekabaran Injil di Sumba. Jadi nama itu masih cukup lekat dalam ingatan mereka. Setelah masuk, kita juga tidak berbicara tentang kitab suci atau berdoa. Tidak. Kita hanya bicara hal yang ringan-ringan saja, tentang Indonesia, Sumba, dll. Setelah itu pamit pulang. Tentu saja ini sebuah episode kecil dalam pengalaman perkunjungan. Tentu ada juga hal-hal yang biasa-biasa saja. Ada yang ramah dan ada yang sibuk sehingga terkesan kurang ramah.

Memimpin katekisasi untuk anak-anak tanggung juga tidak mudah. Pada umumnya mereka tidak tertarik dengan topik-topik yang lazim dalam pelajaran katekisasi. Karena itu saya hanya berceritera tentang gereja-gereja dan masyarakat Indonesia. Kalau ini mereka tertarik. Tetapi jangan coba meminta seorang anak berdoa. Dia pasti menolak karena dianggapnya tidak logis meminta sesuatu kepada yang tidak bisa dilihat.

Pernah dalam sebuah pertemuan wijk yang biasanya sudah terjadwal, seseorang bertanya kepada saya: “Untuk apa anda ada di sini?” Setelah saya menjelaskan, responsnya: “Ah, mana mungkin. Bukankah kami dulu yang membawa Injil ke negeri anda?” Rupanya yang disebut bantuan timbal-balik (wederzjidze assistentie) tidak atau kurang tersosialisasi pada mereka.

Hal-hal yang saya ceriterakan ini tentu tidak mengurangi kegembiraan-kegembiraan yang saya alami selama melayani di jemaat tersebut. (bersambung).

*Artikel ini dikutip dari akun FB Andreas Angguru Yewangoe, atas ijin penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *