Perjuangan Untuk Menjadi Doktor Teologi (7)

Pdt. Dr. Andreas Yewangoe

www.sinodegmit.or.id, Setelah framenya jelas yaitu “overwhelming poverty” dan “multifaceted religiosity” saya mulai menggarapnya. Saya sempat bertanya kepada promotor apakah dibutuhkan penelitian lapangan misalnya dengan pergi ke India? Dijawab, tidak perlu. Disertasi ini nanti lebih mengandalkan penelitian perpustakaan dan karena itu memang lebih bersifat kualitatif. Kalaupun dibutuhkan data misalnya bisa saja diminta dari lembaga-lembaga yang berkepentingan. Maka kesibukan saya adalah mengunjungi perpustakaan-perpustakaan di Amsterdam, Leiden, Oogstgeest, dan Utrecht.

Waktu itu pemakaian komputer belum terlalu lazim. Jadi saya mengandalkan mesin ketik manual gaya lama. Tentu saja ini ada kesulitannya tersendiri. Kalau memperbaiki naskah karena dikoreksi maka harus siap mengetik seluruh naskah itu. Perbaikan itu bisa beberapa kali. Apalagi mencari di Google waktu itu tidak ada. HP belum ada sehingga mengandalkan telpon umum. Maka kita harus siap dengan koin-koin.

Karena Asia terlalu luas maka saya membatasi diri hanya pada 4 negara yaitu India, Jepang, Korea, dan Indonesia. Tetapi sebelum masuk ke negara-negara itu ada sebuah orientasi umum terhadap Asia sehingga orang mendapat kesan seperti apakah Asia itu dengan persoalan-persoalan yang dihadapi.

India dipilih sebab lautan kemiskinan yang sangat nyata pada waktu itu. Hinduisme memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari yang ikut menentukan sikap mereka terhadap kehidupan dan nasib. Kemiskinan sulit diperangi karena kepercayaan terhadap kasta yang dianggap sudah ditentukan dari “sono”. Hal ini dikaitkan dengan kepercayaan terhadap kelahiran kembali yang sangat tergantung pada kehidupan masa kini.

Dalam kelahiran kembali itu bisa seseorang naik tingkat atau turun tingkat. Jadi kalau seseorang miskin ditolong sekarang bisa saja itu merupakan intervensi yang tidak perlu. Bisa saja kemiskinan yang dihadapi sekarang merupakan hukuman dari kehidupan masa lampau. Jadi kalau dibiarkan sekarang, ia bisa mencapai kehidupan naik tingkat di kelahiran kembali nanti.

Para pemikir dan teolog India seperti Chakarai, M.M. Thomas, S.J. Samartha hidup dan bergumul di tengah-tengah keyakinan macam ini. Mereka sudah menuangkan pergumulan mereka itu dalam berbagai literatur. Maka disertasi ini juga mengarahkan perhatian terhadap pemikiran-pemikiran mereka.

Jepang dipilih bukan karena dia miskin. Justru negeri ini sangat kaya. Namun mereka telah menyebabkan penderitaan terhadap negara-negara tetangganya selama PD II. Peranan agama Shinto yang melihat Kaisar sebagai keturunan matahari (Amaterasu) ikut memengaruhi pandangan mereka terhadap tetangga-tetangganya. Invasi ke mana-mana. Sikap agresi ini hanya dapat dihentikan ketika bom atom diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki. Akibatnya bukan saja mereka takluk, tetapi juga Sang Dewa ditundukkan. Ini sangat menyakitkan. Ini penderitaan yang tidak terpikulkan. Dirasakan bukan saja oleh Kaisar melainkan juga oleh seluruh rakyat Jepang. Literatur-literatur mereka penuh dengan ini.

Kazoh Kitamori, teolog Jepang ikut merasakan kepedihan itu. Ia menulis buku Theology of the Pain of God, dimana ia melukiskan Allah sebagai yang sakit (pain), pilu hatinya karena Ia harus menaklukkan dirinya sendiri. Allah mestinya menghukum Efraim karena dosa mereka namun Ia mengurungkannya karena kasih. Ini menimbulkan kepedihan. Kepedihan itu pula yang dirasakan Jepang ketika PD II itu berakhir. Kata kuncinya adalah “tsurasa” yang menurut Kitamori hanya mampu dirasakan oleh rakyat Jepang. Kepiluan seoranģ bapa ketika melihat anak-anaknya menderita. Menarik sekali sebab Kitamori sama sekali tidak menyinggung penderitaan bangsa-bangsa Asia sebagai akibat ulah Jepang itu.

Korea dipilih sebab inilah semenjung yang terbelah. Ada Korea Selatan, ada Korea Utara yang sampai sekarang masih saling bermusuhan. Ini dilihat juga sebagai kepedihan. Mereka menyebutnya “han” yaitu rasa pilu yang terdalam yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Selain itu masyarakat Korea sendiri terbelah di antara yang berpunya dan tidak berpunya. Industrialisasi maju tetapi dampaknya juga menyedihkan bagi kaum yang disebut “Minjung”. Shamanisme di sini memainkan peranan penting di samping Budhisme yang sudah dikoreakan. Kekristenan pun cukup besar pengaruhnya karena jumlahnya mencapai kurang-lebih 30 persen di antara penduduk. Maka berkembanglah di negeri ini Teologi Minjung dipelopori oleh Kim Yong Bock.

Indonesia dipilih karena berbagai upaya pembangunan dilakukan oleh Orde Baru. Islam juga memainkan peranan besar di dalam membentuk cara berpikir dan cara tindak masyarakat. Benarkah upaya-upaya pembangunan itu sungguh-sungguh membebaskan masyarakat dari kemiskinan atau malah makin memperlihatkan proses pemiskinan? Dapatkah Islam memberi sumbangan bagi pembebasan manusia dari penderitaannya? Para teolog Indonesia telah bergumul lama mengenai hal ini. Teologi apa yang dihasilkan? Teologi pembebasan? Teologi pembangunan?

Semua pembahasan ini dirangkum lagi dalam sebuah fasal tersendiri di mana saya memberikan lertimbangan-pertimbangan teologi sistimatika. Di akhir dari seluruh pembahasan ini saya menegaskan Yesus sebagai KURBAN. Saya artikan kurban Yesus dalam dua pengertian: Offer, sebagaimana dipersembahkan dalam ritus. Ini mengacu kepada peranan-Nya yang memperdamaikan Allah dengan manusia. Pada saat yang sama Ia juga adalah victim, yaitu yang “menyimbolkan” orang-orang kecil dan tak berdaya sebagai kurban penindasan dari mereka yang kuat dan berkuasa.

Demikianlah pergumulan untuk penulisan berakhir sementara. Ketika saya sedang menggarap fasal 1 yang saya tulis dalam bahasa Belanda, tiba-tiba para promotor saya memberi pertimbangan lain. Mereka minta saya menulisnya dalam bahasa Inggris. Pertimbangannya disertasi ini tentang Asia. Kalau dalam bahasa Belanda medan bacanya terbatas. Kalau bahasa Inggris lebih luas. Sangat masuk akal. Tetapi tidak mudah juga bagi saya. Saya bisa membaca bahasa Inggris, tetapi menulis, itu soal lain lagi. Saya hanya pernah menulis surat dalam bahasa Inggris. Artikel apalagi buku belum pernah. Maka saya ke British Council di Amsterdam guna mencek ketrampilan saya. Hasilnya ya lumayanlah. Tetapi tidak terlalu meyakinkan saya. Karena itu saya membuat “perjanjian” dgn kedua promotor saya agar mereka tidak terlalu memperhatikan akurasi bahasa Inggris saya. Memadailah apabila mereka bisa memahaminya. OK? Ya, ok. Dua hari setelah saya memposkan bahagian tulisan saya yang dalam bahasa Inggris itu saya cek mereka via telpon. Apakah Prof menangkap maksud saya? Dijawab, cukup jelas. Jadi bagaimana? Terus dengan prosedur ini? Terus saja, kata mereka. Maka plonglah saya. Nanti dalam final draftnya disertasi ini diperiksa oleh native speaker, sdr. Meydendorf dari Amerika yang juga berstudi di VU. Kebetulan istrinya ahli dalam menentukan footnotes. Jadi sekalian suami-istri menggarap final draft disertasi saya. Tentu tidak gratis.

Setelah naskah “diterima” oleh para promotor saya harus menentukan judul dari disertasi itu. Kata “diterima” saya taruh dalam tanda kutip sebab tidak ada yang sungguh-sungguh mutlak memuaskan. Para promotor saya tetap menyampaikan kritik bahkan ketika naskah tersebut sudah dibawa ke percetakan. Kalau ada literatur baru misalnya mereka segera memberitau saya supaya itu diperhatikan dalam disertasi. Lalu apa judul? Saya memahami bahwa penderitaan yang dialami masyarakat adalah juga salib. Gereja memikul salib itu. Tetapi tidak jarang gereja juga menciptakan salib-salib baru di kalangan manusia ketika orang Eropa yang notabene beragama Kristen menduduki Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Ini tragis dan ironis sekaligus. Maka saya berpendapat gereja macam ini belum keluar dari mentalitas Theologia Gloriae seperti disinyalir oleh Martin Luther di abad ke-16.

Sebagaimana kita mahfum Luther membedakan Theologia Gloriae dari Theologia Crucis. Yang disebut pertama adalah glorifikasi berlebih-lebihan terhadap kemuliaan gereja bahkan tidak segan-segan menggantikan Kemuliaan Kristus. Theologia Crucis adalah teologi yang menunjuk kepada kehinaan Kristus sebagaimana terlihat dalam peristiwa penyaliban-Nya. Menurut iman Kristen justru dengan itu terjadilah pendamaian dengan Allah. Tetapi pendamaian dengan Allah ternyata tidak menghilangkan penderitaan yang dialami manusia bahkan yang disebabkan oleh gereja. Maka tidak keliru kalau penderitaan di antara manusia itu difahami pula sebagai salib. Itulah alasannya mengapa saya memilih judul, “Theologia Crucis in Asia”. Crucis merujuk kepada salib Kristus tetapi juga thdp salib-salib kecil penderitaan manusia.

SALIB Kristus mestinya memulihkan salib-salib kecil itu sehingga tidak ada lagi penderitaan apa lagi yang disebabkan oleh sesama manusia. Di sinilah gereja dipanggil utk melakukan itu. “Gereja harus siap untuk disalibkan di Golgota penderitaan Asia dan bersedia dibaptiskan di dalam Yordan keberagamaan Asia,” kata Pieris. Hanya dengan demikianlah teologi memperoleh hak hidup di Asia.

Setelah judul ini mantap saya harus bertemu dgn fungsionaris dari Biro Pedel. Dia harus memastikan tanggal dan jam promosi. Sebelumnya Promotor saya Prof. Wessels sudah meminta saya memakai Aula besar. Sebelumnya saya memilih Aula kecil saja karena saya pikir jangan terlalu ramai-ramailah. Namun Promotor saya mengatakan, jangan terlalu rendah hatilah. Orang-orang Indonesia di Belanda dan Belgia akan datang kendati tidak diundang apabila mereka membaca di koran ada orang Indonesia yang berpromosi. Pada waktu itu orang Indonesia yang berpromosi masih langka.

Pedel setuju saya memakai Aula besar. Tanggalnya ditetapkan, 21 September 1987 jam 14. Ini harus pasti sebab harus dicetak di buku disertasi itu sendiri. Selain itu Pedel juga harus memastikan tata letak, titik dan koma dari maksud buku itu tidak salah. Jadi biasanya tertulis di halaman dalam: ACADEMISCH PROEFSCHRIFT TER VERKRIJGING VAN DE GRAAD VAN DOCTOR TEN OVERSTAAN VAN DE PROMOTIE COMMISSIE VAN DE FAKULTEIT DER GODGELEERDHEID, IN HET OPENBAAR TE VERDEDIGEN OP GEZAAG VAN DE RECTOR MAGNIFICUS IN DE AULA VAN DE UNIVERSITEIT, …dstnya tanggal, hari dan jam. (Karya akademik untuk mendapat gelar doktor, di hadapan komisi Fakultas Teologi, dipertahankan di hadapan umum atas wibawa Rektor Magnifikus di Aula Universitas, dstnya tanggal dan jam).

Setelah ini beres lalu dibawa ke Percetakan Rodopi di Amsterdam. Pedel meminta 250 eksemplar karena mereka akan mengirimkannya ke perpustakaan-perpustakaan seluruh dunia. Promotor saya minta supaya dibuat 2 jenis edisi: edisi proefschrift dan edisi dagang (handels editie). (bersambung)

*Artikel ini dikutip dan diedit seperlunya dari akun Facebook Andreas Angguru Yewangoe, atas ijin penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *