Politik Identitas Dalam Konteks Bernegara Dan Bergereja*

KUPANG, www.sinodegmit.or.id, 2019 adalah tahun politik dan tahun pemilihan pemimpin Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Tahun ini terasa hangat oleh karena dinamika politik yang menggeliat. Salah satu isu yang mengemuka adalah berkaitan dengan peranan politik identitas dalam memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap tokoh atau pimpinan pilihannya.

Praktik politik identitas di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru muncul. Ia telah dikaitkan terutama dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan aktor-aktor lokal yang dibahasakan melalui upaya otonomi daerah. Isu yang digunakan para aktor politik lokal biasanya berhubungan dengan persoalan ketidak-adilan pembangunan akibat kegagalan pemimpin lama. Isu ini menjadi pintu masuk bagi lawan politik untuk menjatuhkan pamor dan kredibilitas pemimpin lama, yang terbingkai dalam pemberian garis yang sangat tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan di dalam kelompok masing-masing dan siapa yang akan ditolak. Akibatnya, kebebasan berekspresi, toleransi, kebhinekaan, dan demokrasi menjadi terancam.

GMIT sebagai gereja Tuhan sendiri bersifat multi etnik yang meliputi daerah Timor, Rote, Sabu, Kepulauan Alor, Daratan Flores, dan Sumbawa (NTB). Untuk itu, dalam dirinya sendiri, GMIT adalah gereja multikultural. Kekuatan gereja multikultural ini hanya bisa kokoh kalau tiang induknya adalah Kristus. Jika demikian, maka setiap warga GMIT yang adalah kumpulan bahan ramuan rumah GMIT patut menghubungkan dirinya dengan Kristus. Oleh karena itu sebagai sebuah rumah bersama, kepelbagaian mesti dipandang sebagai kekayaan yang mesti dirawat dan dikembangkan.

Bercermin pada carut-marut politik Indonesia, maka politik identitas dapat pula dipandang sebagai salah satu ancaman persekutuan GMIT yang multikultural. Isu ini hendaknya menjadi perhatian kita semua di GMIT. Dalam rangka pemilihan Majelis Sinode GMIT 2020 – 2023, maka menurut hemat kami ada sejumlah hal yang patut dipertimbangkan oleh warga GMIT saat ini.

Hal pertama, sebagai tubuh Kristus, GMIT perlu berhati-hati terhadap bahaya politik identitas, yang dapat saja terjadi ketika petimbangan suku, suka/tidak suka, kelompok, dan keluarga memengaruhi strategi pelayanan di GMIT. Strategi berbasis politik identitas dapat berpengaruh buruk pada persekutuan jemaat dan bahkan persekutuan para pelayan gereja (pendeta, penatua, diaken, dan pengajar). Apalagi kalau warga GMIT mengusung sikap atau gaya hidup se-suka, se-suku, se-kelompok, dan se-keluarga dalam aktivitas pelayanan di lingkup jemaat, klasis, dan sinode. Mereka atau program yang se-suka, se-suku, se-kelompok, dan se-keluarga lebih diistimewakan ketimbang yang bukan “se- …”. Karena keistimewaan ini tidak mustahil muncul sikap “asal bapak/mama senang (ABS/AMS)” dalam pelayanan gerejawi dan kecenderungan nepotisme menjadi gejala yang kuat terasa. Orang yang terlibat dalam “kekuatan” identitas tertentu tidak jarang menjadi arogan. Sebaliknya, bagi orang yang tidak se-suka, se-suku, se-kelompok, dan se-keluarga, minimal muncul dua sikap dalam dirinya. Pertama, orang itu menjadi penjilat. Atau, kedua, orang itu akan berjuang sekuat-kuatnya untuk mendapat akses yang sama dengan lainnya karena komitmennya sebagai hamba Kristus. Sikap kedua ini karena imannya yang kokoh. Andaikan itu yang terjadi, maka GMIT dapat diibaratkan seperti jemaat di Galatia. Menghadapi keadaan jemaat Galatia, Rasul Paulus menasihati: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:28). Nasihat Rasul Paulus ini sesungguhnya ingin menekankan satu aspek penting yakni Koinonia (koinonia). Koinonia, yang menjadi hakikat gereja, patut ditingkatkan pada semua lingkup pelayanan (jemaat-klasis-sinode) melalui program-program yang relevan dengan masing-masing konteks. Hal ini penting untuk meningkatkan relasi dan komunikasi di antara jemaat maupun antarpara pelaku pelayanan.

Hal kedua, politik identitas berkaitan pula dengan personalitas pemimpin yang hendaknya memiliki visi dan misi yang kuat yang kemudian dapat dikembangkan melalui komunikasi dan relasi yang solid. Dalam konteks GMIT, kami berpendapat bahwa visi seorang pemimpin gereja dapat dilihat dari sejauh mana dia menjadikan Kristus sebagai teladan hidupnya.  Bahwa sesungguhnya Kristus rela mati agar manusia bisa hidup dalam keselamatan Allah. Di sini yang hendak ditekankan adalah unsur rela berkorban bagi kepentingan gereja; karena biji gandum yang tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah (Yohanes 12:24). Di dalam GMIT, salah satu tantangan adalah bagaimana menghadapi godaan berbisnis di dalam gereja dan bahkan menjadikan gereja sebagai kendaraan politik. Godaan ini tentu dapat melunturkan semangat rela berkorban bagi kepentingan gereja. Jangan sampai kita terjebak dalam teologi sukses yang nantinya dapat memengaruhi bentuk relasi dan komunikasi seorang fungsionaris gereja dengan jemaat atau komunikasi dan relasi antarpelayan itu sendiri. Terhadap persoalan ini, maka pengembangan kapasitas SDM yang terencana mulai dari lingkup jemaat, klasis, dan sinode perlu diperhatikan dengan serius. Pengembangan kapasitas ini tidak hanya terkait penajaman visi, peningkatan kemampuan berkomunikasi dan relasi, melainkan juga peningkatan kualitas intelektual, etika, moral dan spiritualitas. Jangan sampai pola bergereja kita hanya menitikberatkan pada pembangunan fisik saja. GMIT perlu memberi perhatian serius, khususnya, pada pembangunan jemaat yang berjejaring. Hal ini berguna bagi GMIT untuk menyelesaikan persoalan-persoalan secara internal dan eksternal.

Adapun persoalan serius yang mungkin timbul ketika unsur personalitas pemimpin GMIT yang demikian diabaikan, maka trust (kepercayaan) jemaat kepada para pemimpin menjadi berkurang (jika kita tidak mau katakan hilang sama sekali). Akibatnya, dapat saja terjadi bahwa para pemimpin GMIT bisa saling curiga satu sama lain oleh karena komunikasi dan relasi bermotif cari untung. Para pendeta dan jemaat di pedalaman curiga pendeta dan jemaat di kota-kota punya mobil dan rumah mewah. Sebaliknya pendeta dan jemaat di kota-kota anggap pendeta dan jemaat di desa-desa punya tanah berhektar-hektar, ratusan ekor sapi, dst. Hal ini nantinya dapat saja berdampak pada ketulusan dan kejujuran pelayanan bagi jemaat basis. Jika keadaan ini yang terjadi, maka GMIT patut meneladani sikap Yesus yang membasuh kaki murid-murid-Nya sebagai tanda kerendahan hati dan kerelaan menjadi seorang hamba yang melayani sesama-Nya (bnd. Yohanes 13:1-20). Kemauan untuk membangun komunikasi dan relasi berbasis kepemimpinan yang menghamba tampaknya menjadi kebutuhan mendesak dalam situasi seperti ini.

Namun politik identitas dapat dengan mudah menjadi kendaraan untuk kepentingan tertentu hanya ketika manajemen SDM lemah. Dalam konteks GMIT sendiri, pengaturan terhadap lebih dari 1500 pendeta GMIT bukanlah perkara gampang. Untuk itu, perhatian terhadap rekrutmen pendeta sejak dari keluarga, jemaat, Fakultas Teologi, vikariat, dan kemudian ditetapkan sebagai pendeta GMIT, perlu diatur secara baik. Proses ini, jika diberi perhatian, akan berdampak pada tingkat kedisiplinan (atau dicipleship: pemuridan) hidup para pendeta, baik secara rohani maupun secara sosial. Tanpa perhatian pada proses alamiah ini, maka pola rekrutmen bisa saja berada dalam bingkai se-suka, se-suku, se-kelompok, dan se-keluarga; dengan demikian maka harapan seorang pendeta GMIT yang disiplin dan berdedikasi hanyalah angan-angan. Karena itu tidak ada cara lain kecuali GMIT memberi perhatian serius pada input – process – output – impact ketenagaan yang dimulai tahapannya sebagaimana disebutkan di atas.

Pada akhirnya, politik identitas dapat kita lawan bersama dengan iman (spiritualitas), yang pro kepada sikap ugahari, cinta akan keadilan dan kebenaran dan berbela rasa terhadap kaum yang terpinggirkan. Semua ini dapat dicapai dalam semangat tarian bersama yang ditampilkan dalam perayaan ibadah jemaat-jemaat di lingkungan GMIT dan tindakan-tindakan praksis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, akta iman jemaat-jemaat tidak lagi menjadi ekspresi personal, melainkan menjadi perjumpaan komunal dalam jerih dan juang bersama. Teladan ini dapat kita hayati melalui perjumpaan pribadi antara Musa dan Allah atau perjumpaan komunal antara Miriam dan Debora yang menari dan memuji kebesaran Allah; dan Daud dan Israel menari-nari di depan Tabut Perjanjian Allah. Perjumpaan dengan Allah dapat juga dihayati dalam kesunyian sebagaimana Yesus yang membawa murid-muridnya terpisah untuk beristirahat dan berdoa kepada Allah Bapa. ***

*Artikel ini merupakan Sumbangan Pikiran dari Program Studi Teologi PPs UKAW dalam pertemuan yang berlangsung pada 20 April 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *