Relevansi Kitab Hakim-Hakim Dengan Kemerdekaan Indonesia (Hakim 7:1-25) – Pdt. Jahja A. Millu

Pendahuluan

Kitab Hakim-hakim menggambarkan situasi zaman pramonarki Israel, antara periode pasca Yosua dan Samuel. Suku-suku Israel yang menduduki negeri terjanji tidak otomatis menjadi sebuah nation state. Masih ada proses panjang yang harus mereka lalui. Seluruh proses persiapan itulah yang digambarkan dalam kitab ini. Termasuk di dalamnya cerita heroik dari berbagai suku, yang menyumbang bagi terbentuknya narasi lanjutan mereka sebagai bangsa. Salah satunya ialah cerita tentang Gideon dalam bacaan ini.

Tafsir Teks

Kemerosotan moral Israel menyebabkan Tuhan menyerahkan mereka ke tangan bangsa Midian selama 7 tahun. “…orang Israel menjadi sangat melarat oleh perbuatan orang Midian itu. Lalu berserulah orang Israel kepada TUHAN” (6:6).

Tuhan mendengar keluhan Israel dan memilih Gideon sebagai hakim. Ada beberapa keunikan dalam pemilihan Gideon ini.

  1. Gideon berasal dari klan terkecil di suku Manasye (6:15). Ini menjelaskan kontribusi suku minoritas bagi kemajuan dan kemerdekaan suatu bangsa dari penjajahan. Saya kira kondisi ini juga yang terjadi dalam proses kemerdekaan bangsa Indonesia. Semua suku, juga agama, golongan, baik yang mayoritas maupun minoritas, ikut andil dalam proses ini. Karenanya diskriminasi etnis dan agama dalam kehidupan berbangsa harus dihentikan.
  2. Gideon adalah yang paling muda dalam klannya (6:15). Kaum muda gereja dapat belajar dari cerita ini untuk terus ikut andil dalam kehidupan bangsa. Sejarah Indonesia mencatat banyak kontribusi orang muda kristen bagi kemerdekaan Indonesia, antara lain Johannes Leimena, yang bahkan disaat kemerdekaan pernah menjadi penjabat presiden. Presiden Soekarno juga pernah mengatakan “Berikan aku 10 pemuda, niscaya aku akan menggoncang dunia.”

Cara Tuhan membebaskan Israel dari penindasan Midian juga sangat unik.

Berhadapan dengan 135.000 pasukan koalisi Midian, Amalek dan negara timur, Allah justru memperkecil pasukan Israel dari 32.000 menjadi 300 orang. Ini berarti rasionya 1:450, artinya 1 tentara Israel akan menghadapi 450 tentara musuh (ay. 3,7). Kondisi ini secara manusiawi tentu mengecutkan hati.

Penggunaan “cara minum air” sebagai ukuran pemilihan tentara. Ini bukanlah cara yang biasa dalam proses rekruitmen tentara di negara manapun. Apalagi untuk pasukan khusus. Namun 300 tentara yang dipilih justru menunjukkan cara minum penjilat, yang tidak cocok bagi kriteria menjadi pasukan khusus (ay. 4-6).

Kita dapat membandingkannya dengan sumbangan tentara pelajar Indonesia dan rakyat jelata yang berjuang bagi kemerdekaan bangsa. Mereka tidak punya keterampilan tentara, namun semangat untuk merdeka mendorongnya angkat senjata.

Senjata yang dipakai untuk berperang juga bukanlah tombak, pedang, perisai, lengkap dengan pakaian besi untuk melindungi tubuh. Malah mereka dipersenjatai hanya dengan sangkakala dan buyung berisi obor (ay. 16). Indonesia memiliki cerita yang sama yakni bambu runcing yang mengalahkan tank dan meriam Belanda.

Pertanyaan pentingnya ialah bagaimana 300 orang yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai pasukan khusus, harus menghadapi musuh dengan jumlah yang jauh lebih besar hanya dengan senjata sangkakala dan buyung berobor?

Tuhan memberi jawab kepada Gideon. Ia mendengar sendiri cerita orang Midian bahwa Tuhan akan menyerahkan mereka ke dalam tangannya (ay. 13-14).

Semua kejanggalan yang Tuhan rancangkan dalam narasi ini hendak menegaskan kepada Israel satu prinsip penting. Bukan “tanganku sendirilah yang menyelamatkan aku” (ay. 2). Tetapi tangan TUHAN yang kuat yang membebaskan mereka.

Satu, Recourses yang besar (32.000 pasukan) adalah sesuatu yang penting, namun itu dapat menjadi alat kebanggaan diri sehingga meremehkan pertolongan Tuhan.

Demikian pula sebaliknya, keterbatasan sumberdaya (300 pasukan) tidak boleh menjadi rintangan bagi suatu bangsa untuk bangkit dari keterpurukan.

Dua, Allah justru pilih orang yang tidak layak menjadi tentara, bahkan penjilat seperti anjing, yang bukan ahli perang. Ini mau menjelaskan bahwa Allah tidak selalu memanggil orang yang berkualifikasi untuk melaksanakan rancanganNya, namun Ia akan selalu memberi kualifikasi bagi semua orang yang dipilih-Nya. Ini memberi inspirasi bagi setiap orang untuk yakin bahwa mereka juga dapat berkontribusi bagi kebaikan bangsa, terlepas dari keterbatasan apapun yang dimiliki.

Tiga, Mengelola negara bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari campur tangan Tuhan. Prinsipnya ialah Tuhan ingin agar suatu bangsa dibangun diatas fondasi moralitas yang baik. Ada kaitan yang erat antara moralitas dan maju mundurnya suatu bangsa. Hari ini kita menyaksikan berbagai kemunduran bangsa akibat perilaku menyimpang seperti korupsi, kolusi, nepotisme dll. Sebaik apapun pembangunan kita, bila dijalankan oleh orang tak bermoral, akan berimplikasi terhadap kemunduran bangsa, Disinilah agama harus memainkan perannya guna membangun moral bangsa. Amsal 14:34 menegaskan hal ini: “Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa

Implikasi

Membaca kitab Hakim-Hakim di tengah situasi bangsa Indonesia yang sedang mempersiapkan perayaan kemerdekaan sangatlah relevan. Mengapa relevan? Sebab proses menjadi sebuah bangsa yang sedang dialami Israel dalam kitab ini mirip dengan situasi bangsa Indonesia.

Setelah memasuki tanah terjanji, Israel tidak otomatis menjadi sebuah bangsa. Tiap suku Israel menjalani kehidupan masing-masing. Tidak ada pemimpin nasional seperti Musa atau Yosua. Yang ada hanyalah pemimpin dari setiap suku.

Ini mirip dengan Indonesia pra kemerdekaan. Sebelum menjadi sebuah nation state, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Masing-masing dengan kerajaannya sendiri. Juga pemimpinnya.

Sumbangan penting kitab Hakim-hakim bagi kita di indonesia ialah tentang sumbangan narasi lokal bagi pembentukan suatu bangsa. Guna mencegah dominasi suku tertentu dalam pembentukan Israel, kitab ini merinci sumbangam tiap suku bagi pembentukan negara. Kisah-kisah heroik dari tiap suku dengan pemimpinnya, mau menegaskan bahwa tidak ada suku dominan dan paling berjasa dalam proses kemerdekaan. Tiap suku memberi kontribusi yang khas. Mereka punya andil besar mengalahkan negara sekitar yang hendak menghalangi proses pembentukan bangsa.

Hal yang sama terjadi dalam proses kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan adalah gambaran dari berbagai narasi sejarah lokal yang amat kaya. Tiap suku menyumbang sesuatu yang khas bagi pembentukan nation state. Ada pahlawan lokal yang memimpin rakyatnya melawan penjajah.

Dengan demikian, penulisan sejarah Indonesia seperti halnya kitab Hakim-hakim, mesti memberi ruang yang seluas-luasnya bagi narasi lokal, sehingga sejarah resmi yang berlaku bukanlah suatu dominasi suku tertentu, yang bagi Indonesia masih terkesan Jawa sentris (Ekadarmaputra dalam Sinaga, Sutanto dan Apituley, 2005:65).

Sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika mempersatukan rakyat Indonesia yang beragama suku bangsa, agama dan golongan, demikian halnya  gereja perlu mengembangkan pelayanan yang memberi ruang bagi semua orang dari berbagai latar suku, agama dan golongan. Prinsip utama gereja adalah persekutuan semua orang dengan Kristus sebagai tali pemersatu. Maka gereja mesti berada di garis depan untuk memperjuangkan kesetaraan semua orang, semua suku, semua agama, sesuai panggilan hakikinya sebagai gereja. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *