Renungan Pemuda dan Kaum Bapak GMIT (Minggu II Februari 2019)

Yesus Memberi Kita Daya/Kuasa Dalam Pelayanan

 (Matius 10.1-15)

Pdt. Yahya Millu (Ketua UPP Pemuda dan Kaum Bapak-MS GMIT)

Majelis Sinode GMIT telah menetapkan subtema pelayanan tahun 2019 sebagai berikut: “Kristus Memberi Kita Daya Untuk Menata Relasi Pelayanan Dalam Gereja Dan Masyarakat Sebagai Sesama Murid Dan Kawan Sekerja Allah Serta Relasi Dengan Alam Sebagai Sesama Ciptaan Allah (Band. 1 Kor. 3:9 dan Matius 10:1).” Subtema ini ingin memberi tekanan pada aspek fundamental dari pengutusan gereja (GMIT) yakni kebutuhan akan daya atau kuasa Kristus. Hal ini mengacu pada Matius 10:1 yang menjadi teks renungan kita minggu ini.

Pertanyaannya ialah mengapa gereja butuh kuasa Yesus dalam pelayanannya? Ada beberapa hal yang mungkin bisa dijadikan pertimbangan GMIT menurut teks ini. Pertama, kuasa Kristus adalah conditio sine qua non, prasyarat mutlak bagi misi gereja. Hal ini terlihat dari 3 kata kunci yang disajikan berurutan: memanggil, memberi kuasa dan mengutus. Pengutusan kedua belas murid (ay. 5) diawali dengan tindakan Yesus memanggil dan memberi kuasa kepada mereka (ay. 1).

Ini menolong kita untuk memahami kaitan antara otoritas Yesus dan misi gereja. Pemberian kuasa kepada para murid adalah tanda kredensi yang menentukan keabsahan misi para rasul. Tidak ada otoritas pelayanan tanpa panggilan dan kuasa Yesus. Tanpa otoritas Ilahi, misi para murid bukan hanya mustahil, itu adalah kebodohan yang fatal.

Bagaimana dengan misi gereja kita saat ini? Seberapa sering kita mengandalkan kekuatan program kita, pengaruh para pemimpin kita, platform gereja kita, atau sumber daya jemaat kita melebihi dan di atas kuasa Yesus? Apakah kita sering menghabiskan lebih sedikit waktu untuk berdoa daripada menyusun strategi untuk program kita? Jangan-jangan strategi pelayanan kita sering lebih dipengaruhi oleh pragmatisme (politik?) daripada oleh iman akan kuasa Allah?

Mungkinkah gereja saat ini menghasilkan buah yang tidak sebanding dengan sumber daya yang dikeluarkan karena jarang mengandalkan kuasa Tuhan? Bila kualitas misi para nelayan dan pemungut cukai melampaui karya sarjana hingga Profesor abad ke-21, ini tentu pertanda buruk. Ketika misi tanpa bekal dan sepatu lebih memenuhi syarat sebagai pelayanan holistik dibanding APBJ 2-3 milyar per tahun, bukankah ini patut dirisaukan?

Kedua, melalui pemberian kuasa, para murid dilantik menjadi wakil Yesus. Kata rasul dalam Injil Matius sering dipahami sebagai orang yang diutus. Ia ibarat agen yang mendapatkan delegasi wewenang dari orang yang mengutusnya. Agen ini bisa berasal dari “orang kelas atas”, tapi beberapa diantaranya bahkan dari kalangan budak. Apapun latar belakangnya, mereka diberi kewenangan untuk bertindak atas nama orang yang mengutusnya. Dengan demikian, utusan adalah seseorang yang dianggap setara dengan pengutusnya. Karena itu, bagaimana seseorang memperlakukan para utusan atau pemberita Yesus mewakili bagaimana seseorang memperlakukan Yesus sendiri (ay. 11-15; bnd. ay. 40-42 – IVP NT Commentary Matthew 10).

Pada sisi lain, sang utusan mesti menyadari bahwa ruang lingkup kuasanya terbatas pada tugas yang diperintahkan kepadanya dan seberapa jauh kesetiaannya dalam melaksanakan tugas. Wewenang yang Yesus berikan untuk menjalankan misi (ay. 7-8) tidak boleh digunakan untuk mendapatkan apa pun yang mereka inginkan (ay. 9-10), termasuk kepentingan diri atau kelompok.

Kepentingan utama semua karya misi ialah mewujudkan kehendak Pengutusnya. Tidak ada agenda pribadi. Apalagi hidden agenda, agenda udang dibalik batu . Setiap agenda pribadi atau kelompok mesti tunduk pada agenda utama Yesus. Begitu sang utusan melenceng dari agenda Yesus, dengan sendirinya ia kehilangan otoritas. Atau tepatnya, otoritas itu dicabut darinya.

Ketiga, kuasa Yesus amat vital karena kompetensi para murid yang diutus tidak sebanding dengan misi yang diemban. Ketika Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, ciri utama mereka adalah kesederhanaannya. Yesus memilih murid-murid-Nya dari berbagai latar belakang dan pengalaman hidup (ay. 2-4). Tidak satu pun dari mereka yang memiliki hak istimewa atau berasal dari latar belakang dan status sosial keagamaan yang tinggi. Bahkan pemungut cukai, pemberontak Zelot dan Yudas sang pengkhianat pun menjadi bagian tim ini.

Terhadap orang-orang seperti inilah, Yesus mempercayakan agenda agung yang Ia bawa yakni berita penebusan dunia. Yesus baru saja memanggil mereka. Tentu belum banyak pelatihan dan pengalaman yang mereka miliki. Pekerjaan ini juga melampaui kemampuan mereka. Dia mengutus dua belas murid ini untuk pekerjaan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Latar belakang pekerjaan mereka jauh berbeda dengan tugas yang akan dilakukan sekarang. Tentu saja tidak mudah untuk menjalaninya.

Pendekatan Yesus ini seolah melanggar prosedur manajemen yang normal. Setiap proses rekruitmen staf dari lembaga manapun biasanya mensyaratkan kompetensi dari calon tenaga kerja. Entah ijazah, ketrampilan, pengalaman kerja, yang biasa diuraikan dalam curriculum vitae atau daftar riwayat hidup. Tapi Yesus berbeda. Ia memilih orang-orang biasa untuk melakukan pekerjaan yang luar biasa. Ini memberi motivasi bagi orang percaya masa kini untuk terlibat dalam pelayanan. Misi Kristen bukan saja tentang kerja keras kita, intelektualitas kita, bakat kita, program kita. Itu adalah pertama-tama dan terutama tentang misi Allah yang sedang bekerja, dan Ia ingin kita semua terlibat didalamnya. Tidak boleh ada pengangguran dalam gereja. Semua orang adalah pelaku misi.

Keempat, tugas para murid itu tidak saja mengkhotbahkan “kerajaan Sorga sudah dekat” dengan kata-kata. Itu mencakup pula tindakan belas kasih sebagai tanda otentik dari kerajaan itu. Mereka harus menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, mentahirkan orang kusta dan mengusir setan (ay. 7-8). Uniknya, mereka yang ditugaskan memproklamirkan kerajaan sorga sama sekali tidak memiliki ciri dan status sebagai bangsawan kerajaan. Mengapa? Karena Yesus ingin agar profil para utusan tetaplah seorang hamba. Seorang hamba tidak boleh berubah menjadi tuan saat menjalankan misi. Para utusan tidak boleh membiarkan diri mereka ditarik ke dalam otoritas yang tidak pantas.

Hal ini perlu menjadi pelajaran penting bagi gereja dan para utusan masa kini. Gereja perlu menghindari penggunaan otoritas kepemimpinan yang tidak sah, bukan hanya karena hal itu menghancurkan hakikatnya sebagai gereja, tetapi juga karena efek negatifnya terhadap anggota gereja. Gereja dan para pemimpinnya perlu menyadari hal ini sungguh-sungguh agar terhindar dari kemungkinan salah tafsir terkait batas kepemimpinan dan otoritas.

Lagi-lagi Matius memberi kita contoh melalui penggunaan frase kerajaan surga. Menurut Carson, Matius lebih menyukai istilah kerajaan surga daripada kerajaan Allah oleh karena ia ingin menonjolkan Yesus sebagai raja (Carson, 1984:100). Itu berarti bahwa gereja selaku tubuh Kristus hanya memiliki satu Kepala, Tuhan Yesus sendiri. “Ia adalah kepala gereja…Ia memiliki supremasi terhadap segala sesuatu…semua berada di bawah otoritas Kristus…dan Ia memberi semua otoritas ini untuk kepentingan gereja (Ef. 1:20-23; Kol. 1:15-18). Gereja tidak bisa melayani dengan otoritas Tuhan, namun pada saat bersamaan ingin menjadi tuan yang tidak hidup di bawah otoritas Tuhan. Gereja perlu terus belajar dari Yesus yang selalu hidup dengan otoritas Bapa-Nya.

Tahun ini akan terjadi peralihan kepemimpinan di semua lingkup pelayanan GMIT, baik itu jemaat, klasis maupun sinode. Menurut David Roozen, proses ini bisa saja menyebabkan “fragmentasi ke dalam berbagai kelompok konstituen yang berbeda dan berpotensi berbeda (di mana) ketegangan intra-organisasi yang timbul dari perbedaan antara ideal dan aktual ada di mana-mana…meresap dan sistemik” (Lummis, 2005). Teks ini menasihati semua komponen GMIT untuk menghindari diri dari agenda otoritas. Tidak boleh ada pengabdian hierarkis terhadap kepemimpinan manusia.

Dalil Lord Acton bahwa “kekuasaan cenderung korup” tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari semua otoritas manusia dan struktur kekuasaannya, termasuk dalam gereja. Kita tidak boleh tunduk pada tekanan, baik yang pro maupun yang kontra, dalam proses ini. Semua kita perlu menyadari bahwa ini adalah agenda Tuhan bagi gereja-Nya. Biarlah kita belajar melakukannya dalam ketaatan penuh kepada Dia yang mengutus kita. Hanya ada satu CEO di GMIT, yakni Yesus, Sang Kepala Gereja. Hanya Dialah yang patut menerima pengabdian terbaik, kepemimpinan terbaik dan misi terbaik dari semua utusan-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *