TEOLOGI BERPIKIR: Kasihilah Tuhan Allah dengan Segenap Pikiranmu -Agust Maniyeni[1]

  1. Prolog

Bagi ke-Kristen-an mengasihi Tuhan Allah adalah hukum keutamaan dan menjadi standar moral tertinggi bagi orang Kristen. Pada tingkat praktis, cara untuk mengasihi Tuhan biasanya diungkapkan dengan bermacam-macam pendekatan seperti: rajin berdoa, beribadah, ke gereja, persekutuan doa, membaca Alkitab, memuji Tuhan, dan seterusnya). Semua ini adalah cara mengasihi Tuhan yang sudah menjadi kelaziman dan boleh dikatakan sesuatu yang alamiah.

Jika direfleksikan secara kritis maka pertanyaan yang muncul adalah, apakah memang cara mengasihi Tuhan hanya terbatas pada aspek-aspek “ritual” dan kelaziman seperti ini? Apakah ada dimensi lain yang dapat kita gunakan untuk mengasihi Tuhan? Jawaban terhadap kedua pertanyaan dasar tersebut perlu dicari landasannya pada Alkitab sebagai rujukan untuk mengembangkan perspektif teologis opsional terkait bagaimana seharusnya kita mengasihi Tuhan.

Catatan singkat ini dibuat untuk menawarkan pendekatan opsional bagi kita khususnya kaum intelektual, dosen, guru dan mahasiswa untuk menggunakan pikiran sebagai cara mengasihi Tuhan. Saya berpendapat, ini menarik dilakukan sebab Alkitab menyediakan landasan yang amat memadai untuk mengembangkan perspektif teologis tentang berpikir dan bagaimana menggunakan pikiran sebagai sarana mengasihi Tuhan.

  • Pembahasan

Era Teknologi dan Kedangkalan Berpikir

Menjadikan aktifitas berpikir dan pikiran sebagai cara untuk mengasihi Tuhan merupakan suatu hal menarik. Namun mewujudkannya sebagai cara hidup dalam konteks sekarang bukanlah perkara mudah. Hal ini disebabkan ke-Kristen-an dan orang Kristen saat ini lebih banyak menggunakan pikirannya untuk alasan yang lain. Menguatnya paham materialisme, disrupsi teknologis, individualisme, selfisme serta matinya kepakaran (Nichols, 2017) menunjukkan bahwa saat ini kita sedang mengalami “sakit pikiran”. Kecenderungan manusia saat ini untuk menjadi “Tuhan atas dirinya sendiri” seperti yang dikatakan Harrari (2017a; 2017b) telah menempatkan manusia menjadi teralienasi secara psikis, sosial maupun kultural. Kemajuan teknologi komunikasi digital yang semakin masif dan tanpa kendali saat ini merupakan pedang bermata dua. Pada satu sisi ia menawarkan kemudahan bagi pekerjaan kita, tetapi pada sisi lain dapat menjadi ancaman bagi semakin tumpulnya pikiran.  Tumpulnya pikiran akibat disrupsi media digital, disebabkan setiap hari pikiran kita diisi oleh gizi buruk informasi yang kita akses melalui media online(Zimmerman, 2019). Teknologi digital saat ini telah menjadi diktator baru yang mempengaruhi segala aspek kehidupan bahkan menjadi alat legitimasi berbagai pikiran yang kontradiktif (Howard, 2010).

Dunia pendidikan Kristen (rumah, gereja dan sekolah, universitas) yang mestinya menjadi pusat membelajarkan pikiran saat ini mengalami kehilangan orientasi. Lembaga-lembaga formal pendidikan Kristen, saat ini hanya bisa menghasilkan overthinker yaitu orang-orang dengan pemikiran yang “berlebihan” (Ish, 2018; Frawley, 2018). Praktek plagiarisme, copy paste, prank intelektual, simplifikasi masalah, kedangkalan konseptual yang terjadi dalam dunia pendidikan formal (termasuk pendidikan Kristen) merupakan beberapa indikator betapa dunia pendidikan sebagai laboratorim berpikir sedang mengalami masalah akut.

Gambaran kedangkalan dengan pola pikir berlebihan yang kita alami saat ini memiliki kesamaan dengan hikayat menara babel yang dibangun orang-orang Israel yang kemudian dihukum oleh Tuhan sehingga mereka tidak bisa memahami pikiran mereka sendiri. Teknologi komunikasi digital saat ini telah menjadi menara babel dalam wajah baru dan saat ini kita sedang mengalami “hukuman berpikir” (Frawley, 2018) sehingga kerap kali kita berkomunikasi, berpikir dan bertindak secara paradox. Pikiran kita mengarah kemana-mana dan bukan diarahkan pada tindakan mengasihi Tuhan.

Terkait kondisi semacam ini, Petrus mengingatkan para pembacanya bahwa iman mereka akan diuji dan mereka akan mengalami penderitaan. Petrus menekankan hak istimewa orang Kristen sebagai umat Allah yang harus hidup dalam sukacita di dalam Kristus. Ia menyimpulkan bahwa orang Kristen perlu memupuk sikap berpikir tertentu. Menurut 1 Petrus 1:13-15,

Sebab itu siapkanlah akal budimu (baca: pikiranmu), waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus (ayat 13); Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu (ayat 14); tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu (ayat 15).

Bagi Petrus, agar dapat hidup di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini, orang Kristen harus hidup dalam penuh ketaatan dan pengharapan. Mereka harus memandang serius keberadaan mereka di dunia ini. Orang Kristen perlu “menyiapkan pikiran” yang mengacu pada standar pemikiraan Kristus. Dua di antara standar berpikir yang dimaksud Pertus adalah, pemikiran etis agar orang Kristen tidak terpenjara dalam kebodohan akibat hawa nafsu, dan pikiran kontemplasi-reflektif, supaya kita bisa hidup dalam kekudusan. Hal menarik yang dikemukakan Petrus terkait dengan pemikiran etis dan kontemplasi reflektif yaitu bahwa kedua standar berpikir dimaksud saat ini menjadi keterampilan yang harus dikuasi oleh setiap orang agar dapat dapat bertahan di abad robotik sekarang ini (Gardner, 2006; Neumeier, 2013).

Menuju Teologi Berpikir

Menurut Ulangan 6:5, Dengarlah, hai Israel: TUHAN, Allah kita, TUHAN itu esa. Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”. Ungkapan kitab Ulangan ini hendak menegaskan kembali kepada umat Israel bahwa peristiwa pembebasan dari Mesir merupakan sebuah peristiwa amat penting yang tidak boleh dilupakan, dan karena itu perlu ditanggapi oleh Israel dengan cara mengasihi Tuhan Allah secara total dan utuh melibatkan hati, jiwa dan segenap kekuatan yang ada.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus menjelaskan bahwa proklamasi mendalam yang disampaikan melalui Musa ini merupakan standar moral tertinggi dan sebagai perintah utama dari segalanya. Hal yang amat menarik ketika Yesus mengutip ungkapan dalam Kitab Ulangan ini adalah, Ia menambahkan cara lain untuk mengasihi Allah. Menurut Markus 12:28-30,

“Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: “Hukum manakah yang paling utama?” (28); Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.(29); Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dandengan segenap akal budimudan dengan segenap kekuatanmu.”

Secara teleologis ungkapan “dengan segenap akal budi” yang digunakan Yesus hendak menegaskan posisi Tuhan Allah sebagai Pencipta yang menciptakan manusia seturut dengan citra-Nya (Imago Dei) bukan dalam ruang hampa, tetapi dalam semesta ini agar manusia memfungsikan citra dirinya itu untuk memuliakan Tuhan (Kejadian 1:26). Ungkapan akal budi juga hendak menegaskan posisi manusia sebagai satu-satu makluk yang mampu berpikir. Dengan kemampuan ini, manusia seharusnya menggunakan pikirannya untuk memuliakan Tuhan dalam segala dimensi kehidupan.

Mengasihi Tuhan dengan segenap hati mengacu pada tindakan mencintai Tuhan dengan segala aspek afeksi yang berhubungan dengan dimensi batiniah yang terdalam dari manusia. Mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa mengacu pada hubungan pribadi dengan Dia melalui iman, memegang teguh kebenaran Tuhan, dan dipancarkan dalam kehidupan nyata. Mengasihi Tuhan dengan segenap kekuatan mengacu pada tindakan melayani Dia dalam semua dimensi kehidupan dan bidang pekerjaan termasuk aspek fisiologis manusia. Lalu apa yang tercakup dalam ungkapan mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi (pikiran)?

Jawaban paling sederhana adalah setiap saat kita harus berpikir tentang Tuhan – sadar akan kehadiranNya dalam kehidupan sehari-hari, merenungkan kasih dan kebaikan-Nya, memenuhi pikiran kita dengan Firman-Nya. Dari sudut pandang yang lain, implikasi mengasihi Tuhan dengan segenap pikiran tergambar dengan jelas dalam Ulangan 6:6-7; 9:

Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan (ayat 6); haruslah engkaumengajarkannyaberulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun (ayat 7); dan haruslah engkau menuliskannyapada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu (ayat 9).

Teks yang amat populer dan menjadi landasan pendidikan iman Kristen ini, menunjukkan bahwa tindakan mengasihi Tuhan menggunakan segenap pikiran merupakan sesuatu yang bersifat imperatif. Dalam teks tersebut tergambar dengan sangat jelas tiga aspek penting dalam berpikir yaitu, mengajar, berbicara (dialog)dan menulis yang dapat digunakan untuk mengasihi Tuhan. Dengan demikian mengasihi Tuhan dengan segenap pikiran juga berkaitan erat dengan pembelajaran dan ini bersifat imperatif.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus bahkan menegaskan bahwa mengasihi Tuhan dengan “segenap pikiran” kita, harus dilakukan sebagai bukti pengabdian diri kepada Tuhan. Ini berarti pada saat kita berpikir untuk melakukukan perhitungan matematis yang rumit, kita harus mencintai Tuhan dalam matematika. Jika kita berpikir untuk merencanakan bisnis, merancang bangunan, menganalisis novel, memahami masalah filosofis, atau membayangkan sebuah cerita, melakukan penelitian, dan seterusnya maka semua aktifitas berpikir ini harus diorientasikan pada tindakan mengasihi Tuhan.

Argumentasi ini hendak menjelaskan bahwa ketika Yesus menggunakan ungkapan “segenap pikiran”, Dia ingin memberikan klaim bahwa setiap manusia diciptakan dengan bekal “kesadaran kognitif” yang secara potensial sudah dianugerahkan secara cuma-cauma. Dia menerapkan klaim ini dengan cara yang sangat personal sesuai potensi individual setiap orang. Tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama.

Perbedaan fisiologis seseorang yang cacat secara fisik dengan seorang atlit misalnya, tetap bisa memuliakan Tuhan dengan potensinya. Mereka bisa mengasihi Tuhan dari ranjang rumah sakit atau dari gelanggang olah raga. Keduanya dipanggil untuk mengasihi Tuhan dengan segenap kekuatan mereka. Dengan cara yang sama, “segenap pikiran” mencakup berbagai kemampuan intelektual manusia. Orang yang memiliki kemampuan intelektual dalam sains, dalam seni, akademisi, peneliti, dosen guru, siswa, mahasiswa juga memiliki panggilan yang sama agar menggunakan pikirannyanya untuk mengasihi Tuhan. Tidak ada satu pun talenta yang lebih baik dari yang lain, dan setiap panggilan adalah sama di hadapan Tuhan. Intinya, apapun panggilan kita, Tuhan menuntut semua yang bisa kita lakukan dan semua yang kita pikirkan untuk mengasihi Dia.

Aktifitas berpikir (intelektual), bagi setiap orang Kristen, harus diarahkan dalam konteks dan dalam kewajiban untuk mengasihi Tuhan “dengan segenap pikiran.” Seluruh proses keingintahuan, pertanyaan, dan penemuan ilmiah bagi orang Kristen merupakan perjalanan penuh keajaiban dan pujian, ke dalam “pikiran Tuhan”, yang telah menciptakan segalanya. Segala sesuatu yang ada dalam semesta ini dapat dipelajari. Manusia dengan segala potensi dan keunikannya, atau alam semesta dengan ‘kemahaluasannya’, adalah dua entitas yang “berada” apa adanya, karena Allah menghendaki dan menciptakannya. Untuk mengungkap hukum tersembunyi yang mengatur materi, untuk mengungkap pola partikel sub atom, untuk menemukan bagaimana manusia tumbuh dan berinteraksi, untuk melihat pola yang mendasari gerak perubahan sejarah atau dalam astronomi merupakan aktifitas berpikir yang tidak lebih dari upaya kita untuk menemukan kehendak Tuhan dan mengasihiNya.

Sama seperti Tuhan yang tidak terbatas, pengetahuan juga tidak ada habisnya. Keingintahuan dan pemahaman terhadap realitas semesta yang kita pikirkan, tidak akan pernah bisa sepenuhnya terpuaskan dalam kehidupan duniawi kita. Karena itu, aktifitas berpikir dan kerinduan kita akan pengetahuan terhadap alam semesta ini menjadi “jalan parusia” di mana semua keinginan akan dipuaskan sepenuhnya, ”Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.” (1 Korintus 13:12).

“Mengasihi Tuhan dengan segenap pikiran” berarti memuji Dia atas segala sesuatu yang kita pikirkan. Ini adalah cara mengasihi Tuhan atas semua karya ciptaan-Nya yang menjadi sumber belajar (pikiran) kita. Pujian kepada Tuhan berarti, menumbuhkan kepekaan dan kegembiraan kepada-Nya sebagaimana yang diungkapkan Pemazmur, yang bersorak-sorai atas “pekerjaan TUHAN” (Mazmur 111:1-4, 6-8, 10).

Haleluya! Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaah (ayat 1); Besar perbuatan-perbuatan TUHAN, layak diselidiki oleh semua orang yang menyukainya (ayat 2); Agung dan bersemarak pekerjaan-Nya, dan keadilan-Nya tetap untuk selamanya (ayat 3); Perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib dijadikan-Nya peringatan; TUHAN itu pengasih dan penyayang; (ayat 4);… Kekuatan perbuatan-Nya diberitakan-Nya kepada umat-Nya, dengan memberikan kepada mereka milik pusaka bangsa-bangsa (ayat 6); …kokoh untuk seterusnya dan selamanya, dilakukan dalam kebenaran dan kejujuran (ayat 8); …Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, semua orang yang melakukannya berakal budi yang baik. Puji-pujian kepada-Nya tetap untuk selamanya (ayat 10)

Mengacu pada perbuatan keselamatan Tuhan dan aktivitas-Nya dalam penciptaan, Pemazmur memandang pekerjaan Tuhan tidak hanya konsisten dan dapat diandalkan, tetapi juga menakjubkan. Karya ciptaan adalah semua hal yang perlu diingat dan dipelajari, untuk diteruskan dari generasi ke generasi. Ayat 2 adalah teks yang sempurna untuk pekerjaan semua kaum intelektual, cendekiawan, dosen, mahasiswa, guru dan siswa atau orang semua Kristen yang berminat masuk dalam realitas ciptaan melalui pendekatan ilmiah (Besar perbuatan-perbuatan TUHAN, layak diselidiki oleh semua orang yang menyukainya). Suatu kegairahan dan panggilan belajar (baca = berpikir), yang mendorong orang untuk mempelajari seluruh karya ciptaan Tuhan di semesta ini secara lebih dalam, agar benar-benar menemukan kepenuhan hidup sebagai “Gambar Allah”.

Ayat 10 merupakan teks kunci dimana: “Takut akan TUHAN adalah permulaan hikmat” (lihat juga Amsal 1:7). Takut akan Tuhan bukanlah akhir dari hikmat, tetapi awal. Seseorang yang takut akan Tuhan dapat membuka ‘misteri’ pengetahuan yang luas dan mampu memecahkan masalah yang rumit sekalipun. Mereka yang “mempraktikkan” takut akan Tuhan akan memiliki “pemahaman yang mendalam” dan mencapai hikmat tentang segala sesuatu.

  • Epilog

Mencermati perkembangan dunia yang telah memasuki tahapan yang revolusioner akibat perkembangan teknologi yang tidak dapat dibendung saat, maka kita memerlukan sebuat landasan yang kuat dalam bertindak dan menyikapi segala sesuatu yang terjadi saat ini. Menurut hemat saya, kita sebagai orang Kristen perlu mengembangkan sebuah sacara baru yaitu menjadikan “segenap akal pikiran” menjadi sarana mengasihi Tuhan. Gereja, sekolah dan perguruan tinggi Kristen harus dikembalikan menjadi tempat membelajarkan pikiran untuk mewujudkan hal ini.

Jika kita kembali belajar pada sejarah, kita dapat memahami bahwa tokoh-tokoh reformasi awal, menempatkan gereja, sekolah dan perguruan tinggi sebagai laboratorium mengembangkan segenap akal pikiran. Luther menerjemahkan Alkitab dari bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman yang dicetak oleh John Gutenberg (penemu mesin cetak pertama), ia juga menulis katekismus besar (Der Große Katechismus), mendirikan sekolah dan universitas. Calvin menulis Institutio yang amat berpengaruh. Ia juga adalah seorang pengajar yang amat aktif mengajarkan pikiran-pikiran reformasi yang kemudian berdampak luas. Philip Melancton (sahabat Luther) adalah tokoh besar dalam sejarah pendidikan Jerman, dan masih banyak lagi pemikir besar Protestan yang berpengaruh bagi peradaban Eropa hingga saat ini. Di Amerika pemikiran ke-Kristen-an dihidupkan dan dikambangkan melalui pendidikan, sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi. Sebagai contoh pendeta Harvad menghibahkan tanah dan perpustakaan pribadinya untuk mendirikan universitas Harvad yang sangat terkenal hingga saat ini, sebagai pusat pengembangan pikiran yang dilandaskan pada ajaran Kristen.

Alister E. McGrath (2007) berpendapat bahwa reformasi Prostestan yang awalnya dipandang sebagai ide berbahaya, ternyata kemudian memberi dampak yang luar biasa terhadap modernisasi dan perkembangan peradaban dunia sampai abad 21. Hal ini juga diungkapkan Ryrie (2017) bahwa selama setengah millenium pemikiran Protestantisme memberikan pengaruh yang luar biasa bagi perkembangan dunia terutama di Eropa, negara-negara Amerika Utara, dan Australia. Lembaga-lembaga pendidikan yang lahir dari tradisi gereja memberikan sumbangan penting dalam kebebasan berpendapat dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selama berabad-berabad (Ringenberg, 2016).

Sumbangan pemikiran ke-Kristenan-an bagi peradaban dunia yang oleh Ryrie (2017) berlangsung selama lima abad, kini mulai mengalami kemunduran. Pergaruh gereja-gereja Protestan di Eropa dan Amerika saat ini mulai mengalami kemunduran. Hal ini terutama disebabkan oleh semakin menguatnya pemikiran materialisme historis yang dibungkus dalam neo kapitalisme, justru lahir dari negara-negara dimana dulunya pemikiran Protestantisme menjadi penentu perubahan. Situasi ini merupakan dilema usaha pemikiran protestantisme yang harus ditinjau kembali.

Meninjau kembali sistem berpikir orang Kristen (Protestan) menjadi sangat penting saat ini. Saat ini banyak orang Kristen yang sangat terdidik dan canggih, tetapi telah kehilangan tambatannya dalam kebenaran alkitabiah. Menyikapi situasi seperti ini, C. S. Lewis, seorang teolog awam asal Inggris dan penulis The Chronicles of Narnia yang amat terkenal itu berpendapat bahwa: “jika seluruh dunia ini adalah Kristen mungkin kita tidak membutuhkan didikan (pikiran). Menjadi bodoh karena tidak terdidik (berpikir) adalah sama saja dengan membuang “sejata kita” untuk berhadapan dengan dunia ini dan menghianati saudara-saudara kita yang tidak berpendidikan” (Veith, 2003).

Bagi Lewis, menjadi orang Kristen yang terdidik merupakan kewajban dan terutama kaum intelektual dengan bakat akademis yang lebih memadai, perlu menggunakan segala potensinya untuk memberdayakan sesama saudara seiman yang tidak memilikinya, sebab ada begitu banyak penyimpangan di dunia ini sehingga memberdayakan sesama untuk mencapai kebenaran berpikir merupakan kebutuhan yang mendesak dalam ke-Kristenan. Intinya adalah, “kehidupan yang terdidik, bagi orang Kristen merupakan kewajiban” demikian simpul Lewis (2001; 2009).

Aktifitas berpikir orang Kristen yang melahirkan berbagai perubahan besar terutama dalam mengarahkan jalan peradaban dunia yang ambivalen saat ini, adalah tanggung jawab besama. “Mengasihi Tuhan dengan segenap pikiran” merupakan cara baru bagi gereja dan ke-Kristen-an saat ini untuk memberikan sumbangan positif bagi dunia. Ini adalah perspektif baru bagi ke-Kristen-an untuk keluar dari kegelapan menuju terang (baca: Eklesia). Menjadi orang Kristen yang terdidik (berpikir) merupakan perintah ilahi. Hal ini bukan saja berhubungan dengan situasi masa kini tetapi juga dengan masa penantian kedatangan Kristus (bnd. Mat. 28:19-20).

Daftar Rujukan:

Frawley, Andrew. (2018). The Curse of Consciousness: Why Peak Human Pleasure Exists in the Absence of Thought. Sumber: https://medium.com/thrive-global/the-curse-of-consciousness-why-peak-human-pleasure-exists-in-the-absence-of-thought-638166d6a52 Akses: 6 Agustus 2021

Gardner, Howard. (2006). Five Minds for the Future. United States of America: Harvard Business School Publishing.

Harari, Yuval Noah (2017). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. United Kingdom:Harper Collins Publishers Ltd.

Harari, Yuval Noah (2017). Sapiens: A Brief History of Humankind. London: Penguin Random House group

Howard, Phili, N. (2010). The Digital Origins of Dictatorship and Democracy. New York: Oxford University Press.

Ish, Julia. (2018). The curse of being an overthinker. Sumber: https://keepgoing-keepgrowing.com/2018/09/26/the-curse-of-being-an-overthinker/ Akses: 6 Agustus 202

Lewis C. S. (2001). The Weight of Glory: And Other Addresses. United Kingdom: Harper Collins Publishers Ltd.

Lewis C. S. (2009). The Abolition of Man. United Kingdom: Harper Collins Publishers Ltd.

McGrath, Alister E. (2007). Christianity’s Dangerous Idea: The Protestant Revolution—A History from the Sixteenth Century to the Twenty-First. United Kingdom: Harper Collins Publishers Ltd.

Neumeier, Marty. (2013). Metaskills: Five Talents for the Robotic Age. United States of America: Pearson Education.

Nichols, Tom. (2017). The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why It Matters. New York: Oxford University Press.

Ringenberg, William C. (2016). The Christian College and the Meaning of Academic Freedom Truth-Seeking in Community. New York: Palgrave Macmillan.

Ryrie, Alec. 2017. Protestant: The Faith That Made the Modern World. New York: Penguin Random House

Veith, Gene, Edward, Jr. (2003). Loving God With All Your Mind: Thinking As A Christian in the Postmodern World. Illinois: A division of Good News Publishers.

West, Bruce J. Mahmoodi, Korosh and Grigolini, Paolo (2019). Empirical Paradox, Complexity Thinking and Generating New Kinds of Knowledge. United Kingdom: Cambridge Scholars Publishing.

Zimmerman, Edith. 2019. How Much Junk Am I Consuming Online Every Day? Sumber: https://www.thecut.com/2019/01/how-much-junk-am-i-consuming-online-every-day.html Akses: 6 Agustus 2021.

[1]  Pengajar di Kupang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *