Ya Roh Kudus, Bangkitkanlah Kami Dari Dampak Bencana – Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan

Sebuah Upaya Membangun Teologia Bencana-Teologi Proaktif Di Indonesia

www.sinodegmit.or.id, Tujuan dari penulisan ini adalah suatu upaya untuk mengembangkan teologi bencana atau teologi pro aktif sebagai bentuk nyata dan partisipasi gereja dalam persoalan bencana yang dihadapi masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu dari perspektif kristiani.

Gereja sesungguhnya berteologi ketika ia peduli dan menolong orang-orang yang tertimpa bencana, tetapi gereja lebih sungguh-sungguh berteologi ketika mencegah orang untuk tidak tertimpa bencana. Karena “Kuasa Pelayanan” yang diberikan Tuhan kepada gereja itu sifatnya dinamis, kreatif, pro aktif dan inovatif. Menelusuri teologi bencana dan sikap proaktif gereja di tengah-tengah bangsa yang selalu ditimpa bencana adalah suatu keterpanggilan yang tidak boleh dianggap remeh.

PENDAHULUAN

Posisi letak Indonesia yang berada di antara  dua benua besar, yakni benua Asia dan Benua Australia, serta dua samudera besar, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan berada di atas dua lempengan bumi serta puluhan gunung api yang masih aktif, menyebabkan Indonesia menjadi negara yang rawan terhadap bencana alam. Simangunsong (2009:67) mencatat paling kurang ada 12 ragam bencana yang sering terjadi di Indonesia antara lain: gempa bumi dan tsunami, letusan gunung api, angin topan dan badai, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah penyakit, kecelakaan transportasi, pencemaran lingkungan oleh industri, dan kerusuhan sosial.   

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu dari sekian banyak provinsi yang rawan bencana di Indonesia. Dua belas ragam bencana yang disebutkan di atas ternyata hampir semuanya dapat kita temukan juga di NTT. Belum reda pandemi Covid-19 masyarakat NTT dikejutkan dengan dengan badai siklon tropis Seroja, yang mengakibatkan bencana banjir, tanah longsor yang memakan korban yang tidak sendikit.

Dampak akibat bencana alam semisal gempa bumi, tanah longsor atau banjir, atau angin puting beliung yang paling dirasakan masyarakat adalah kerusakan aset, luka ringan hingga berat bahkan kematian, hilangnya pasokan, hilangnya komunikasi, hilangnya kekuatan, hilangnya pelayanan air bersih, hilangnya layanan sosial, kerugian bisnis, hilangnya struktur sosial dan fungsinya (Davies et al, 2018). Chong (2018) mengemukakan dampak bencana yang mengakibatkan kerusakan sosial yang menyebabkan kerusakan fisik, kehilangan atau kerusakan properti dan infrastruktur, gangguan psikososial, sosial-demografis, sosial ekonomi, dan sosial-politik.

Sumarno (2013: 69-79) dari hasil penelitiannya, mencatat dampak psikososial dari para korban bencana alam terutama menjurus kepada trauma yang berkepanjangan dimana para korban selalu teringat akan peristiwa traumatik tersebut (intrussive re-experiencing), dan munculnya kesadaran berlebihan (arousal) yang menyebabkan mereka mengalami gangguan tidur.

Yang diperlukan disini adalah bagaimana gereja mampu menolong masyarakat untuk dapat bangkit kembali dari segala bencana yang mereka alami. Menurut Sherrieb (Sherrieb et al, 2010) kemampuan masyarakat untuk “bangkit kembali’ dari stres berat, yang mencakup empat kapasitas adaptif antara lain: pembangunan ekonomi, modal sosial, informasi dan komunikasi.  Kemampuan masyarakat untuk bangkit seringkali terhambat karena kemampuan lembaga-lembaga pendamping dan penolong (pemerintah, LSM dan termasuk gereja) belum memainkan peranannya secara maksimal.

Sub Tema pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) 2022 dapat dipahami sebagai sebuah doa atau pun harapan pemulihan dari Tuhan yaitu “Ya Roh Kudus, Bangkitkanlah Kami dari Dampak Bencana” (band. Roma 8:11).  Di tengah bencana, gereja tidak bisa berdiam diri. Rumusan tema mengambil bentuk permohonan kepada Roh Kudus agar membangkitkan gereja dan komunitas  dari kecemasan, ketakutan, trauma, dan dukacita akibat bencana. 

Rumusan tema ini dalam arti tertentu diinspirasi oleh teks Roma 8:11, yang merupakan bagian dari nasehat rasul Paulus kepada jemaat di kota Roma agar aktif melayani di tengah kompleksitas permasalahan masyarakat kota itu. Di tengah kompleksitas tantangan menghadapi bencana, teks ini mendorong kita melaksanakan karya pelayanan melampui keterbatasan insani. Daya ilahi merupakan sumber kekuatan utama untuk bangkit dan melayani di segala aspek. Roh Kudus memberi sukacita, optimisme bahwa bencana bukan alasan untuk berkeluh kesah melainkan panggilan untuk terus melayani dengan sumber daya terbaik yang Tuhan berikan. 

Konteks Roma 8:11 adalah pembicaraan Paulus tentang kuasa Roh Allah pencipta yang membangkitkan Kristus dari kematian. Bagi Paulus Kristus adalah sulung dari kebangkitan, orang percaya pun akan dibangkitan. Kuasa kebangkitan Kristus membuka pintu bagi orang percaya.  F. Davidson dan Ralph P. Marthin (1970) melihat teks ini adalah salah satu teks PB yang memperlihatkan konsep trinitas yang dihubungan dengan peristiwa kebangkitan. Dalam teologi Kristen istilah perikoresis menunjuk kepada hubungan kesatuan yang erat dan tak terpisahkan antara Allah Bapa Pencipta, Allah Anak dan Allah Roh Kudus di dalam melakukan upaya misi penyelamatan bagi dunia ini. Allah Bapa Pencipta telah melakukan karya penyelamatan bagi dunia dalam Kristus, Ia juga yang terus memelihara dan menuntun dunia melalui Roh Kudus. Jikalau kuasa maut saja dikalahkan oleh Kristus dengan kebangkitanNya, maka orang beriman yang sedang tertimpa bencana pun akan dipulihkan kembali oleh Allah Trinitas. Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus berkolaborasi dan bersinergi dalam misi penyelamatan bagi dunia.  Ini dua istilah modern yang sangat penting terkait pengurangan resiko bencana, upaya penanganan dan pemulihannya.

Berikut ini kita akan melihat poin-poin teologis alkitabiah baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang terkait dengan bencana dan hal ini bisa dikembangkan sebagai sebuah wacana teologi bencana atau teologi proaktif.  

Perkataan Bencana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merumuskan pengertian bencana berdasarkan Undang-undang No. 24 th. 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam, non alam maupun manusia. Badan PBB, World Health Organization (WHO) mendefenisikan bencana merupakan kejadian yang mengganggu kondisi normal dan menyebabkan tingkat penderitaan melebihi kapasitas adaptasi komunitas yang terdampak.

Sedangkan teologi berasal dari dua kata Yunani theos artinya Tuhan dan logos artinya perkataan atau ajaran. Jadi teologi adalah perkataan atau ajaran tentang Tuhan. Sehingga dengan demikian teologi bencana adalah suatu upaya gereja melihat apakah yang Tuhan kehendaki bagi gereja untuk dilakukan untuk menolong warga yang tertimpa bencana atau bahkan mencegah mereka untuk tidak tertimpa bencana. Teologi Bencana adalah suatu upaya nyata gereja secara sistimatis dan konseptual serta praksis untuk menjawab panggilan gereja bagi orang-orang yang sedang mengalami berbaga-bagai kesulitan dan penderitaan. Gereja sesungguhnya berteologi ketika ia peduli dan menolong orang-orang yang tertimpa bencana, tetapi gereja lebih sungguh-sungguh berteologi ketika mencegah orang untuk tidak tertimpa bencana. Karena “Kuasa Pelayanan” yang diberikan Tuhan kepada gereja itu sifatnya dinamis, kreatif, pro aktif dan inovatif sebagaimana disaksikan dalam Alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

Kajian Biblis Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru untuk perspektif teologi bencana – teologi proaktif

Alkitab Perjanjian Lama mengajarkan bahwa umat Israel diminta bersikap proaktif dari pada bersikap reaktif ketika mereka berhadapan dengan bencana kematian yang melanda seluruh Mesir pada masa itu (lihat Keluaran pasal 11 dan 12). Sikap proaktif  ditunjukkan dengan mengikuti petunjuk Tuhan Allah melalui nabi Musa. Agar terhindar dari bahaya kematian anak sulung yang melanda Mesir, mereka diminta menyembilih anak domba dan darahnya dibubuhkan pada kedua tiang  pintu dan pada ambang atas pada rumah-rumah Israel (Kel. 12:12, 13). Artinya bangsa Israel sejak awal disiapkan Tuhan untuk siap menghadapi bencana dan luput dari bencana itu. Dan bukan umat terkena dampak baru Tuhan menolong, tetapi Tuhan memberi kemampuan kepada Musa untuk mencegah umatNya bisa melewati bencana dengan baik.

Mungkin situasi jemaat-jemaat GMIT di era modern ini berbeda dengan Israel pada masa lalu, namun gereja dapat mencegah atau meminimalisir resiko korban bencana lebih besar dengan cara menolong warga GMIT di daerah-daerah rawan bencana seperti gempa misalnya untuk membuat struktur bangunan yang tahan terhadap gempa.  Bahwa seperti bangsa Israel, bencana memang datang melanda, namun mereka disiapkan untuk mengetahui informasi dan mempersiapkan diri untuk cara bagaimana bisa lolos. Bencana bisa datang melanda, tetapi ia hanya melalui dan melewati rumah-rumah umat Israel. Peristiwa melalui dan melewati inilah yang kemudian menjadi tonggak sejarah salah satu perayaan agama Israel yang terbesar sepajang sejarah Israel, yaitu Perayaan Paskah. Yesus Kristus pun merayakan peristiwa ini sejak kanak-kanak bahkan menjelang akhir pelayananNya dimuka bumi ini sebagaimana dikisahkan dala Injil-injil.

Bahkan jauh sebelum peristiwa paskah dalam kitab keluaran ini, dalam kitab Kejadian kita juga bisa belajar dari kisah Nuh dan Yusuf,  yang dipersiapkan Tuhan Allah untuk menyiapkan umat manusia, bukan hanya cikal bakal Israel tetapi juga seluruh bumi pada masa mereka.

Kisah Nuh (Kejadian 6-10) dipakai Tuhan menyiapkan diri untuk menghadapi bencana air bah yang dasyat pada masanya. Bukan hanya Nuh dan keluarganya yang diselamatkan Tuhan, tetapi juga semua makhluk hidup yang ada dalam bahtera itu. Nuh disuruh membangun sebuah Bahtera yang dapat menampung mereka nanti ketika bencana air bah melanda. Misi persiapan dan skenario upaya penyelamatan telah dipersiapkan Tuhan bersama Nuh dan keluarganya, sayang sekali banyak orang lain yang tidak peduli bahkan mentertawakannya. Nuh yang taat kepada Allah dalam iman justru diselamatkan, sementara mereka yang lain mati binasa ketika bencana dasyat air bah melanda bumi. Ini penekanan telogis yang penting bahwa persiapan, kesiapsiagaan menghadapi bencana, skenario penyelamatan (sosialisasi, evakuasi, pemulihahn setelah bencana) adalah juga bagian dari iman Nuh kepada Tuhan. Tanpa kepatuhan dan ketaatan iman, tidak mungkin Nuh dan keluarganya lolos, bisa melalui dan melewati bencana dasyat tersebut.

Kisah Yusuf (Kejadian 37-50) yang dipakai Tuhan untuk arif dan bijaksana mengumpulkan bahan makanan pada masa-masa kelimpahan, dan ketika bencana kekeringan dan kelaparan datang berkepanjangan mereka bisa melalui dan melewatinya dengan baik karena ketersediaan pangan yang cukup, bukan hanya bagi Yakob dan anak-anaknya, tetapi bangsa Mesir dan seluruh dunia pada masa itu. Nampak di sini suatu penekanan penting bahwa Tuhan memakai bangsa Mesir, bangsa asing di mata Israel untuk menyelamatkan Yakob dan keturunannya (cikal bakal bangsa Israel) serta seluruh umat manusia pada masa itu. Bahkan dalam kisah Abraham dan kisah janda di Sarfat juga dapat dipahami sebagai upaya pemeliharaan umat bagi umatnya maupun nabi utusan Tuhan sebagai penyambung lidah bagi umatNya.

Kisah Abraham (Kejadian 18) yang berdialog dengan Tuhan untuk menyelamatkan kota Sodom dan Gemora yang menjadi tempat tinggal keponakannya Lot dari bencana hujan belerang dan api.

Kisah Janda di Sarfat (1 Radja-raja 17) yang menolong Nabi Elia dari bahaya kelaparan akibat bencana kekeringan yang melanda. Dengan kuasa Allah yang tak terbatas, seorang janda bahkan bisa menolong seorang Nabi yang kelaparan dan menolong dirinya sendiri dan keluarganya. Teks ini mau menegaskan bahwa orang dianggap yang paling lemah dalam kehidupan sosial bangsa Israel, justru juga menjadi alat Tuhan dalam misi penyelamatan umatNya dari bencana kekeringan dan kelaparan.

Pokok-pokok teologis PL di atas paling kurang dapat menolong gereja untuk mengembangakan lebih jauh teologi bencana dalam menjawab kebutuhan gereja dalam partisipasinya di dalam pengurangan resiko bencana.

Lebih jauh gereja dapat bekerjasama, bersinergi, berkolaborasi dengan pemerintah dan instansi terkait bahkan dengan bangsa asing (membangun jaringan atau network) untuk membuat rencana struktural, perancanaan tata ruang dan rencana evakuasi dan penanggulangan bencana paska gempa. Fungsi klasis-klasis terkena dampak bencana dioptimalkan untuk membantu menyiapkan data kelompok Masyarakat prioritas untuk dibantu dalam keadaan darurat; penyandang disabilitas, orang-orang tua, ibu hamil, dan anak-anak yang membutuhkan prioritas dan pendampingan saat evakuasi. Klasis-klasis yang rawan bencana diwajibkan mengadakan simulasi evakuasi secara berkala sebagai bagian dari kesiapsiagaan bencana.

Selain upaya-upaya pelatihan jangka pendek, GMIT melalui klasis dan jemaat perlu melakukan pelatihan dan pendidikan jangka panjang. Aspek kesiap-siagaan jangka panjang berupa pembuatan kurikulum pendidikan dan pelatihan bencana, melatih para relawan, infrastruktur logistik, evakuasi dan penyelamatan korban, serta merawatan medis bagi korban terdampak. Pendidikan kebencanaan dan cara bertahan hidup dari bencana adalah kurikulum wajib mulai dari sekolah Minggu hingga Katekisasi Sidi, bahkan hingga kurikulum Perguruan Tinggi yang ada dalam wilayah pelayanan GMIT (UKAW, UNTRIB, etc).

Selain PL Alkitab Perjanjian Baru (PB) juga memberikan penegasan tentang fungsi gereja untuk mendatangkan tanda-tanda kerajaan Allah bagi dunia ini terutama bagi mereka yang terkena dampak dari bencana. Ketika orang berbicara PB mau tidak mau menyinggung PL. Karena keduanya memiliki keterkaitan dan kesatuaan. Sebagai contoh sederhana Lukas juga mengutip kisah Janda di Sarfat dalam Injilnya (Lukas 4).

Dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah gereja mengacu kepada teladan Kristus. Yesus telah, sedang dan akan menyempurnakan Kerajaan Allah bagi manusia di bumi dan gereja diminta untuk ikut berpartisipasi aktif dan bukan dalam ibadah ritual belaka.   Kerajaan Allah adalah situasi dimana kuasa Kristus dinyatakan bagi semua orang untuk bebas dari kuasa Jahat- Iblis, bebas dari penggelapan dana bencana, bebas dari sakit penyakit, kelemahan dan penderitaan; orang diminta bergiat dalam pembangunan iman-harapan dan kasih (Matius 12:28).

Yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa Kerajaan Allah itu bersifat pro aktif,  on-going, dinamis, dan progresif. Pro aktif artinya Allah telah proaktif dan telah berinisiatif menyelamatkan manusia, dan manusia terpanggil untuk melanjutkannya bagi orang-orang terdampak bencana; On going artinya mewujudkan dan menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah secara terus menerus; dinamis artinya ada pergerakan dan tidak tinggal diam; dan progresif artinya ada kemajuan yang dapat diukur, sesuatu yang dari tadinya belum berwujud menjadi berwujud dan berbentuk, dari tadinya tak kasat mata menjadi tampak dan kasat mata, dari tadinya ideal saja menjadi riil dan dirasakan banyak orang melalui aktualisasi dan manifestasi Kerajaan Allah (orang memulai dari hal kecil hingga besar, Mat 13:31-32).

Etika Kristiani bersifat proaktif dan bukan reaktif. Ajaran Yesus berbeda dengan ajaran Yahudi yang bersifat reaktif “gigi ganti gigi, mata ganti mata” (Mat 5:38, Kel 21:24, Im 24:20), tetapi Yesus memberi makna baru bagi Taurat. Etika Kristiano bersifat proaktif, krena kasih Tuhan yang memampukan kita mengasihi semsama  

Kolaborasi, sinergitas dan membangun jaringan

Untuk membantu warga gereja yang terdampak bencana kita tidak mungkin bekerja sendiri, kita membutuhkan kolaborasi, sinergitas dan membangun jaringan dengan semua pihak yang mempunyai kepedulian dan komitmen yang sama. Dan semua ini mesti ada evaluasi dari waktu ke waktu sehingga kolaborasi dan sinergitas serta network seiring perjalanan waktu dapat ditingkatkan.

Mencontohi tindakan Allah yang selalu melibatkan manusia sebagai mitra pelayanannya. Teks-teks PB yang membicarakan pelibatan manusia dalam Misi Allah bagi dunia adalah terutama terdapat dalam teks-teks yang dikarang oleh penulis Lukas. Bagi Penulis Lukas Allah Pencipta melalui Roh Kudus telah dan terus bekerja dalam Yesus Kristus (Injil Lukas) maupun juga dalam murid-muridnya yang diutus sebagai rasul untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa (Kisah Para Rasul). Jadi Tema Roh Kudus adalah tema yang sentral baik dalam Injil Lukas maupun kisah Para Rasul. Para pakar PB menyebut Injil Lukas dan Kisah Rasul merupakan karya besar yang dipersembahkan si penulis Lukas bagi umat Tuhan sejak awal berdiri gereja hingga kini.

Melihat kesatuan isi dan  tema dari Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, maka para ahli PB berkonsensus, lihat misalnya Schnelle, Udo (2005:288) bahwa keduanya berasal dari pengarang  yang sama yaitu Lukas, atau sering disebut sebagai “Das Lukanische Doppelwerk”.

Peranan Roh Kudus tergambar secara luas baik dalam Injil Lukas maupun Kisah Para Rasul.  Terdapat kecocokan antara  Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, yang menekankan peranan Roh Kudus baik dalam diri Yesus maupun para murid. Sehingga jika dalam Injil Lukas peranan Roh Kudus berpusat pada diri Yesus, maka dalam Kisah Para Rasul tergambar dalam diri para rasul.

Roh Kudus berperan dalam pelayanan Yesus, hal itu telah nampak sejak Yesus memulai pelayanannya (Lukas 4:18, 19;  5:8  dyb). Demikian pula Roh Kudus berperan dalam masa-masa awal pelayanan murid-murid setelah peristiwa pencurahan Roh Kudus (Kis 2:1-4).

Menarik bahwa kuasa yang dimiliki Kristus karena Roh Tuhan atau Roh Allah sendiri yang menyertaiNya dan kuasa yang sama kemudian dialihkan kepada para murid dimana istilah kuasa dalam bahasa Yunani yang digunakan adalah dunamis.

Perkataan Dunamis (bahasa Yunani artinya “Kuasa”), bukanlah sekadar kekuatan atau kemampuan; lebih dari pada itu istilah ini khusus menggambarkan daya yang bekerja, yang bertindak.  Ini telah tergambar dalam Injil Lukas dan dalam Kisah Para Rasul, yang menekankan bahwa kuasa Roh Kudus diantaranya kemampuan untuk menghalau roh-roh jahat dan urapan untuk menyembuhkan orang sakit. Keduanya sebagai tanda penting yang menyertai pewartaan Kerajaan Allah (Lihat Luk. 4:14,18,36; 5:17;  6:19; 9:1-2; Kisah 6:8; 8:4-8,12-13; 10:38; 14:3; 19:8-12).

 Daya untuk bersaksi dan dapat dilakukan dalam banyak ragam, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Bersaksi tidak mesti dalam bentuk khotbah. Bersaksi tidak mesti memenangkan jiwa.  Bersaksi semestinya tidak dengan suara keras atau makian, celaan dan tudingan. Pula tidak dengan pamer kehebatan, kesombongan dan kebesaran diri, unjuk kepintaran melainkan bersaksi tentang kebesaran Tuhan semata.

Tangggungjawab gereja yang utama adalah menyaksikan kebaikan dan kebenaran Tuhan.  Orang dapat bertobat karena kesaksian kita, namun itu bukan upaya kita tetapi hasil kerka Roh Kudus melalui kita. Jika kita berpikir bahwa pertobatan orang lain adalah karena kita, maka sesunguhnya telah mendukakan Roh Kudus, karena kita telah menyangkali kuasanya (dunamisnya) yang sementara berkarya dalam diri kita. Oleh sebab itu bersaksi merupakan gaya hidup dan kuk yang memberatkan. Bersaksi bukan untuk memperoleh laba dan ketenaran.  Karena Roh Kudus yang berkarya membebaskan dan memberikan semangat kepada kita. Bahkan saat merasa tak mampu Dia justru menolong kita.

Ketika para murid mengalami langsung angin badai yang menghantam kapal mereka ketika berlayar untuk suatu misi pelayanan, mereka panik dan kuatir. Ketika dibangunkan dari tidurnya Yesus justru memaharahi mereka karena dianggap “kekurangan iman” (Mat 8:24-27).   Roh Kudus memberikan roh keberanian dan bukan ketakutan, termasuk ketika kita menghadapi bencana badai jenis apapun. “Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya” (Ef. 3:12).

Orientasi Kampung bukan Kota

Menarik kalau teks Lukas 4:16-30 menegaskan bahwa melalui bimbingan Roh Kudus kampung kecil Nazaret menjadi awal dari pelayananNya dan bukan dari ibu kota Yerusalem.  

Penegasan pada kampung dan bukan kota adalah sikap keugarian Yesus, dimana terlihat sejak kelahirannya. Yesus dilahirkan di kampung paling udik di Israel dan di dalam kandang hewan (Lukas 2:4-7). Perendahan diriNya bermuara pada kematianNya di salib (Filipi 2:6-8; Luk 23:33-49). Perendahan ini hanya dimungkinkan karena Dia dalam kontrol Roh Kudus, penegasan ini terlihat pada dalam ungkapan “Dalam kuasa Roh kembalilah Yesus ke Galilea. Dan tersiarlah kabar tentang Dia di seluruh daerah itu” (Luk 4:14).

Menurut Tisnley (1965:51) ungkapan “dalam kuasa Roh Kudus” dalam teks Yunani en te dunamei tou pneumatos diterjemahkan secara bervariatif. Versi Einheitsuebersetzung (1980) Jerman: erfüllt von der Kraft des Geistes (dipenuhi dengan kuasa Roh), English Standard Version (2001): full of the Holy Spirit (penuh dengan Roh Kudus, atau dalam versi Amplified Bible (2015) full of [and in perfect communication with) the Holy Spirit (penuh dengan [dan dalam komunikasi yang sempurna dengan] Roh Kudus), E.J. Tinsley: armed with the power of the Spirit (dipersenjatai dengan kuasa Roh).

Dengan terjemahan yang bervariatif itu menggambarkan bahwa kuasa Yesus adalah berasal dari Allah Bapa Pencipta, yang diperolehnya dari sikap kerendahan hatiNya yang bersedia untuk dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Lukas 3:21-22). Sesungguhnya Yohanes menolak membaptisNya sebab ketidakpantasan saja, karena pembaptisan adalah penyucian dari dosa-dosa, sementara Yohanes tahu bahwa Ia adalah anak Allah yang maha tinggi yang tak berdosa sama sekali. Namun Yesus mendesak agar itu harus terjadi demi menggenapi kehendak Allah sendiri (Mat. 3:13-15).  

Rasul Paulus mamandang insiden ini sebagai suatu komparasi antara Adam sebagai manusia pertama dan Kristus sebagai Adam kedua, yakni pada ketidaktaatan Adam dan ketaatan Kristus terhadap kehendak Allah. Lewat ketidaktaatan Adam semua manusia berada dalam hukuman Allah, tetapi lewat ketaatan Yesus manusia  dibenarkan dan diberi kesempatan hidup dalam anugerahNya (Rom. 5:12-19).

Potret pelayanan Yesus yang dimulai dari kampung dan bukan kota metropolitan dilanjutkan pada peristiwa kebangkitanNya. Para murid diminta bersekutu di kampung Galileaa, bukan Yerusalem (Matius 28:7-10; Markus 16:7).  Sebagai teladan sang guru para murid diminta memulai pelayanannya Galilea dan bukan Yerusalem.  Yerusalem selaku tempat para nabi dibunuh, juga tempat pengadilan Yesus yang berujung pada ganjaran penyalibanNya. Di kota juga sudah penuh dengan polusi agama, budaya dan sosial dan tidak ada lagi kepolosan dan keramahtamahan orang desa.

Daerah pedesaan terdapat banyak keterbatasan fasilitas bila dibandingkan di kota ada begitu banyak peluang termasuk untuk melakukan kejahatan, namun Yesus menyuruh rasul-rasulNya untuk mengawali kampung. Di kampung masih ada banyak pohon dan kesejukan, namun di kota tempat judi, tempat Pitrad, SPA plus-plus, tempat minum mabok, etc. Jadi para pelayanan muda gereja, para pemuda GMIT jangan malu dan resah bila disuruh melayani ke desa! Ada resiko bencana di dimana-mana entah kota maupun desa.

Penelitian dari Pradika (2018:261-286) membuktikan bahwa para pemuda dapat dilibatkan untuk peran mereka dalam pengurangan Risiko Bencana di pedesaan. Tugas kita semua dan juga termasuk tugas gereja dan pemerintah adalah bagaimana mendidik dan mendorong orang-orang muda untuk membangun kampungnya dari pada lari ke kota yang belum tentu membawa kebaikan bagi mereka. Penciptaan lapangan kerja di desa dan pemberian modal yang disertai dengan pelatihan dan pendampingan yang baik bagi mereka akan menolong mereka mencintai kampung halaman mereka sekaligus menciptakan ketahanan kampung dan nasional termasuk peranan mereka dalam pengurangan risiko bencana di pedesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Affeltranger, B -cs, (2007). Hiup Akrab Dengan Bencana: Sebuah Tinjuan Global Tentang inisiatif dan Pengurangan Bencana.MPBI.

Benson, Charlotte and Twigg, John (2007). Perangkat Untuk mengarusutamakan Pengurungan Resiko Bencana.

Davies, T. R. H., & Davies, A. J. (2018). Increasing communities’ resilience to disasters: An impact-based approach. International Journal of Disaster Risk Reduction, 31(6), 742–749. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2018.07.026

Davidson, F and Marthin, Ralph P. Marthin (1970), Romans, dalam Guthrie, Donald, sc, New Bible Commentary, Third Ed.,

Pradika, Maulana I., at.al (2018:261-286), Peran Pemuda Dalam Pengurangan Resiko Bencana dan Implikasinya, Jurnal Ketahanan Nasional, Vol. 24, No.2.

Sumarno, (2013). Dampak Psikologis Pasca Trauma Akibat Erupsi Merapi. Skripsi, 69-79.

Simangunson, Ridhon MB, Bencana Alam dan kemiskitan (2009). Jurnal Tangguh, Vol. 1, no. 1, Februari.

Tinsley, E.J. (1965). The Gospel According to Luke, Cambrige At The University Press,  halm., 51

Udo Schnelle, (2005).  Einleitung in das Neue Testament, hlm. 288

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *