Zakheus (Lukas 19:1-10)
Oleh: Dr. Karen Campbell-Nelson
Ketika saya diminta untuk merefleksikan tema “Mengambil Bagian Dalam Kehidupan Allah di Pinggiran”, yang langsung masuk di benak saya adalah cerita Zakheus. Ia adalah laki-laki di pinggiran baik secara fisik maupun moral. Ia tinggal di wilayah Yudea di pinggiran kekasisaran Romawi.
Saya rasa penting untuk merenungkan makna khusus dari kota Yerikho karena peristiwa Zakheus itu terjadi di Yerikho. Kita semua tahu cerita mengenai Yosua masuk dan menaklukan Yerikho sebagai bagian dari invasi orang Israel masuk Kanaan. Dan diberitakan oleh Yosua bahwa mereka akan mengalahkan banyak suku sebagai tanda bahwa Allah di pihak mereka. Terkait kota Yerikho, sebagai tanah perjanjian tidak begitu saja mereka masuki melainkan melalui sebuah penaklukan militer.
Jadi Yerikho dihancurkan sampai rata tanah dalam proses itu. Dalam tradisi kita, kita rayakan ini sebagai wujud perjanjian Allah. Tetapi bayangkan apa yang dirasakan oleh orang-orang Yeriko sendiri, penduduk Yerikho yang dibunuh. Waktu saya anak muda saya tidak rasakan itu, saya hanya menyanyikan lagu yang bagus mengenai Yosua sebagai tokoh yang gagah perkasa. Dikemudian hari baru saya belajar tentang hermeneutika kecurigaan.
Latar belakang pertemuan Yesus dengan Zakheus adalah sejarah yang mengaitkan antara kekerasan dengan perjanjian. Hal ini mendorong kita untuk mempertanyakan janji-janji yang lain yang mengandung unsur kekerasan termasuk janji-janji calo-calo perdagangan manusia dan janji-janji para pebisnis besar-besaran.
Sekarang mengenai zakheus. Lukas sebut Zakeus sebagai pengumut bea cukai. Istilah yang tepat juga adalah “petani pajak”, dari sistem perpajakan Roma. Zakheus berdiri di tengah diantara ekonomi kekasisaran Romawi dan ekonomi pasar rakyat Yudea. Zakheus bantu supaya sistem penindasan Roma berhasil untuk memeras rakyat di Yudea. Sebagai petani pajak dia bayar ke muka kepada pemerintah Roma untuk mendapat hak memungut pajak dan setelah itu baru ia bebas untuk peras rakyat. Bisa jadi dia angkat preman-preman dan anak-anak gelandangan untuk pungut langsung di lapangan dan dia menjadi bos dari satu pasukan preman yang peras rakyat untuk bayar pajak. Seperti di NTT ada yang pergi pungut biaya dari pinjaman-pinjaman yang punya bunga tinggi.
Dalam konteks waktu itu ada pajak macam-macam; kulit binatang, ikan kering, jembatan, jalan, gandum, anggur, pemungut budak harus bayar pajak untuk budaknya, pekerja sekx harus bayar pajak untuk seks. Itu sesuatu yang luar biasa dalam sistem perpajakan Romawi. Itu berarti bahwa orang seperti Zakheus dianggap orang berdosa dan pengkhianat juga terhadap bangsa. Karena itu kita bisa pahami mengapa orang mengomel ketika Yesus bersahabat dan bertamu di rumahnya.
Saya mau fokus pada ayat 5. Ketika Yesus datang ke tempat itu ia angkat mata dan melihat Zakheus lalu berkata kepadanya, “Turunlah dari pohon karena saya mau bertamu di rumahmu hari ini.” Sikap Yesus ini sepertinya melawan anggapan umum mengenai Zakheus.
Cerita ini hanya muncul di Injil Lukas dan memang Injil Lukas lebih memberi perhatian pada pada soal ekonomi dan sosial. kita tidak tahu persis jenis korupsi yang Zakheus lakukan. Apakah dia mau berjanji membuat semacam CSR seperti bisnis-bisnis sekarang, atau mau mencari nama baik dengan menjadi dermawan pada rakyat.
Yesus sebetulnya tidak omong apa-apa mengenai sistem perpajakan Roma dan ketidakadilannya. Yang Yesus lakukan adalah menerima Zakheus sebagai sesama. Dan, sepertinya Ia mengecam orang-orang yang mengucilkan Zakheus. Yesus mungkin tidak punya agenda tertentu kecuali hanya untuk berkenalan dan memahami siapa Zakheus dan bagaimana hidupnya melalui perjamuan makan dan minum bersama.
Dalam hal ini Yesus menghampiri orang di pinggiran yang dipinggirkan. Bahkan dikucilkan dari bangsanya karena perbedaan. Ini tema dari Komisi Misi dan Penginjlan (Commission on World Mission and Evangelism) dari Dewan Gereja Dunia (DGD) tahun 2016, mengenai Misi Dari Pinggiran.
Tapi apa itu pinggiran? Apakah seperti kami meninggalkan Amerika Serikat dan datang ke Timor Barat? Dulu kami pikir Timor itu betul-betul ada di pinggir dunia tapi apa yang saya temukan ketika saya tiba di Timor adalah sisa hidup saya. Apa yang dianggap pinggiran menjadi pusat dari hidup dan pekerjaan serta pelayanan saya.
Allah tidak terbatas pada pusat ini dan itu tapi Allah ada untuk kita semua. Allah ada dalam relasi, bukan dalam kondisi georafis tertentu. Kehadiran Allah seringkali disangkal/ditolak ketika manusia saling memperalat seolah-olah Allah tidak ada. Dalam minggu ini kita dipanggil untuk ambil prakarsa dan menciptakan relasi-relasi. Dalam relasi itu tidak ada lagi pinggiran. Itu yang saya lihat dalam cerita Yesus dan Zakheus. Yesus panggil kita untuk membuat terobosan. Menciptakan relasi dengan orang yang dipinggirkan.
Kita tidak bisa buat misi dari pinggiran kalau kita tidak punya relasi dengan orang-orang di situ. Kita banyak bicara tentang kemitraan tetapi mungkin bahasa yang lain adalah persahabatan atau relasi. Kita juga dipanggil untuk membangun relasi bukan hanya dengan korban dan penyintas tapi juga kita harus berkenalan dengan pelaku. Kita mungkin susah buat itu tapi kita harus mulai membuat analisis sosial untuk menemukan siapa yang melakukan itu dan untuk kepentingan apa dan dengan cara apa?
Ada yang bertanya mengapa orang di daerah kita khusunya NTT terus-menerus miskin? Kita harus melakukan analisis. Ada banyak tantangan, ada banyak pertanyaan dan banyak pula harapan. Saya mau tambah beberapa: salah satu tantangan untuk melawan human trafficking adalah membuat analisis ekonomis dan sosial secara regional seluas Asia Selatan dan bukan hanya secara lokal karena masalah bukan hanya lokal tapi di seberang sana terutama di Malaysia.
Kita harus memahami bagaimana ekonomi Indonesia sudah mulai terintegrasi dengan ekonomi global dan bagaimana dampaknya terhadap pertanian, pemanfaatan tanah, dan sumber daya alam, sistem perkrediatan, dan sebagainya.
Kita harus pasang nama pada pelaku-pelaku ekonomi ini, supaya kita tahu seperti Yesus tahu nama Zakheus. Siapa nama orang-orang yang berdagang manusia dan mengambil keuntungan dari perdagangan orang itu. Kita juga harus memahami kaitan perdagangan orang dengan politik identitas. Karena ada rasa malu posisi Indonesia sebagai pengirim tenaga kerja.
Ada moratorium untuk pengiriman tenaga kerja asisten rumah tangga ke Timur Tengah, tetapi kenapa hal sama tidak diberlakukan di tempat lain. Kita juga harus memahami ekonomi kepala sawit yang menjadi raksasa yang sedang mengikat hutang kita. Seorang pekeja di bank dunia, pernah bertanya, “Apakah perlu ada moratorium ataukah perlindungan untuk para buruh yang ada?” Jawabannya adalah dua-duanya penting. Moratoriun baik tetapi juga perlu membangun perlindungan yang adil bagi tenaga kerja. Membangun hak itu bagian dari membangun perlindungan bagi pekerja di mana pun, bukan hanya tenaga kerja ilegal di luar negeri. Dalam buku “etika solidaritas” yang ditulis oleh Rebecca Todd Peters (2014), ia mengkritisi orientasi pada konsumen ketimbang orientasi pada buruh dan karyawan.
Kalau ekonomi menuntut perdagangan orang, maka biar kita tangkap para calo, mereka akan muncul kembali. Kecuali, ada perubahan dalam sistem ekonomi kita. Selama sistem itu tidak berubah kita akan senantiasa berhadapan dengan kejahatan perdagangan orang. Kalau perlu ada relasis-relasi yang bukan hanya pembagian gaji yang lebih baik. Perlu dibangun sebuah kemanusiaan atau solidaritas bersama. Kita butuh pertukaran ekonomis yang lebih baik yang bermanfaat bagi semua orang, bukan hanya bagi pemilik modal.
Dibutuhkan hubungan mutualitas atau hubungan timbal balik, bukan hanya hubungan belas kasihan. Yang kami lihat mulai terbangun di sini adalah hubungan timbal balik di antara GMIT dan Tenaganita di Malaysia, yang bekerja sama untuk upaya pemberdayaan perempuan korban perdagangan orang. Para korban mereka saling menguatkan. Kita juga lihat hubungan timbal balik ini di kalangan pendeta-pendeta GMIT yang mengorganisir petani-petani untuk mendapat hasil yang lebih baik.
Yesus tidak hanya melakukan sebuah misi. Yesus juga membangun relasi. Relasi-relasi itu yang kita kenal karena dia berteman dengan Maria, Marta, Simon, Yohanes, Yudas, Zakheus dan banyak orang lain lagi. Kita kenal nama mereka karena Yesus bangun relasi dengan mereka.
Di sini saya angkat kembali pendapat dari Ibu Pendeta Mery Kolimon waktu kami buat penelitian tentang penyintas ‘65, yaitu bahwa bukan hanya korban tapi juga para pelaku yang mengalami trauma oleh karena peristiwa tersebut perlu pemulihan. Jadi baik penyintas maupun pelaku membutuhkan penyembuhan.
Seperti dikatakan, satu luka membuat semua sakit. Komunitas Yesus, terdiri dari baik para korban maupun pelaku. Jadi untuk mengenal trauma yang dialami dua pihak mungkin akan membantu kita membagun relasi di tengah-tengah perbedaan. Kita bisa belajar dari perempuan yang telah menderita dan menjadi penyintas dan menguatkan kita semua. Mereka yang dulu kita bantu sebagai korban sekarang mereka bantu kita untuk tetap mempertahankan iman dan harapan. Mereka memberi inspirasi pada kita. Amin. ***
*Khotbah ini disampaikan pada ibadah penutupan Konferensi Internasional Mitra Global Ministries Gereja-gereja di Asia Selatan yang berlangsung di Kupang, pada 5-9 April 2018.