Mengubah Konspirasi Menjadi Kolaborasi — Paul Bolla

Kupang, www.sinodegmit.or.id, Kisah dalam Injil, semalam, Kamis malam Yesus ditangkap saat sedang berdoa di taman. Proses peradilan Yesus dilakukan maraton hingga tengah malam dan terus berlanjut sampai vonis Jumat siang. Sangat singkat sekali. Ini hal yang tidak lazim dalam sistem peradilan Yahudi. Peradilan Yesus diawali pada hari pertama “Hari Raya Roti Tidak Beragi” dalam Paskah Yahudi. Kitab Injil mengungkapkan ada dua proses pengadilan yang berbeda terhadap Yesus, yaitu, 1) Pengadilan Yahudi, dan (2) Pengadilan Romawi.

Peradilan Yesus mengkonfirmasi kebenaran ungkapan “tidak ada kawan dan musuh yang abadi.” Itu nyata dalam sikap institusi adat/tradisi Yahudi, para tokoh masyarakat dan agama dalam diri Ahli Taurat, Kaum Farisi dan Mahkamah Agama, serta institusi politik lewat Herodes dan Pilatus. Semua unsur tersebut sering berseberangan dalam realita kehidupan agama, sosial dan politik saat itu. Tapi semua semangat permusuhan itu hilang, lalu bersatu dan berkonspirasi dalam kepentingan yang sama. Kepentingan menjadi panglima. Sama-sama diuntungkan. Tidak ada pihak yang dirugikan.

Itulah nasib Yesus. Setiap perayaan Minggu Sengsara hingga Paskah, renungan dan khotbah banyak mengambil tema dari figur yang terlibat dalam proses peradilan hingga jatuh vonis, dihukum mati dengan cara disalibkan. Keputusan yang sangat mengerikan ini disambut syukur dan didukung penuh massa.

Karakter pihak yang terlibat tak habis dikupas dalam renungan dan khotbah. Ada Yesus, Yudas Iskariot, Simon Petrus, Simon Kirene, Herodes, Pilatus, Kayafas, murid-murid Yesus secara kolektif, imam-imam secara kolektif, para perempuan, serdadu Romawi, dan lainnya. Peran mereka masing terhadap figur sentral Yesus dikhotbahkan. Kitab-kitab Injil secara jelas mengungkapkan bukti-bukti bahwa proses pengadilan Yesus cacat hukum. Ada konspirasi antara unsur-unsur kekuasaan, yang memperalat Yesus, untuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan mereka.

Ada empat sumber kekuasaan. Pertama, kekuasaan politik dalam diri Wali Negeri Pontius Pilatus. Kedua, kekuasaan politik lokal dalam diri Raja Herodes. Ketiga, kekuasaan dalam diri tokoh-tokoh adat/masyarakat/ agama (toda/tomas/toga) dan lembaga Mahkamah Agama. Keempat, kekuasaan massa dalam diri kaum Yahudi. Keempat sumber kekuasaan itu menyatu menjadi kekuatan konspirasi dalam proses peradilan Yesus.

Mari kita belajar salah satu yg cukup menentukan nasib Yesus melalui Mahmakah Agama. Mahkamah Agama (MA) adalah lembaga peradilan tertinggi kaum Yahudi di masa Yesus. Ini otonomi khusus yg diberikan oleh Kerajaan Romawi, kecuali urusan politik. MA dalam bahasa Yunani disebut Sanhedrin (Sunedrion), atau Sanhed’rin dalam bahasa Ibrani. MA juga bisa disebut Senat atau Gerousia dalam bahasa Yunani. Anggota MA terdiri atas para sesepuh Yahudi atau presbuterion (Luk.22:66, Kisah 22:5). Para sesepuh ini bertanggung jawab atas kesejahteraan umum bangsa Yahudi (Ezra 5:9, 6:7, 20:8)

MA atau Sanhedrin berjumlah 71 orang, dipimpin seorang Imam Agung (Kel. 24:1,9; Bil.11:16. Mereka berasal dari tiga golongan.

(1) Para Penatua. Golongan ini adalah wakil rakyat dari tomas/toda yg paling terpandang. Mereka bukan dari keturunan imamat. (2) Para Imam Agung. Mereka mantan imam agung. (Kisah 4:5-6). (3) Para ahli Kitab Suci. Kebanyakan dari golongan Farisi. Pada masa Yesus, pengaruh kaum Saduki, dikalahkan kaum Farisi. Farisi kuasai MA. Kekuasaan MA tergantung pada penguasa Romawi. Pada zaman Herodes, MA hampir tidak berarti. MA hanya menjadi alat kekuasaan administrasi dan keadilan yang tertinggi. MA juga boleh bebas mengatur soal keagamaan. Hukuman mati hanya bisa dilaksanakan setelah disahkan oleh perwakilan kekuasaan Romawi, dalam diri Pilatus. Ketua MA masa Yesus adalah Imam Besar, dalam diri Kayafas.

MA biasanya bersidang pada hari kedua dan kelima tiap minggunya. Tetapi tidak bersidang pada hari raya dan Sabat. Ternyata Kayafas mengundang majelis MA untuk sidang darurat (Kisah 5:17, 21, 27; 7:1; 22:5; 23:2). Dia memimpin persidangan Yesus, yg sebelumnya sempat diinterogasi oleh seorang imam besar, Hanas (Mrk. 14:53,55, 60,63; 15:1, Mat 26:3,57, Luk. 22:54; Yoh. 18:13,13, 19-24). Inilah prosedur bersidang MA. Anggota mahkamah duduk setengah berbentuk lingkaran, dengan 2 orang penulis. Satu bertugas menghitung suara dalam pemungutan suara untuk pembebasan terdakwa. Seorang lagi bertugas menghitung suara untuk menjatuhkan hukuman.

Para murid mungkin menghadiri persidangan Yesus dan duduk di depan. Para narapidana juga hadir. Dalam perkara hukuman mati, alasan-alasan untuk membebaskan seorang terdakwa disampaikan dahulu, baru alasan-alasan untuk menghukum. Jika seorang hakim sudah beri argumentasi mendukung pembebasan, dia tidak bisa mengubah lagi pendapatnya. Tapi jika argumentasinya mendukung penghukuman, pendapatnya masih bisa diubah. Para murid tentu saja mendukung pembebasan Yesus. Pembebasan bisa langsung diumumkan pada hari pengadilan. Sedangkan hukuman harus menunggu sampai hari berikutnya. Selalu ada kemungkinan ada yang berubah pikiran dan mengubah pendapatnya agar terdakwa bisa bebas.

Prosedur pemberian suara, dilalukan dengan cara berdiri, dimulai dari anggota MA yang termuda. Untuk pembebasan, mutlak butuh suara terbanyak. Tapi untuk penghukuman membutuhkan mayoritas 2/3 suara MA. Misalnya, jika hadir 23 orang anggota MA, maka butuh 12 orang hakim yang mendukung pembebasan, dan 11 lainnya memilih dihukum. Maka terdakwa akan bebas.

Tetapi jika 12 anggota memilih dihukum, dan 11 memilih dibebaskan, maka MA belum bisa mengeksekusinya. MA masih membutuhkan tambahan dua hakim lagi yg setuju dihukum agar menjadi mayoritas. Jika belum cukup, maka harus terus diulang sampai seluruh anggota Mahkamah 71 orang hadir, atau sampai syarat jumlah suara yang mendukung pembebasan tercapai. Prosedur ini sebagai bentuk keberpihakan pengadilan pada terdakwa.

Tetapi dalam pengadilan Yesus, keabsahan pengadilan menunjukkan banyak bukti-bukti telah terjadi penyelewengan. Disinilah nyata konspirasi itu. Pertama, MA bersidang disaat yang tidak lazim, yakni pada hari Raya Roti Tidak Beragi, sebagai bagian dari Perayaan Paskah. Kedua, seluruh proses pemeriksaan langsung pada tuduhan hukuman. Bukan menyampaikan fakta-fakta perbuatan baik Yesus. Seharusnya diawali alasan pembebasan, atau hal-hal yang meringankan Yesus. Ketiga, proses pemeriksaan oleh semua pemilik kekuasaan (Kayafas, bolak-balik Herodes-Pilatus) tidak ditemukan kesalahan Yesus. Keempat, Pilatus nembuat terobosan. Berhubung Herodes enggan menangani kasus Yesus, Pilatus sangat cerdik. Para pemuka agama dan massa menolak masuk Istana Pilatus. Sebab tradisi Yahudi melarang atau menganggap najis orang Yahudi berada di simbol kekuasaan Romawi. Pilatus yang keluar istana menemui para penggugat dan massa.

Pesan kuat dari kisah pengorbanan Yesus, saya temukan dalam sebuah dialog film eksen yagg dirilis April 2005, “xxx: state of union”. Film ini dibintangi Ice Cube, yang berperan sebagai Darius Stone. Dia menjadi agen baru National Security Agency dalam suatu operasi militer harus menghentikan kubu militer nakal yang berencana menggulingkan pemerintah AS dalam sebuah aksi mengerikan. Untuk tugas ini, dia mengabaikan keselamatannya, demi negaranya. Ucapan Stone begini: “Siapa yang tidak mampu berpikir di luar kepentingan dirinya, dia tidak layak.”

Ucapan Stone adalah cara berbeda dari permintaan Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi (Fil. 2:2-8). Yesus menanggalkan status ke-llahian-Nya, bukan sebagai milik yang harus dipertahankan (ay. 6). Lalu dalam rupa manusia, memilih fokus pada misi penyelamatan manusia, dengan cara taat sampai mati. Paulus secara tegas ingatkan Jemaat Filipi agar “janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (ay. 4). Inilah pesan kritis terhadap cara hidup jemaat yang cara hidupnya hanya mementingkan diri sendiri.

Semua unsur kekuasaan yang ikut berperan dalam proses hukuman mati Yesus. Mereka hanya mempunyai satu tujuan: mempertahankan kemapanan dan kenyamanannya. Yesus adalah figur berbahaya yang bisa mengancam kenyamanan kekuasaan yang sedang mereka rasakan. Mereka tidak memikirkan kepentingan orang lain. Mereka berkolaborasi berpusat pada kepentingan diri sendiri.

Inilah kritik untuk semua pemegang kekuasaan. Banyak pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif, berkoar-koar sebagai abdi rakyat. Eksekutif berpidato sedang mengerjakan kesejahteraan rakyat, nyatanya memperkaya diri lewat jalur korupsi, dan melanggengkan kekuasaan. Legislatif berkampanye memperjuangkan kepentingan rakyat lewat jalur legislasi, alokasi anggaran, dan melakukan pengawasan yang tegas, nyatanya mereka berbohong. Begitu pula kalangan yudikatif, berjanji tetap menegakkan keadilan dan kebebaran, meskipun langit runtuh. Nyatanya, rakyat makin tertindas, karena hukum hanya berpihak kepada yg mampu membayar.

Bagaimana dengan gereja, sebagai simbol kekuatan spiritualitas. Kritik dari kisah Paskah kepada gereja, jarang menjadi tema khotbah para hamba Tuhan. Mereka mungkin takut mengkritik diri sendiri yang mengabaikan ajaran Yesus, karena terikat dengan etika dan kepatuhan pada aturannya sendiri. Gereja-gereja tidak memberitakan: Yesus yang mengabaikan nyawanya dan rela mati, Yesus yang mengorbankan dirinya untuk keselamatan manusia. Gereja2 menyamarkan permintaan tegas Yesus menuntut pertobatan, memberikan pengampunan, dan hidup dalam pertobatan.

Gereja, sebagai person dan organisasi, sibuk mengurusi dirinya sendiri. Membangun diri sendiri. Gereja lebih berpikir membangun karier personal, mengembangkan organisasi yang kuat, dan membangun gedung-gedung sebagai pusat ritus. Sehingga bingung dan sibuk berdebat diminta untuk “social dan physical distancing”. Gereja bukanlah urusan ritus semata, apalagi dalam gedung. Ritus atau ibadah hanya salah satu dari total lima/panca pelayanan.

Gereja lupa mempraktekkan permintaan Yesus tentang hakekat pengorbanan, bukan memikirkan diri sendiri, lalu lalai berkorban dan memikirkan manusia. Yesus hanya sekali-sekali berkunjung ke Bait Allah. Yesus lebih banyak diceritakan oleh para penginjil “berada ditengah-tengah pergumulan manusia” yang sakit, lapar, bermasalah dengan pajak, dan banyak lagi.

Gereja dengan mengutip ayat-ayat suci mengingatkan agar jemaat rela berkorban dan membawa persembahan, sebagai tanda syukur. Bagaimana jika ayat-ayat yang sama yang sering dikutip, dikenakan kembali kepada gereja agar rela mengeluarkan dana di kasnya untuk kebutuhan pencegahan dan korban covid-19. Masih ada kesan sementara gereja sendiri terkesan cukup pelit, tidak rela berbagi kekayaannya. Lihat dan ujilah postur anggaran gereja-gereja, berapa persen anggaran yang dialokasikan untuk urusan kemanusiaan, urusan solidaritas sesama. Semangat solidaritas dengan sesama gereja di kota dan di desa, masih setengah hati. Seorang hamba Tuhan, sahabat saya, yang baru saja bebas dari covid-19, mengatakan: “Salah satu DNA Gereja adalah DIAKONIA.”

Gereja harus berjuang lebih mendekatkan diri dengan gaya hidup Yesus yang tidak memikirkan diri sendiri. Gereja juga harus bisa memenuhi permintaan Paulus agar janganlah hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Sehingga benarlah ucapan Stone dalam filmnya: orang (juga gereja) yang tidak mampu memikirkan diluar dirinya, tidaklah layak.

Apakah kita sungguh-sungguh merayakan pengorbanan Yesus yang dirayakan pada Jumst Agung dan Paskah? Apa yang gereja bisa lakukan untuk membantu Pemerintah yg sedang berjuang keras mengatasi wabah virus corona atau Covid-19.

Bersediakah gereja-gereja bersatu mengubah alokasi anggarannya untuk pengadaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis yg mempertaruhkan nyawanya dalam merawat pasien virus corona? Bersediakah gereja-gereja bersatu membagikan masker secara gratis kepada mereka yang terpaksa berada di luar rumah untuk mencari nafkah? Bersediakah gereja2–gereja menyediakan fasilitas tempat-tempat cuci tangan di lokasi-lokasi rawan dalam kota?

Rasul Paulus akan sangat terkejut melihat gereja-gereja di NTT, di Kota Kupang mewujudkan permintaannya “Agar kita juga memikirkan kepentingan orang lain, sehingga kita sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan (Filipi 2).” Gereja bersatu membasmi covid-19.

Gereja sangat berdosa, jika dalam kasus covid-19 di tanah air hanya berpangku tangan. Sudah benar, gereja meniadakan semua bentuk ibadah atau berkumpulnya banyak orang sebagai cara pencegahan, sesuai protokol pemerintah. Tetapi itu belum cukup. Situasi covid-19 global, khususnya di Indonesia, lebih khusus di NTT, Kota Kupang, mestinya gereja-gereja refleksikan itu adalah SALIB kongkrit saat ini. Lalu gereja menjadikan dirinya seorang Simon dari Kirene yang secara sukarela menawarkan kekuatan organisasi, jutaan umat dan kemampuan keuangannya untuk menolong pemerintah mengatasi wabah covid-19.

Semua gereja bisa berkolaborasi dengan menyumbangkan kekuatan yang ada pada dirinya untuk satu tujuan: Indonesia bebas covid-19, NTT nihil covid-19, Kota Kupang bersih dari covid-19.

Meminjam kata-kata Ba’iNdu: “Kalo gereja masi kakumuk dan gepe kuat-kuat dia pung tangan yang ada kobo doi, Tetemanis sonde bisa kasi dia berkat baru lai, kecuali kalo dia pung tangan ada tabuka.”

“Bolom pernah ada orang yang jato miskin, karna dia pung hidup suka babagi deng orang lain.” ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *