Hidup Dalam Pimpinan Roh Kudus (Galatia 5:16-26)* – Pdt. Gomar Gultom, M.Th**

www.sinodegmit.or.id, Pertama-tama saya menyampaikan salam dari teman-teman MPH PGI di Jakarta. Sukacita besar bagi saya bisa bersekutu bersama jemaat sekalian bersama para pengurus dari Forum Komunikasi Pria Kaum Bapak (FKPKB), dalam rangka pelantikan Panitia Konas XV dari FKPKB Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang akan berlangsung pada bulan Oktober nanti.

Kini kita sedang merayakan hari raya Pentakosta yang dalam tradisi Gereja disebut sebagai hari lahirnya gereja. Kita tahu pencurahan Roh Kudus yang terjadi di Yerusalem menjadi awal pembaptisan massal ketika itu. Dan itulah awal gereja mula-mula yang kita warisi sampai sekarang. Persekutuan Gereja-Gereja (PGI) di Indonesia, 72 tahun yang lalu, juga diberdirikan bersamaan dengan perayaan Pentakosta. Karena itu saya mau menyampaikan selamat hari ulang tahun bagi kita semua.

Saudara-saudara hari raya Pentakosta ini adalah hari yang luar biasa sesungguhnya, sampai-sampai dalam tradisi gereja, kita merayakan sampai dua hari. Tidak banyak hari raya gereja yang kita rayakan dua hari. Besok kita masih beribadah di gereja.

Hari raya Pentakosta, kita rayakan masih dalam suasana memprihatinkan dari sisa-sisa atau bayang-bayang Covid-19 yang melanda masyarakat dan bangsa kita bahkan hampir seluruh manusia di muka bumi. Kita bersyukur keadaan sekarang sudah lebih baik atas kerja keras pemerintah dan kesadaran masyarakat yang dari waktu ke waktu makin meningkat. Keadaaan lebih baik dibandingkan tahun-tahun lalu. Tahun lalu yang menjadi lebih berat bagi kita semua. Seakan tak iba dengan pandemi, kita diluluhlantahkan lagi oleh berbagai bentuk malapetaka dalam rupa-rupa bencana termasuk badai Seroja yang memporak-porandakan daerah kita ini. Bukan tidak mungkin kita pun masih ragu karena sulitnya memiliki kepastian akan masa depan. Semuanya kini baru menata ulang kehidupan. Kita seolah berjalan di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Kita berjalan seolah-olah di balik bayang-bayang kegalauan.

Saudara-saudara, kalau kita mengikuti narasi-narasi yang mendahului hari raya Pentakosta yakni peristiwa Prapaskah dan Paskah, terlihat dalam narasi itu murid-murid Yesus juga berada dalam kegalauan yang mungkin kurang lebih sama dengan kita sekarang ini. Ancaman ketidakpastian akan masa depan. Ketakutan ketika Yesus sudah ditangkap dan mati. Injil Sinoptik menguraikan narasi yang sangat dramatis saat Yesus ditangkap dan disalibkan. Semua murid ketakutan. Petrus menyangkali Yesus. Cerita itu begitu popular. Apakah hanya Petrus yang menyangkali Yesus? Apakah hanya Petrus yang meninggalkan Yesus? Tidak. Murid-murid yang lain juga berkata, “Aku akan kembali menjadi penjala ikan.” Artinya bersama Yesus, sudahlah, game is over.Seolah berakhir sudah semuanya. Tanpa Yesus, kini seolah mission imposible. Bahkan kebangkitan Yesus pada hari ketiga pun belum sepenuhnya mengembalikan rasa percaya diri mereka. Masih tetap galau. Lalu Yesus naik ke sorga. Ini dramatisasinya luar biasa. Sudah ditinggal, bangkit timbul harapan baru dan naik ke sorga, ditinggal lagi. Dan apa yang terjadi? Murid-murid bersembunyi. Kisah Para Rasul di bagian awal mengatakan mereka ketakutan dan bersembunyi di loteng. Tetapi segera setelah mereka dicurahi Roh Kudus, tiba-tiba mereka menjadi berani. Mereka yang tadinya bersembunyi kini muncul dan bahkan berkhotbah di tengah khalayak ramai. Bukan hanya di Bait Allah bukan hanya di tempat-tempat mereka tetapi di keramaian.

Petrus yang tadinya menyangkal Yesus tiba-tiba bangkit berdiri bahkan berpidato di hadapan mahkama agama yang begitu menakutkan sebelumnya. Curahan Roh Kudus itu mengubah kehidupan mereka. Sesuatu yang tadinya mission imposible, kini menjadi mungkin. Sesuatu yang tadinya buntu kini terbuka jalan lebar-lebar dihapan mereka. Keberanian mereka berbicara di hadapan publik pada hari hari itu merupakan hasil pekerjaan Roh Kudus. Kefasihan mereka berbicara sehinggga mereka mampu dipahami oleh orang-orang dari suku dan bahasa lain adalah juga hasil dari pekerjaan Roh Kudus. Itulah kekuatan Roh Kudus. Roh Kudus itu memulihkan. Roh Kudus itu merupakan suatu daya yang memberi kekuatan dan keberanian dalam hidup kita menghadapi berbagai bentuk kehidupan seberat apa pun itu. Sekeras apa pun tantangan yang kita hadapi, Roh Kudus akan memampukan kita.

Oleh karena itu di hari peringatan pencurahan Roh Kudus ini, kita semua tua-muda, pria-perempuan, semua diundang untuk menyediakan diri menerima curahan Roh Kudus itu. Menghadapi tantangan hidup seberat apa pun, mari andalkan kuat kuasa Roh Kudus. Karena dengan pengandalan akan kuasa Roh Kudus, itu yang akan mampu memulihkan kehidupan kita; yang akan mampu memulihkan berbagai bentuk keretakan; yang menggenggam hati yang retak. Berbagai bentuk hubungan mampu dipulihkan kalau kita mengandalkan kuat kuasa Roh Kudus. Kekuatan Roh Kudus itulah yang memungkinkan kita, keluar dari kegalauan yang menghantui kehidupan kita. Yang memungkinkan kita melihat harapan di masa depan secara baru. Tentu tidak semua terjadi secara otomatis. Tiba-tiba, batu besar di depan kita menghilang kalau kita mengandalkan Roh Kudus. Tidak! Tetapi tidak juga mudah ketika kita menghadapi masa-masa sulit akibat pandemi, akibat Seroja yang lalu yang tentu masih banyak pekerjaaan rumah yang harus kita kerjakan di NTT ini. Berikut masalah-masalah sosial lainnya.

Tetapi pencurahan Roh Kudus ini berbicara tentang realisme hidup yang berpengharapan. Secercah harapan untuk mengerjakan yang baik di tengah-tengah kehidupan kita. Yang jahat, yang gelap, akan selalu ada dalam kehidupan kita. Kesulitan, penderitaan dan tantangan bisa saja ada di sekitar kita bahkan menimpa kita tetapi tidak usah kuatir, takut, dan tidak usah juga menjadi pesimis dalam hidup ini walau tantangan memang berat. Roh Kudus itu memberi kita perspektif baru. Menggali inspirasi-insipasi baru dalam menghadapi tantangan-tantangan itu.

Tetapi saudara-saudara justru klaim-klaim akan pengandalan Roh Kudus ini pulalah yang membawa ketegangan yang cukup pelik dalam perjalanan kekristenan kita. Klaim-klaim bahwa saya dipenuhi Roh Kudus tidak bisa diverifikasi. Dan itu membawa persoalan tersendiri.

“Roh Kuduslah yang mengatakan kepada saya bahwa saya harus katakan ini kepadamu.”

“Roh Kudus mengatakan kepada saya bahwa saudara-saudara harus membuka dompet dan masukan uangmu dalam peti ini tanpa batas”. Sering sekali kita dengar kalimat-kalimat itu. Bagaimana kita mengklaim bahwa itu pekerjaan Roh Kudus? Bagaimana kita verifikasi bahwa itu berasal dari Roh Kudus? Ini tidak mudah.

Jemaat Galatia juga nyaris pecah karena klaim-klaim yang demikian. Di satu sisi muncul segolongan orang yang karena klaim pekerjaan Roh Kudus menganggap tidak perlu lagi menaati aturan-aturan yang berlaku termasuk Hukum Taurat. “Saya tidak bekerja atas nama Hukum Taurat, saya bekerja atas nama Roh Kudus”. Mereka menikmati hidup sebebas-bebasnya. Hidup menurut kata hatinya semata. Sebebas-bebasnya dengan klaim atas nama Roh Kudus. Semenatra di sisi lain sebagian mengatakan bahwa orang Kristen justru harus hidup menurut aturan-aturan keyahudian yang sudah Tuhan berikan. Muncullah dua kelompok di Galatia yang nyaris memecah jemaat itu.

Di tengah ketegangan itulah Surat Galatia ini mencoba menjelaskan kepada orang-orang Kristen di Galatia bahwa kebebasan seorang Kristen bukanlah untuk memperturutkan hati yang bersifat lahiriah melainkan kebebasan untuk berjalan dalam kehidupan Roh Kudus. Untuk itulah Paulus tiba pada dua daftar sebagaimana yang kita baca tadi. Daftar pertama ayat 16-21, ia sebut sebagai gambaran dari orang yang mengandalkan kedagingan. Orang yang hidup mengandalkan kekuatan daging. Hawa napsu, percabulan, amarah, dsb-nya. Sementara daftar yang satu lagi Paulus memaparkan perkara-perkara yang baik yang merupakan isi dan wujud dari buah-buah Roh yakni; kasih, sukacita damai sejahtera, dll, (ay. 22-26).

Saya kira saudara-saudara, kedua daftar yang bertolak belakang satu sama lain ini juga mewarnai perjalanan kita sehari-hari kalau kita mau jujur. Kita ini sebagai manusia yang adalah gambar Allah, imago dei, kita memiliki sifat surgawi. Ada martabat keilahian dalam diri kita. dan dengan itu kita punya potensi untuk menghasilkan buah-buah Roh dari daftar yang diberikan oleh Paulus tadi. Tetapi pada saat yang sama sebagai makhluk yang berdosa, kita juga punya potensi untuk jatuh pada buah-buah daging sebagaimana dalam daftar pertama yang Paulus sebut. Dan inilah sumber kemelut dunia sekarang ini. Ketika makin banyak orang cenderung kepada daftar golongan pertama tadi. Kita punya kedua potensi itu. Potensi untuk jatuh ke dalam kedagingan karena kita mewarisi dosa tetapi sesungguhnya kita juga memiliki potensi untuk menghidupi buah-buah Roh itu karena kita ini gambar Allah sejak awal diciptakan, apalagi Kristus sudah membebaskan kita dari ikatan-ikatan dosa tadi. Tetapi kedua gambaran itu masih berkecamuk, berperang dalam diri kita dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sidang Raya PGI 2014 di Nias dan kemudian diangkat kembali dalam Sidang Raya PGI di Waingapu, Sumba 2019, mencatat berbagai problem yang dihadapi dunia saat ini. Ada krisis kebangsaan, keesaan gereja, ekologis, ada tantangan transformasi budaya digital. Gereja-gereja pada Sidang Raya itu tiba pada kesimpulan bahwa akar dari semua masalah atau krisis adalah kerakusan. Dan kerakusan ini adalah inti sari dari buah-buah kedagingan yang disebutkan olah Paulus tadi. Kita ini, tanpa kecuali sedang dipecundangi oleh budaya kerakusan. Yosep Stiglitz pemenang hadiah Nobel dibidang ekonomi 2011, katakan, dunia/globalisasi yang kita hadapi sekarang ini adalah globalisasi kerakusan. Dekade kerakusan. Dan atas dasar itulah kedua SR PGI baik di Nias maupun di Waingapu mengatakan, kontras terhadap kerakusan itu, kontras terhadap kedagingan itu, gereja-gereja mengamanatkan kepada seluruh umat Kristen di Indonesia untuk menghidupi spiritualitas keugaharian. Spiritualitas keugaharian untuk melawan globalisasi kerakusan.

Saya mau mengajak kita sekarang untuk melihat kedua kutub itu. Kutub pertama kedagingan dan kutub kedua buah-buah Roh. Kutub kedagingan diwakili oleh kerakusan dan kutub buah-buah Roh ini diwakili oleh spiritualitas keugaharian.

Kerakusan ini sangat berbahaya. Tapi sesungguhnya bukan baru. Ini sudah sangat tua. Saya katakan berbahaya karena kerakusan ini tidak pernah berkata cukup. Amsal 30:15 berkata, “Sang lintah mempunyai dua anak perempuan yang selalu mengatakan untukku, untukku dan tidak pernah berkata cukup.” Bukakankah itu fenomena yang lazim sekarang ini? Meraup sebanyak mungkin untuk dirinya bila perlu dengan merampas hak-hak ornag lain. Kita tidak pernah merasa cukup. Dan ingat misalnya cerita perjalanan orang Israel dari Mesir. Dalam kitab Keluaran. Di tengah perjalanan terjadi krisis pangan lalu mereka demo. Kalau jaman sekarang mereka sudah angkat poster, spanduk, di hadapan gubernur dan anggota DPR. Tapi jaman itu belum ada poster dan spanduk. Tapi intinya kurang lebih sama dengan kita sekarang ini. “Musa kenapa kau bawa kami ke sini. Kalau toh harus mati kehabisan makanan kenapa tidak mati di Mesir saja. Setidaknya di Mesir masih ada banyak makanan. Tuhan dengar keluhan mereka dan apa yang terjadi? Tuhan mengirimkan makanan tiap hari dalam bentuk apa yang mereka sebut Manna. Tapi sudah dikatakan kepada mereka, Manna harus diambil secukupnya. Dan itu juga doa Yesus yang diajarkan kepada kita yang kita lafazkan setiap hari minggu. “Berikanlah kepada kami makanan kami yang secukupnya.” Tetapi apa yang terjadi? Ada orang sama seperti saya, sama seperti kita, takut besok tidak kebagian. Jangan sampai besok tak ada. Sudahlah saya simpan sedikit. Apa yang terjadi ketika dia buka besoknya? Busuk jadi ulat. Setiap orang yang mengambil tidak sepatutnya yang mengambil melebihi kebutuhannya, akan busuk jadi ulat.

Anda mengkonsumsi gula melebihi kebutuhan di tubuh anda dia akan menggumpal jadi ulat akan busuk dalam bentuk diabetes. Benar ya? Saya ini penggemar se’i, apalagi se’i daging babi. Kalau ke Minahasa pasti cari rage, kalau ke Batak, saya cari BPK. Saya suka itu. Tapi mengkonsumsi melebihi kebutuhan tubuh kita dia akan membusuk menggumpal dalam bentuk kolestrol. Kolesterol saya cukup tinggi. (hahaha). Itu persoalan kita. Kita tidak pernah mampu mengatakan cukup. Kebanyakan makan daging, kebanyakan makan garam akan menggumpal dalam tubuh anda, akan busuk dalam tubuh dalam bentuk hipertensi. Kerakusan itu tidak pernah terpuaskan saudara-saudara.

Menurut para ahli Kesehatan, gaya hidup kedagingan itu, gaya hidup yang selalu emnuntut untuk memenuhi kerakusannya yang tidak pernah terpuaskan itu akan mengakibatkan metabolisme tubuh memproduksi noradrenalin dan cortisol akibatnya terjadi peningkatan glukoneo genesis dalam tubuh. Manifestasinya adalah asam lambung meningkat. Kalau asam lambung meningkat maka pusing-pusing, berdebar-debar, gelisah, panas tubuh meningkat, banyak kencing, perut mual, kembung, dsb. Kalau dibiarkan terus-menerus, maka hati-hati. Organ-organ lain akan terganggu. Kulit juga akan cepat mengeriput dan menua, itulah kalau selalu melihat dan meraup untung untuk dirinya sendiri. Itulah yang Mazmur 32: 3-4 katakan, “tulang-tulangku lesu karena aku sepanjang hari mengeluh sebab siang malam tanganMu menekan aku dengan berat. Sum-sumku menjadi kering seperti teriknya panas matahari.” Jadi kita yang buat itu kata Mazmur. Jadi hati-hati. Kesehatan tubuh kita sangat dipengaruhi oleh gaya hidup kita yang menyebabkan asam lambung itu meningkat.

Itulah apabila kita masih terbelenggu oleh kedagingan sebagaimana yang disebutkan oleh Paulus dalam ay.16-21. Dan sebaliknya apa yang diamanatkan oleh SR PGI tadi. Menghidupi spiritualitas ugahari. Spirutualitas ugahari adalah sebuah sikap hidup yang mampu menguasai diri. Paulus katakan tadi penguasaan diri. Mampu mengendalikan diri sehingga berani mengatakan cukup. Yang ini bukan buat saya. Cukup. Itu bukan hak saya. Jangan pernah mengambil yang bukan hakmu. Kemampuan mengandalikan diri sehingga berani mengatakan cukup ini akan memudahkan kita menyikapi semua peristiwa dengan lapang dada dan pada gilirannya akan membebaskan kita dari kegalauan dan kegelisahan dan kita akan mudah bersyukur. Mensyukuri apa yang ada. Ini berbeda dengan orang yang fatalisme. Ya sudahlah ini sudah nasibku. Bukan. Ini adalah kemampuan mengendalikan diri sehingga pada gilirannya, mudah bersyukur. Berkebalikan dengan yang pertama. Orang yang mampu mengendalikan diri dan mampu bersyukur ini metabolisme tubuhnya akan memproduksi hormon yang namanya endorphin. Menurut para ahli, hormon ini akan membantu pembentukan sel-sel tubuh yang menua atau rusak. Dan itu akan mengakibatkan tubuh kita tetap bugar. Kulit cerah, muka berbinar. Itu tanda-tanda dari hormon endorphin. Berbeda dengan yang diekspresikan kerakusan tadi, kulit keriput, muka masam. Orang yang hidup dengan keugaharian selalu berbinar dan tersenyum dalam hidup ini. Anda mau yang mana? Paulus katakan mau yang kedagingan atau yang buah-buah Roh. SR PGI katakan mau yang kerakusan atau yang spiritulias keugaharian? Para ahli mengatakan anda mau meningkatkan hormon cortizol atau endorphin? Pilihannya ada di kita. Tapi saya yakin semua yang ada di sini, semua Pria Kaum Bapak di Gereja-gereja di Indonesia pastilah menginginkan hidup yang berbinar. Dan itu artinya sederhana, yakni kita memproduksi hormon endorphin dalam tubuh kita. Bagaimana caranya. Sederhana saja. Para ahli mengatakan hanya ada dua cara: Pertama banyak bergerak atau berolahraga. Tapi saya bingung. Ada orang yang bayar mahal main golf, masuk di gymnasium bayar mahal, tapi di rumah tidak mau kerja. Padahal olahraga itu bisa dimulai dari rumah. Ambil sapu, ngepeldi rumah. Ayo, bapak-bapak, mulai besok kita ambil sapu, ambil kain pel dan kita semua ngepel rumah. Saya juga undang bapak-bapak untuk mencuci pakaian dan menyetrika pakaian. Ayo, berani nggak? “Malu dong nanti dilihat tetangga, nanti dibilang di bawah ketiak istri.” Waduh kalau begitu, cerita lain. Besok Forum Pria Kaum Bapak akan bikin ceramah dan seminar tentang itu.

Kebapakan anda, kelaki-lakian anda tidak akan berkurang kalau anda menyapu, mengepel, mencuci piring dan sebagainya. Malah anda akan makin dicintai oleh istri. Benar? Tetapi, ibu-ibu sekarang juga suka ke fitness. Ngapain ke fitness? Pekarangan rumah ada. Kenapa tidak ditanami bunga? Yang ada, “Mbak, Mbok, ambilkan kopi!” Kita ini kurang bergerak. Maka endorphinnya tidak meningkat. Saya mengajak kita semua laki-perempuan kita semua untuk banyak bergerak.

Kedua: banyak senyum. Kalau ditanya, banyak senyum itu berapa banyak, Pak Pendeta? Saya bilang ini hasil diskusi dengan ahli-ahli kesehatan juga. Banyak itu minimal 20 kali sehari senyum. Senyumnya minimal 7 detik. … dan harus senyum yang lahir dari hati. Hati yang bersyukur. Dari hati yang bergembira. Itu yang dikatakan dalam Amsal 3:8 “Itulah yang menyembuhkan tubuhmu dan dan menyegarkan tulang-tulangmu.” Jadi ini bukan hanya ahli-ahli kesehatan yang bilang. Alkitab yang bilang. Mazmur 32 katakan tadi kalau anda hanya mengeruk untuk diri anda sendiri maka tulang-tulangmu akan remuk dan sum-summu kering. Sebaliknya kalau engkau bersukacita dan tersenyum tubuhmu akan disegarkan, tulang-tulangmu akan disegarkan, dan itu yang seringkali kita nyanyikan bukan?

Hati yang gembira adalah obat. Itu bukan sekedar pepesan kosong. Itu lahir dari kenyataan hidup. Lahir dari kesaksian hidup. Oleh karena itu saudara-saudara, kebahagiaan itu ada di tangan kita. Kebahagiaan tidak tergantung pada jabatan yang kau raih. Kebahagiaan tidak tergantung dari orang lain. Kebahagiaan itu kita yang menentukan. Mau bahagia atau tidak. Kebahagiaan itu tergantung bagaimana kita mengelola hati kita. Hati kita, mau diserahkan kepada kedagingan atau kepada buah-buah Roh. Kalau hati kita dikuasai oleh sifat-sifat kedagingan maka kita dikuasai oleh hormon cortisol. Cenderung mengutuki dan menyalahkan orang lain karena selalu menarik untuk dirinya sendiri, tetapi kalau kita dipimpin oleh Roh Kudus maka kita akan menghasilkan buah-buah Roh. Ada ruang yang luas dalam diri kita untuk kasih Allah yang tidak pernah berkesudahan itu dan memungkinkan kita untuk membuka diri dan selalu berpikir untuk orang lain. Selalu berupaya untuk berbuat baik dan melakukan yang terbaik. Itulah buah-buah. Itulah kasih, sukacita, damai sejahtera, kemurahan dan olehnya, seperti tema hari ini, “Berilah dirimu dipimpin oleh Roh Kudus”. Pencurahan Roh Kudus ini sebuah tawaran untuk kita merayakan hidup dengan kesediaan untuk dipimpin oleh Roh Kudus.

Dalam konteks inilah saya mengajak Panitia Konas ke-15 dari Forum Komunikasi Pria Kaum Bapak PGI yang kita lantik hari ini untuk memberi diri dipimpin oleh Roh Kudus. Membuka hati seluas-luasnya untuk mempersiapkan Konas yang akan datang. Saya dengar ada 300-an orang. Kalau sudah 300-an orang dicurahkan Roh Kudus dipimpin oleh Roh Kudus tidak ada yang tidak bisa dipikul oleh panitia ini. Semua hal bisa dipikul. Kalau sudah ada 300-an orang berkumpul dan memberi diri dipimpin oleh Roh Kudus maka percayalah ketika anda memperlebar ruang dalam diri anda untuk Roh Kudus maka sukacita sorgawi akan melingkupimu. Anda dan dunia di sekitar anda akan berbinar oleh sukacita. Memperlebar hati untuk berbagi sukacita karena Allah yang di sorga mengasihi kita. kasihnya selalu baru, berkatnya selalu baru tiap pagi dan tidak berkesudahan.

Maka berikanlah apa yang dapat anda akan berikan karena anda tidak pernah duga dan tidak pernah tahu apa yang akan Allah berikan kepada anda yakni berkat yang tidak berkesudahan itu. Semoga seluruh persiapan oleh panitia dan usaha bersama dengan pimpinan Sinode GMIT akan memberikan inspirasi baru bagi pria kaum bapak di seluruh Indonesia baik yang akan datang berkumpul di sini pada bulan Oktober maupun yang tidak bisa juga hadir untuk juga bersedia dipimpin oleh Roh Kudus. Dengan Demikianlah kita merayakan hari lahir kita sebagai gereja. Tuhan beserta kita sekalian. Amin.

*Khotbah ini disampaikan pada Perhadapan Panitia Konsultasi Nasional (Konas) Pria Kaum Bapak PGI di Jemaat Ebenhaeser Oeba-Kupang, 5 Juni 2022.

**Ketua Umum PGI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *