Maluk-NTB, www.sinodegmit.or.id Dengan penuh ungkapan syukur kepada Tuhan Yesus, saya menulis kisah ini. Saya adalah alumni Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Kupang, angkatan wisuda 2018. Saya berasal dari Jemaat GMIT Kota Kupang. Sekarang saya melayani sebagai pengajar bagi anak-anak Kristen lintas denominasi di Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat, di Nusa Tenggara Barat (NTB). Denominasi-denonimasi Kristen itu adalah GMIT, GPdI, GBI Rock, dan GMAHK (Advent). Di Maluk terdapat sebuah jemaat GMIT, yaitu Jemaat GMIT Syalom Batu Hijau.
Keberangkatan saya ke Pulau Sumbawa berawal dari berita di media sosial. Seorang kawan senior meneruskan postingan dari seorang vikaris bahwa jemaat GMIT di Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), NTB, membutuhkan seorang guru yang berijasah Sarjana Pendidikan Agama Kristen. Teman alumni itu membagikan postingan tersebut di group alumni STAKN (yang sekarang sudah beralih menjadi IAKN Kupang). Saya lalu dengan sigap menerima panggilan ini.
Beranjak dari sebuah panggilan, terdorong tanpa ada ketakutan, berangkat dengan nada tegas, siap untuk menjalankan tugas. Itulah yang terlintas dalam pikiran saya, ketika saya mendengar panggilan untuk berada di tempat ini. Bagi saya bukan soal gaji, tapi soal tantangan apa yang akan saya hadapi dalam mendidik dan menyampaikan pendidikan agama Kristen yang mampu mengubah karakter seseorang. Karena bagi saya pendidikan agama Kristenlah yang mampu mengubah karakter manusia. Bermodal pinjaman, 20 Januari 2019, saya pun menginjakkan kaki di Nusa Tenggara Barat (NTB), daerah yang dikenal sebagai Pulau 1000 Masjid.
Perjalanan ini tidak sampai di situ. Apa yang saya temukan ternyata tidak seperti di Kupang. Saya menjumpai pengalaman yang berbeda dari pada yang saya bayangkan sebelumnya. Tidak ada gedung dan ruangan kelas, atau seragam khaki untuk guru dengan lambang pemerintah. Tak ada papan nama, dan saya tak bertemu dengan teman-teman guru yang lainnya. Pasalnya, di sini pembelajaran agama tidak berlangsung di sekolah. Pihak sekolah (sekolah negeri) menyerahkan pendidikan agama anak-anak Kristen kepada masing-masing denominasi gereja. Sebab itu tiap denominasi mencari guru agama sendiri-sendiri sehingga ada keluhan dari sekolah-sekolah bahwa terlalu banyak guru agama Kristen yang disiapkan oleh berbagai denominasi. Melihat hal ini maka ada satu wadah ekumenes bernama Forum Komunikasi Gereja-Gereja Kristen Kabupaten Sumbawa Barat (FKGK KSB) mencari solusi. FKGK bersepakat mencari bersama seorang sarjana pendidikan agama Kristen. Itulah latar belakang munculnya postingan di sosial media sebagaimana saya ceritakan di atas. Dan, rupanya kesediaan saya menerima tawaran itu merupakan jawaban doa dan kerinduan FKGK KSB tersebut.
Saya mengajar siswa-siswi SD sampai SMA/SMK yang semuanya berjumlah 60 siswa. Mereka berasal dari seluruh kecamatan Maluk di KSB, NTB. Berbekal ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah dan buku panduan K-13 Pendidikan Agama Kristen, saya mendidik dengan penuh semangat. Anak-anak juga demikian. Semangat mereka itu membuat saya memahami bahwa mereka membutuhkan seorang guru agama Kristen untuk membimbing mereka mengenal Tuhan Yesus. Guru juga mereka butuhkan menjadi teladan dalam hidup mereka. Dengan siswa-siswa yang Tuhan tempatkan di setiap sedih dan tangis saya, saya dapat berbagi pengetahuan agama kepada mereka dan saya dapat juga belajar dari mereka.
Kegiatan belajar mengajar berjalan pada hari Senin sampai Sabtu, di luar jam sekolah. Mereka sangat bersemangat walau itu hanya belajar 1 jam setiap kelas dalam proses belajar, yang dimulai jam 3 sore sampai selesai.
Pembagian materi sesuai dengan kebutuhan seperti sekolah pada umumnya. Hari Senin untuk kelas 10 dan 8; Hari Selasa untuk kelas 3 dan 1; Hari Rabu untuk kelas 4 dan 2; Hari Kamis untuk kelas 6 dan 11; Hari Jumat untuk kelas 7 dan 5; Hari Sabtu untuk kelas 9 dan 12. Kendati mereka belajar di luar jam sekolah, kadang-kadang ada tantangan, yakni jam belajar agama bertabrakan dengan kegiatan ekstrakurikuler atau les di sekolah sehingga waktu belajar agama harus menyesuaikan dengan kegiatan mereka.
Di ruang tamu tempat saya tinggal, berukuran 4×3 meter, di situlah tempat saya mengajar dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu, karena kami tidak diijinkan mengajar di sekolah. Di ruangan inilah murid-murid saya, lintas denominasi Kristen, menerima pengajaran Pendidikan Agama Kristen, yaitu tentang karya penciptaan dan karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus. Rumah tempat tinggal saya, yang sekaligus tempat belajar itu, adalah sebuah rumah yang dipinjamkan oleh seorang anggota jemaat GMIT secara gratis, tanpa batasan waktu. Fasilitas kegiatan belajar mengajar disiapkan oleh Forum Komunikasi Gereja-Gereja Kristen Kabupaten Sumbawa Barat (FKGK KSB).
Mungkin ada yang bertanya, berapa gaji yang saya terima dari pelayanan ini. Gaji dan biaya untuk fasilitas pendidikan berasal dari iuran yang dibayar setiap bulan oleh orang tua anak-anak. Untuk keluarga yang memiliki anak satu atau dua orang membayar Rp. 50.000,- per bulan per anak. Sedangkan untuk keluarga yang memiliki tiga anak atau lebih membayar Rp. 40.000,- per bulan per anak. Jemaat GMIT membantu dengan dana diakonia pendidikan bagi keluarga yang tidak mampu membayar iuran pendidikan.
Walau kondisi belajar mengajar di tempat ini sederhana, saya bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan Yesus, juga berterima kasih kepada siswa/siswi, orang tua, dan para pendeta. Di balik semua ini saya belajar bahwa menjadi seorang guru Agama Kristen yang terpanggil untuk mendidik tidak harus berseragam, tidak harus di dalam gedung, dan tidak harus memiliki papan nama. Yang paling penting adalah harus siap menerima tantangan di tengah mayoritas dan minoritas. Harapan saya semoga para pemimpin-peminpin pemerintahan dan pemimpin Gereja dapat melihat dan membaca “Kisah Sejuta Harapan”.
Tulisan ini saya beri judul “Kisah Sejuta Harapan” sebab pendidikan agama Kristen merupakan harapan dari guru, yaitu saya sendiri, para murid, dan juga semua orang tua. Kami semua berharap bisa mendapat ruang yang layak seperti pada umumnya. Kami juga mengharapkan perhatian pemerintah terhadap nasib guru agama di Pulau Sumbawa. Harapan terbesar adalah agar anak-anak Kristen dapat mengenai nilai-nilai Kekristenan dalam pembelajaran agama Kristen. ***