
Masih dalam suasana Paskah. Berita Paskah datang kepada kita dalam kalimat: “Dia tidak di sini. Dia sudah bangkit. Dia sudah mendahului kamu ke Galilea”. Paskah mengatakan bahwa kehidupan yang baru tidak lagi terikat pada hal-hal yang ada di sini. Orientasi hidup kita ada di sana, di dunia yang baru. Disini masih ada banyak hal yang membuat kita sedih dan menangis, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan penderitaan. Kita harus meninggalkan semua itu untuk satu masa depan yang baru.
Keberadaan GG Mart dan garam bumi cendana yang hari ini akan dilakukan launching, kiranya menjadi momentum bagi kita untuk bangkit dan meninggalkan hal-hal di sini yang membuat kita sedih untuk menuju ranah pelayanan yang baru. Launching dalam konteks bisnis dan pemasaran, mengacu pada proses memperkenalkan produk atau layanan baru ke pasar. Ini adalah momen penting untuk membangun kesadaran dan menarik perhatian konsumen. Karena itu, sambil membilang syukur kepada Tuhan kepala gereja dan pemilik pelayanan, GMIT merasa sungguh berbahagia atas peristiwa hari ini. Dengan dilaunchingnya GG Mart dan garam bumi cendana, maka salah satu derap pelayanan GMIT di bidang pelayanan holistik dimulai lagi.
Semua kita tahu kepelbagaian pendapat di kalangan anggota jemaat (bahkan di antara para presbyter) tentang perlu – tidaknya gereja masuk dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan untuk menggarami bidang ini? Ada yang memahami bahwa ekonomi dan perdagangan dilihat sebagai lapangan yang kotor, bahkan seringkali tidak bermoral. Karena itu, gereja harus menghindari diri dari urusan ekonomi dan perdagangan. Pikiran ini dianut oleh kaum pietis-asketis. Mereka ini percaya bahwa Injil merupakan kabar keselamatan tanpa masa kini. Pemahaman ini tentunya tidak benar, karena kabar sukacita dalam Injil mempunyai keterkaitan yang sangat kuat dengan dimensi masa kini. Jangan dipisahkan!.
Beruntunglah bahwa para pemimpin GMIT, dan kita semua yang hadir dalam peristiwa saat ini tidak berpikir demikian tentang ekonomi dan perdagangan. Kita semua melihat dunia seluruhnya, termasuk sektor ekonomi tidak ditempatkan di luar arena panggilan gereja. Hal ini selaras dengan doktrin Marten Luther mengenai panggilan dan imamat am orang percaya. Menjadi pedagang dan menjadi pendeta merupakan dua sisi yang tidak terpisahkan dari sebuah panggilan. Artinya, arah pelayanan gereja tidak boleh hanya memberi perhatian kepada jemaat hanya dalam doa, pujian, khotbah dan sakramen saja; tetapi perlu mengembangkan jemaat sebagai basis pelayanan. Dasar pikiran inilah, yang saya kira mengantar GMIT melahirkan GG Mart dan produk garam sebagai perpanjangan tangan pelayanan pembebasan dan pemberdayaan GMIT: dari Mimbar menuju Pasar. Metafora yang menggambarkan transformasi dari kegiatan ibadah (mimbar) menuju kehidupan sehari-hari dalam konteks ekonomi/pasar. Ajaran agama tidak hanya terbatas pada ruang ibadah, tetapi juga diaplikasikan dalam tindakan nyata di dunia nyata. Dari mimbar ke pasar adalah ajakan untuk menghidupi iman tidak hanya dalam konteks sakral, tetapi juga dalam konteks profan, yaitu kehidupan sehari-hari yang penuh dengan tantangan dan peluang.
Dari peristiwa ini, saya mengajak kita semua untuk belajar dari Kisah Para Rasul 3:1-10. Perikop ini menceritakan salah satu peristiwa besar, di mana seorang yang lumpuh sejak lahir memperoleh kesembuhan secara luar biasa (kesembuhan lahir bathin, fisik dan rohani).
Penuturan secara rinci mengenai waktu terdapat dalam ayat 1, yaitu menjelang waktu sembayang (pukul tiga petang), dan mengenai tempat terdapat dalam ayat 2, yaitu pintu gerbang Bait Allah yang bernama Gerbang Indah. Keterangan ini menunjukkan bahwa kejadian terjadi di depan orang banyak (ayat 9), dan di hadapan orang-orang Yahudi yang setia pada tradisi-tradisi agama.
Kebiasaan memberi sedekah kepada orang miskin adalah satu kebanggaan orang Yahudi. Kebiasaan itu bahkan menjadi satu syarat kesalehan yang kadang-kadang menyebabkan kesalehan berubah menjadi kesombongan pribadi. Dalam konteks kesetiaan beragama orang Yahudi, peristiwa penyembuhan orang lumpuh ini dapat dipahami sebagai cara Allah melalui para rasul (Petrus) menyoroti kehidupan keagamaan orang Yahudi, dan menyatakan karya Allah yang menyelamatkan orang-orang yang sebelumnya hanya menjadi objek pelayanan yang amat terbatas manfaatnya.
Pelayanan dalam tradisi Yahudi yang hanya memenuhi kebutuhan terbatas dari orang-orang yang tidak berdaya, telah menciptakan ketergantungan dan keterikatan si lumpuh pada materi atau kebutuhan fisik saja. Si lumpuh telah menjadi peminta-minta yang dimanjakan oleh tradisi agama yang tidak membebaskan (ayat 2 dan 3). Hati dan pikirannya diisi dengan pengalaman meminta dan menerima sedekah. Si lumpuh tidak bisa lagi melihat kemungkinan lain, selain dari mengharapkan sesuatu diberikan langsung kepadanya (ayat 5). Gerbang Indah (pintu masuk ke Bait Allah pada zaman Herodes) telah menjadi satu-satunya lahan seumur hidup yang dimilikinya.
Perkataan dan tindakan Petrus menyatakan dan membuka kemungkinan baru bagi si lumpuh itu. Tidak ada materi, tetapi ada kuasa Yesus melalui iman (ayat 6), dan ada belas kasih dan tangan yang penuh kasih memberi bantuan untuk kesembuhan (ayat 7). Dari pihak si lumpuh hanya ada iman yang tidak terkatakan. Kesediaannya menerima perkataan dan uluran tangan Petrus menjadi tanda adanya iman dan pengharapan. Si lumpuh tidak menjadikan kelumpuhan sejak lahir sebagai alasan untuk menolak.
Demikianlah Petrus menunjukkan bagaimana seharusnya pelayanan dikerjakan oleh orang-orang yang mengikut Yesus. Pelayanan itu harus menyentuh kebutuhan yang paling mendasar, kebutuhan untuk bebas, untuk bangkit dari kelumpuhan, untuk bersukaria dan leluasa memuliakan Tuhan dan memuji karya-Nya (ayat 7-8). Ketiadaan harta bukanlah hambatan, dan kelumpuhan sejak lahir bukan tantangan yang tidak bisa diatasi. Sesungguhnya tidak ada kelumpuhan total sejak lahir; yang ada hanyalah kelumpuhan fisik sejak lahir. Kelumpuhan dapat diatasi karena Allah berkuasa menyatakan karya-Nya secara bebas dan tanpa batas. Kalau kelumpuhan saja dapat diatasi, maka pelayanan Kristen harus berlangsung dalam keyakinan bahwa setiap orang dapat dibebaskan dari segala bentuk penyebab ketidakberdayaan.
Memanjakan adalah sikap yang tidak menjadikan seseorang atau sekelompok orang untuk mandiri (coba bandingkan dengan anak-anak yang selalu dimanjakan orang tuanya). Akibatnya tercipta pola manusia yang tidak mandiri dalam masyarakat secara umum. Patut direnungkan: jangan-jangan pemerintah atau negara ikut-ikutan menciptakan manusia yang tidak mandiri, antara lain melalui kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM), beras raskin dan asuransi kesehatan miskin. Jangan-jangan bantuan melalui pelayanan ini juga menciptakan manusia bermental manusia pasif. Sebab orang tidak miskin pun mengaku sebagai orang miskin, hanya karena ada pembagian beras raskin atau asuransi kesehatan miskin.
Si lumpuh memang membutuhkan sedekah, tetapi kebutuhannya lebih dari itu. Apapun bentuk sedekah yang diberikan, termasuk emas dan perak, tidak akan memberi kesembuhan. Berapa banyak pun uang yang diberikan kepada si lumpuh, tetap saja ia lumpuh. Tidak ada sedekah yang dapat mengubah hidupnya. Sedekah hanya menempatkan si lumpuh dalam kebiasaan meminta dan menerima.
Pelayanan yang dilakukan oleh Petrus adalah pelayanan yang mengantar si lumpuh melihat dan mengalami kemungkinan baru yang lebih baik. Bukan dengan uang, melainkan dengan iman dan kasih yang melayani, menguatkan dan membebaskan. Pelayanan yang dilakukan harus menuntun pada iman yang di dalamnya karya pembebasan Allah menjadi nyata. Pelayanan seharusnya mengubah orang sakit yang hanya bisa meminta-minta, menjadi orang sembuh yang leluasa memuji Allah. Pelayanan seharusnya mengubah manusia yang tidak mandiri (manusia pasif) menjadi manusia yang selalu terbebani untuk menolong.
Ini merupakan pelajaran bagi kita dalam rangka memberitakan Injil dan perbuatan-perbuatan besar Allah di dalam Yesus. Tidak cukup hanya dengan kata-kata (haleluya, gloria, puji Tuhan), tetapi perlu juga alat bantu yang lain agar manusia bisa sampai ke tempat di mana Yesus berada. Alat bantu itu bisa berupa lapangan pekerjaan, pemasaran produk jemaat, sarana pendidikan, pupuk, bibit, bahkan juga modal untuk berusaha. Segala hal yang dikerjakan dengan baik, terbingkai dari hati yang penuh cinta kasih dan berbelarasa dengan tujuan memanusiakan manusia, bukan tidak mungkin bahwa orang-orang yang melihat dan merasakan tanda itu bisa dituntun sampai kepada Yesus.
Hari ini, mimpi GMIT untuk menjadikan dunia ekonomi dan perdagangan menjadi bidang layan yang bernuansa injili dan kristiani mulai menghasilkan buah dengan hadirnya GG Mart dan produk garam bumi cendana. Salah satu tanda Injil dan nilai kristiani dari semua bidang pelayanan adalah perhatian kepada orang miskin dan tidak berdaya. Mereka ini harus ditolong untuk membangun kehidupan yang layak, dalam hal ekonomi dan keuangan.
GG Mart dan garam bumi cendana sebagai perpanjangan tangan gereja, tentu harus mengatur strategi begitu rupa, sehingga dalam menjalankan pelayanan ini, tetap terbuka peluang bagi jemaat dan masyarakat untuk tidak terus ada sebagai nobodies(bukan siapa-siapa/dianggap tidak penting = hanya sebagai objek),melainkan menjadi somebodies(dianggap penting = dijadikan sebagai subjek).Bahkan mereka harus dimampukan untuk hidup selaku anak-anak Allah, bukan lagi sebagai anak-anak kemiskinan, anak-anak busung lapar dan anak-anak tanpa hak. Kalau nilai ini menjadi garis pelayanan GG Mart, maka sadar atau tidak, gereja sementara mewujud-nyatakan misi Yesus, sebagaimana tertuang dalam Injil Lukas 4:18-19, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun Rahmat Tuhan telah datang”.
GG Mart diingatkan untuk melakukan hal ini. Mart ini bukan sekedar toko, tetapi tanda yang dipakai Allah dalam rangka menanamkan nilai-nilai kristiani dalam mengajar dunia dan memberdayakan manusia. Belajarlah pada cara Petrus menuntun si lumpuh yang menikmati kesembuhan lahir bathin, fisik dan rohani. Bagi Petrus, yang dipersoalkan di sini bukan bentuk pelayanannya, melainkan arti fungsional dari bentuk itu. Bukan bentuknya, melainkan keselamatanlah yang harus ditampakkan lewat semua bentuk pelayanan. Masalahnya bukanlah mati-matian mempertahankan bentuk-bentuk tertentu, tetapi sejauhmana dalam bentuk yang nyata itu orang dapat menghayati imannya, dan membantunya untuk bangkit dari segala bentuk penyebab ketidakberdayaan. Untuk sampai pada tindakan ini ada gerakan kembar yang perlu kita lakukan. Kita perlu memahami diri secara lain, sekaligus menampilkan diri secara lain. Pemahaman diri secara baru adalah perlu supaya kita juga bisa menampilkan diri secara baru di tengah-tengah masyarakat. GG Mart ini harus melahirkan komitmen untuk melayani mereka yang tertindas, miskin, teraniaya dan terbelakang.
Kehadiran GG Mart dan garam bumi cendana ini bukan sebuah kebetulan, namun Allah yang mulai tabur benih yang baik ini. Allah lakukan itu melalui kita sebagai pemimpin-pemimpin gereja, BPPS, UPPMS dan berbagai mitra (pemerintah/swasta/khusus Bank Indonesia) yang telah bekerjasama. Kita harus bersyukur kepada Tuhan karena Dia selalu mau kerja sama-sama dengan kita. Kepercayaan ini harus dinyatakan melalui kesetiaan, ketaatan dan dilahirkan dalam tindakan kita bekerja, berusaha, berjuang dan melayani. Kita diutus untuk bekerja serta mampu membangun kerjasama yang baik dengan semua pihak. Tanpa kerjasama yang baik, tanpa ketaatan dan kesetiaan kita akan menemui kegagalan. Marilah kita mengucapkan selamat dan sukses kepada GMIT. Pakailah nilai-nilai kristiani yang ada pada kita di dalam melayani menurut teladan Allah, dan kisah Petrus dalam penyembuhan si lumpuh. GG Mart dan produk garam bumi cendana ini dijadikan Allah untuk menjadi berkat bagi jemaat (gereja), masyarakat (sesama). Tuhan Yesus menolong dan memberkati karya pelayanan GG Mart dan produk garam bumi cendana. Amin.











